Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Sunday, March 24, 2024

UU NOMOR 2/PNPS/1964 TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI

 



 TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN 

  DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER

 

[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]

 

Mengingat:    1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;

 

2.         Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;

 

3.         Keputusan Presiden Republik Indonesia             No. 226 Tahun 1963.

 

 

BAB I

UMUM

 

Pasal 1

 

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan dalam pasal-pasal berikut.

 

 

BAB II

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN

DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

 

Pasal 2

 

(1)       Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).

 

(2)       Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

 

Pasal 3

 

(1)       Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.

 

(3)       Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

 

Pasal 4

 

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

 

Pasal 5

 

Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

 

Pasal 6

 

(1)       Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.

 

(2)       Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

 

Pasal 7

 

Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari nsetelah anaknya dilahirkan.

 

Pasal 8

 

Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

 

Pasal 9

 

Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

 

Pasal 10

 

(1)       Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.

 

(2)       Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.

 

(3)       Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

 

Pasal 11

 

(1)       Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.

 

(2)       Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.

 

(3)       Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.

 

(4)       Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

 

Pasal 12

 

(1)       Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.

 

(2)       Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

 

Pasal 13

 

(1)       Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

 

(2)       Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

 

Pasal 14

 

(1)       Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.

 

(3)       Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

 

(4)       Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.

 

(5)       Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

 

Pasal 15

 

(1)       Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.

 

(2)       Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana.

 

Pasal 16

 

(1)       Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.

 

(3)       Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

 

 

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN

DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

 

Pasal 17

 

Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:

 

a.         kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan”;

 

b.         kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan Daerah Militer”;

 

c.         kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;

 

d.         kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;

 

e.         Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang bersangkutan”.

 

f.          Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.

 

 

BAB IV

KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

 

Pasal 18

 

Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

 

Pasal 19

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.



UU NOMOR 20 TAHUN 1946 PIDANA TUTUPAN

 


 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1946

TENTANG

HUKUMAN TUTUPAN

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang: bahwa perlu mengadakan hukuman pokok baru, selain dari pada hukuman-hukuman tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab Undang-undang hukum pidana dan pasal 6 huruf a Kitab Undang-undang hukum pidana tentera;

 

Mengingat:    pasal 20 ayat 1 berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tertanggal 16-10-1945 No. X;

 

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.

 

Memutuskan:

 

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

 

UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUMAN TUTUPAN.

 

Pasal 1.

 

Selain dari pada hukuman pokok tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab undang-undang hukum pidana dan pasal 6 huruf a Kitab undang-undang hukum pidana tentera adalah hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara dalam hal tersebut dalam pasal 2.

 

Pasal 2.

 

(1)       Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.

 

(2)       Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.

 

Pasal 3.

 

(1)       Barang siapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan pasal 5.

 

(2)       Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat 1.

 

Pasal 4.

 

Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.

 

Pasal 5.

 

(1)       Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.

 

(2)       Peraturan tata-usaha atau tata-tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.

 

Pasal 6.

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengumumannya.

                                

                                Ditetapkan di Yogyakarta                                            pada tanggal 31 Oktober 1946.                      

                              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

 

SOEKARNO.

                                         Menteri Kehakiman

 

                                    SOESANTO TIRTOPRODJO.

                                         Menteri Pertahanan

 

                                        AMIR SJARIFOEDIN.

 

Diumumkan pada tanggal 1 Nopember 1946.

            Sekretaris Negara,

 

        A.G. PRINGGODIGDO.


UU NOMOR 39 TAHUN 1947 HUKUM PIDANA TENTARA

 



 UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1947

TENTANG

MENYESUAIKAN HUKUM PIDANA TENTARA (STAATSBLAD 1934, NO. 167)

DENGAN KEADAAN SEKARANG.

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang:  bahwa sebelum dapat membentuk Undang-undang Hukum Pidana Tentara baru, perlu dengan segera menyesuaikan Peraturan Hukum pidana Tentara yang tersebut dalam Staatsblad 1934 No. 167 dengan keadaan sekarang;

 

Mengingat:    Undang-undang tanggal 26 Pebruari 1946 No. 1, pasal 5 ayat 1 Undang-undang Dasar, pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar, Peraturan Presiden tanggal 10 Oktober 1945 No. 2 dan Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X;

 

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;

 

Memutuskan:

 

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTARA.

 

Pasal 1.

 

1.         Nama Wetboek van Militair Strafrecht voor NederlandschIndie (Stbl. 1934 No. 167) diubah menjadi "Wetboek van Militair Strafrecht".

 

2.         Kitab itu dapat disebut "Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara"

 

Pasal 2.

 

Jikalau dalam sesuatu pasal dalam "Wetboek van Militair Strafrecht" ditulis perkataan "Nederland" atau "Nederlandsch-Indie, maka perkataan itu diubah menjadi "Indonesia" dan perkataan "Nederlandsch (e) (en)" atau "Nederlandsch-Indisch(e) (en)" atau "Nederlandsch(e) (en) of Nederlandsch-Indisch(e) (en) " dengan "Indonesisch(e) (en).

 

Pasal 3.

 

Dalam "Wetboek van Militair Strafrecht" diadakan perubahan-perubahan seperti berikut:

 

1.         Dimana terdapat perkataan "bij de wet", "bijalgemeenen maatregel van bestuur" atau "bij ordonanntie", baikpun ketiga kata-kata itu disebut berturut-turut, maupun disebut masing-masing tersendiri, maka kata-kata itu terhadap hal-hal yang pada saat berlakunya Undang- undang ini belum diadakan peraturannya, harus dibaca "bij Undang-undang".

 

2.         Dimana terdapat perkataan "krijgsmacht", harus dibaca "bij Angkatan Perang"

 

3.       a.           Dalam pasal 8 ayat 2 perkataan "door den Gouverneur Generaal" diubah menjadi "bij peraturan pemerintah"

b.         Dalam pasal 53 ayat 3, pasal 55 dan pasal 58 perkataan "Gouvernuerl General" diganti dengan "Menteri Pertahanan".

 

4.         Perkataan "Legercommandant" dalam:

 

a.         pasal-pasal 12 ayat 2, 21, 22 ayat 2, 27 dan 31 diganti dengan "Menteri Pertahanan".

b.         pasal 22 ayat 1 diganti dengan "Menteri Pertahanan en aan den Panglima Besar".

 

5.         Dalam pasal 19 perkataan "advocaat fiscal voor de Landen Zeemacht" diganti dengan "Jaksa Tentara Agung" dan perkataan "het Hoog Militair Gerechtshof" diganti dengan "Mahkamah Tentara Agung".

 

6.         a.         Dalam pasal 28 perkataan "het leger" diubah menjadi "de angkatan perang".

b.         Dalam pasal 49 ayat 1 sub 3 perkataan "het Hoog Militair Gerechtshof en van den krijgsraad" diganti dengan "eene pengadilan tentara (luar biasa)".

 

7.         Dalam pasal 28 sub 1 perkataan "onderofficier" diubah menjadi "officier en of onderofficier".

 

8.         Ayat 2 dari pasal 44 dihapuskan; tanda ayat "(1)" dihapuskan pula.

 

9.         Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Onder "angkatan perang" wordt verstaan:

 

a.         de "angkatan darat" en de daarbij behoorende dienstplichtigen met inbegrip van het reserve-personeel;

b.         de "angkatan laut" en de daarbij behoorende dienstplichtigen met inbegrip van het reserve-personeel;

c.         de "angkatan udara" en de daarbij behoorende dienstplichtigen met inbegrip van het reserve-personeel;

d.         in tijd van oorlog zij die op wettige wijze zijn opgeroepen om mede te werken tot de verdediging of tot de bewaring van rust en orde.

 

10.     a.          Dalam pasal 46 ayat 1 perkataan "het leger" diganti dengan "de angkatan  perang".

b.         Dalam pasal 46 ayat 1 sub 1 perkataan "daaronder begrepen de dienstplichtigen bij het Nederlandsche leger, die met hunne toestemming in Nederlandschleger, die met hunne toestemming in NederlandschIndie dienen" dihapuskan.

 

11.       Dalam pasal 47 dan 48 perkataan "het leger" diganti dengan "de angkatan perang".

 

12.      a.         Pasal 49 ayat 1 sub 1 dibaca sebagai berikut; "de tot eenigen militairen dienst   gebruikt wordende gewezen militairen".

b.         Pasal 49 ayat 1 ditambah dengan sub 4 dan sub 5 seperti berikut:

"4e. Zij, die een titulairen militairen rang bekleeden, hetzij bij of krachtens Undang-undang, hetzij tijdens keadaan bahaya bij of krachtens peraturan Dewan Pertahanan Negera verleend' op grond van artikel 7 lid 2 Undang-undang Keadaan Bahaya, zoolang en voorzoover in de uitoefening van de werkzaamheden op grond waarvan zij hun titulairen rang hebben herkregen; 5e. Zij, die lid zijn van een organisatie, die met de angkatan darat, laut of udara is gelijkgesteld of als zoodanig wordt beschouwd:

a.         bij or krachtens Undang-undang;

b.         tijdens keadaan bahaya bij of krachtens peraturan Dewan Pertahanan Negara op grond van artikel 7 lid 2 Undang-undang Keadaan Bahaya".

 

13.       Pasal 51 ayat 2 diubah menjadi berikut : "Naar gelang van het onderdeel zij zich bevinden, worden zij geacht tot de angkatan darat, laut of udara te behooren".

 

14.       a.         Pasal 53 ayat 2 dihapuskan.

b.         Pasal 53 ayat 3 menjadi pasal 53 ayat 2 dan dibaca seperti berikut:

"De onderline rang-en standsverhouding van de militairen onder artikel 49 lid 1 ten 5e genoemd tot de overige militairen wordt geregeld door den Menteri Pertahanan".

 

15.      a.         Pasal 54 ayat 1, ditambah sehingga berbunyi seperti berikut:

"Onder onderofficieren worden verstaan de militairen, die eenige militairen rang bekleeden bij de angkatan darat beneden dien van Letnan klas 2, bij de angkatan laut beneden dien van Letnan Laut klas 2, bij de angkatan udara beneden dien van opsir muda udara 2 Kadet Udara 2".

b.         Perkataan "of matroos" dalam pasal 54 ayat 2 dihapuskan.

 

16.      a.         Pasal 57 ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi seperti berikut: "Onder oorlogsvliegtuig wordt verstaan elk ten behoeve der angkatan udara gebezigd vliegtuig, waarover een militair der angkatan udara het bevel voert".

b.         Dalam pasal 57 ayat 1 (baru) dua perkataan "zeemacht masing-masing diganti dengan "angkatan laut".

 

17.       a.         Dalam pasal 61 perkataan "oorlogsvaartuig" dibaca "oorlogsvaar of vliegtuig".

b.         Dalam pasal 67 ayat 1 sub 1, pasal 109 sub 2, pasal 113 ayat 2, pasal 114 ayat 2, pasal 115 ayat 2, pasal 118 ayat 3 dan pasal 135 ayat 3 sub 2 perkataan "vaartuig" diubah menjadi "vaar of vliegtuig". c. Dalam pasal 89 sub 2 perkataan "vaartuigen" diubah menjadi "vaar of vliegtuig".

 

18.       Dalam pasal 67 ayat 1 sub 1 perkataan "het leger of de zeemacht" diubah menjadi "de angkatan perang".

 

19.       Dalam pasal 73 sub 1, pasal 76 ayat 2, pasal 83 ayat 1 dan ayat 2 dan pasal 84 ayat 1 perkataan "het leger of de vloot diubah menjadi "angkatan darat, laut of udara".

 

20.       Dalam pasal 103 ayat 5 dan pasal 104 sub 2 perkataan "zeegevaar" diubah menjadi "zee of luchtgevaar".

 

21.       Pasal 118 ayat 4 diubah menjadi seperti berikut: "Met gelijke straffen, worden gestraft de officier van de wacht aan boord van een oorlogsvaar of vliegtuig of de militair die hem tijdelijk vervangt, de machinist, de marconist, hoofd der wacht aan boord van een oorlog svaar of vliegtuig en de bevelhebber van eenige wacht, ronde of patrouille of van eenige met de uitoefening van den veiligheidsdients in tijd van oorlog belast troepenafdeeling, die als zoodanig gelijke handelingen pleegt".

 

22.       Dalam pasal 124 ayat 1 bagian kalimat yang berbunyi "Koning of door of namens den Gouverneur-Generaal" diubah menjadi "President".

 

23.       Dalam pasal 135 ayat 2 angka-angka "104-108" diubah menjadi "104, 106, 107 en 108" dan ayat 3 sub 1 angka-angka "104-106" diubah menjadi "104- en 106".

 

24.       Pasal 136 ayat 1 sub 2 dibaca sebagai berikut : "hij, die de Indonesische vlag of den Indonesiche wimpel of een militair vaandel of militairen standaard beschimpt".

 

Pasal 4.

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 1946, hari berlakunya Undang-undang tentang Pengadilan Tentara.

 

                                Ditetapkan di Yogyakarta

                                pada tanggal 27 Desember 1947.

                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

    SOEKARNO.

                                 Menteri Muda Pertahanan,

 

                                  AROEDJI KARTAWINATA.

                                      Menteri Kehakiman,

 

                                SOESANTO TIRTOPRODJO.

 

Diumumkan

pada tanggal 27 Desember 1947.

        Sekretaris Negara,

 

     A.G. PRINGGODIGDO.


APAKAH MUNGKIN ADA PENGADILAN TATA USAHA MILITER DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER?

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Yth. Sahabat Diskusi Hidup, alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan yang berbeda. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang kajian apakah mungkin ada Pengadilan Tata Usaha Militer.  Untuk mengetahui  lebih  lanjut  maka  diskusi hidup kita kali ini adalah sebagai berikut.



Konsep negara hukum adalah bertujuan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, tertib, dan aman. Hukum sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat suatu negara. Pemerintah sebagai alat untuk menjalankan pemerintahan suatu negara diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan yang dapat masuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara/masyarakat sehingga memerlukan peradilan tata usaha negara untuk menyelesaikan sengketa di antara kedua belah pihak.

 

            Demikian juga halnya di lingkungan kehidupan militer, pejabat penyelenggara organisasi militer diberi kewenangan menjalankan organisasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam pelaksanaan tugas jabatannya tersebut, terutama yang berkaitan dengan bidang personel, tentunya akan banyak menimbulkan perbedaan kepentingan antara hasil perumusan kebijakan yang menjadi dasar pengambilan keputusan untuk mewadahi kepentingan organisasi militer secara umum ataupun satuan-satuan khususnya dengan kepentingan yang cenderung bersifat pribadi prajurit TNI itu sendiri. Sehingga akan terdapat pula sengketa kepentingan antara pejabat yang berwenang mewakili organisasi dengan personel terkait yang terkena dampak pelaksanaan tugas pejabat tersebut.

 

Untuk mewadahi hal-hal seperti yang diuraikan di atas maka dibuatlah pengaturan tentang pelaksanaan Tata Usaha Militer di lingkungan organisasi TNI yang dituangkan dalam Bab V Hukum Acara Tata Usaha Militer mulai Pasal 265 hingga Pasal 343, dan Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

 

Meskipun demikian, pelaksanaan Hukum Tata Usaha Militer menemui hambatan dikarenakan ada pengaturan yang masih perlu ditentukan agar pelaksanaannya dapat dijalankan secara keseluruhan, yaitu terdapat ketentuan-ketentuan pada Pasal 342 dan Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mensyaratkan tentang bagaimana sebagian ketentuan harus dijalankan.

 

Menurut ketentuan Pasal 342 ayat (3), besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 308 ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dan menurut ketentuan Pasal 353, undang-undang tentang peradilan militer mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu pada tanggal 15 Oktober 1997, namun khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan.

Dan faktanya hingga saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah dibuat, sehingga ketika ada sengketa mengenai tata usaha militer belum dapat diselesaikan di Pengadilan Militer.

 

Apakah mungkin ada Peradilan Tata Usaha Militer?

 

            Apabila kita mengacu pada pertanyaan di atas, maka tentunya kita akan katakan mungkin saja, dan hal ini sangat mungkin mengingat perkembangan kehidupan di masa yang akan datang akan cenderung semakin kompleks sehingga lambat laun akan dipaksa untuk segera mewujudkan kekurangan-kekurangan yang belum terpenuhi. Memang untuk sementara ini belum dapat dilaksanakan, bahkan melalui peradilan tata usaha negara pun sengketa tata usaha militer tidak bisa digugat atau diadili di sana dikarenakan bukan termasuk kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Penyempurnaan-penyempurnaan yang dimaksud dapat dilakukan dengan segera merealisasikan Peraturan Pemerintah sesuai amanat undang-undang atau dengan cara merevisi undang-undang tentang Peradilan Militer itu sendiri.

 

Penerapan Hukum Tata Usaha Militer salah satu faktornya adalah tergantung pertimbangan urgensi untuk segera melengkapi persyaratan-persyaratan yang perlu segera diatur untuk melengkapi ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, karena yang belum diatur hanya mengenai besaran ganti rugi dan tata cara pelaksanaan ganti rugi tersebut. Atau bisa saja ketentuan mengenai ganti rugi segera diatur secara sederhana bersama-sama dalam rangka revisi undang-undang tersebut sehingga tidak perlu membuat Peraturan Pemerintah yang notabene bersifat pembentukan baru peraturan perundang-undangan.

 

Perhatikan Pasal 342 ayat (3) dan Pasal 308 ayat (3), yang dipertegas dalam Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Bunyi Pasal 353 seharusnya dipisahkan antara penentuan tenggang waktu pembuatan produk hukum dengan masa pemberlakuan produk peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

 

Sebagai tambahan, ketentuan mengenai keputusan yang dapat digugat harus meliputi keputusan yang nyata-nyata menentukan atau berhubungan langsung dengan personel yang menggugat dan juga yang tidak berhubungan langsung dengan personel tersebut namun membawa dampak kerugian bagi personel penggugat dengan tidak dikeluarkannya keputusan tentang diri yang bersangkutan. Keputusan yang perlu digugat seyogyanya hanya yang mengenai keputusan yang bersifat bertentangan dengan hak asasi manusia seseorang atau pihak yang merasa telah dirugikan.

 

Contoh:

 

1.            Keputusan yang dibuat mengenai pangkat dan jabatan;

2.            Keputusan yang dibuat mengenai pemberhentian dengan tidak hormat yang tidak sesuai prosedur yang berlaku di lingkungan TNI; atau

3.            Keputusan yang seharusnya dibuat untuk diri penggugat namun tidak dibuat oleh pejabat TUM.

4.            dan sebagainya.

 

 

Sahabat Diskusi Hidup yang penulis mulyakan,

 

Ketentuan-ketentuan seperti yang dicontohkan di atas perlu ditambah dengan persyaratan perijinan untuk melakukan gugatan tata usaha militer dari Komandan Satuan (Dansat) atau Kepala Instansi tempat penggugat berdinas. Hal ini ditujukan untuk mengikat rasa tanggung jawab satuan sebagai pembina langsung personel yang bersangkutan karena bagaimanapun keputusan yang dibuat atau yang seharusnya dibuat oleh pejabat Tata Usaha Militer tidak terlepas dari mekanisme dan hubungan kerja antara Dansat dengan atasannya (Komando Atas). Hal ini juga untuk memberikan penghargaan dan kesempatan kepada seorang Dansat untuk memperbaiki kekeliruan atau kelalaiannya dalam melakukan pembinaan personel di satuannya. Keputusan mana dalam hal ini bukan yang merupakan perintah pelaksanaan tugas yang bersifat penugasan operasi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer.

 

 

Kerawanan jika Hukum Tata Usaha Militer tidak segera direalisasikan:

 

1.            Mungkin saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa berkepentingan muncul sebagai pemrakarsa untuk melakukan revisi atau perubahan terhadap sebagian ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud sehingga isi dari perubahan itu tidak bisa disesuaikan dengan baik sesuai kebutuhan dan urgensi organisasi TNI meskipun nanti pada perjalanan proses pembentukan peraturan perundang-undangan ada mekanisme harmonisasi dan sinkronisasi. Teori tidak semudah praktek, koordinasi mudah diucapkan namun sulit dalam pelaksanaannya, kecenderungan akan terdapat kendala;

 

2.            Jika terlalu lama tidak ditindaklanjuti, hal ini akan bertentangan dengan nafas reformasi birokrasi di tubuh organisasi TNI;

 

3.            Dengan tidak menindaklanjuti amanat peraturan perundang-undangan dapat menurunkan nilai akuntabilitas lembaga dalam hal pelayanan publik;

 

4.            Tindakan kesewenang-wenangan dan sentimen pribadi, atau pandangan “like and dislike” dari Dansat terhadap seseorang yang sudah baik tidak dapat segera dieliminir, karena penerapan rewards and punishment menjadi tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien terhadap seluruh anggota di jajarannya;

 

5.            dan sebagainya.

 

 

Berdasarkan uraian di atas, maka diharapkan dapat diperoleh dampak yang berupa manfaat baik langsung ataupun tidak langsung dirasakan untuk kemajuan organisasi TNI pada umumnya, satuan terkait pada khususnya.

 

Adapun manfaat yang diperoleh jika menjalankan Hukum Acara Tata Usaha Militer diantaranya adalah sebagai berikut:

 

1.            Sedapat mungkin mengeliminir pengambilan keputusan tanpa dasar yang obyektif, menghilangkan subyektifitas pimpinan;

 

2.            Terpeliharanya wibawa komandan karena sudah mengambil keputusan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan;

 

3.            Terpeliharanya moril prajurit TNI, karena yang sudah bekerja dengan baik tidak merasa terabaikan dan moril serta disiplinnya diharapkan akan tetap terjaga dengan baik agar tidak merusak disiplin prajurit yang lain;

 

4.            Terciptanya persaingan yang sehat dan dinamis di bidang pembinaan personel khususnya karier prajurit TNI;

 

5.            Terwujudnya manajemen militer yang akuntabel dan transparan;

 

6.            Terwujudnya konsep negara hukum/welfare state, negara yang sejahtera bukan hanya kehidupan masyarakat umumnya tetapi juga masyarakat militernya.

 

 

Sahabat Diskusi Hidup yang berbahagia,

 

Demikian diskusi hidup kita kali ini, sekelumit kajian tentang penerapan Hukum Tata Usaha Militer. Semoga bermanfaat bagi kita semua, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan, karena sejatinya kebenaran hanya milik Allah SWT.

Terima kasih banyak atas perhatiannya.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابُ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...