TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER
[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]
Mengingat: 1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963.
BAB I
UMUM
Pasal 1
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan dalam pasal-pasal berikut.
BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM
Pasal 2
(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.
Pasal 3
(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.
Pasal 4
Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari nsetelah anaknya dilahirkan.
Pasal 8
Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
Pasal 9
Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Pasal 10
(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
Pasal 11
(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.
Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana.
Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER
Pasal 17
Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:
a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan”;
b. kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan Daerah Militer”;
c. kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;
e. Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang bersangkutan”.
f. Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP
Pasal 18
Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 19
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.