Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Sunday, May 8, 2022

PRAJURIT TNI YANG MENINGGAL DUNIA MESKIPUN DIDUGA TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKARANYA TIDAK PERLU DISERAHKAN KEPADA PENYIDIK POLISI MILITER KECUALI JIKA MENINGGAL DUNIANYA TERSANGKA PADA SAAT PROSES PENYIDIKAN DI POLISI MILITER TELAH SELESAI

        Pada dasarnya penegakan hukum di lingkungan peradilan militer, ketika setiap kali ada dugaan telah terjadi suatu tindak pidana maka perkaranya harus diproses oleh penyidik Polisi Militer. Namun bagi seorang terduga yang meninggal dunia perkaranya cukup diselesaikan di satuan yang bersangkutan. Prajurit TNI yang meninggal dunia meskipun diduga telah melakukan tindak pidana perkaranya tidak perlu diserahkan kepada penyidik Polisi Militer termasuk juga ketika proses penyidikan oleh penyidik Polisi Militer telah dimulai maka seyogyanya segera membuat resume yang isinya tentang perlunya perkara dikembalikan kepada Ankum, kecuali jika meninggal dunianya tersangka pada saat proses penyidikan di Polisi Militer telah selesai.


Mengapa demikian?


        Berdasarkan ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kewenangan menuntut pidana hapus bila si tertuduh meninggal dunia. Artinya jika prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana itu meninggal dunia maka Oditur Militer tidak akan bisa melakukan penuntutan atau mengajukan perkaranya ke persidangan militer. Oleh karena Oditur Militer tidak lagi memiliki kewenangan untuk menuntut perkaranya maka baik penyidik Polisi Militer maupun Ankum sudah tidak bisa lagi memproses perkara yang bersangkutan. Daripada penyidik Polisi Militer sudah terlanjur bekerja keras melakukan pemeriksaan kemudian ternyata berkasnya tidak diterima oleh Oditur Militer, maka lebih baik penyidik Polisi militer tidak menerima pelimpahan perkara yang terduganya telah meninggal dunia. Hal ini dilakukan dalam rangka meminimalisir terjadinya pekerjaan yang sia-sia.


        Dengan demikian, jika ada anggota suatu kesatuan militer yang meninggal dunia, meskipun yang bersangkutan masih berada pada keadaan antara apakah yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak, maka perkara meninggalnya tersebut tidak perlu diserahkan kepada penyidik Polisi Militer. Pihak satuan cukup membuat laporan hasil pemeriksaan satuan dan menindaklanjutinya dengan proses administrasi yang dibutuhkan. Adapun proses administrasi yang dapat dilakukan oleh pihak satuan tersebut ada dua kemungkinan, yang pertama yaitu proses terhadap terduga pelanggaran hukum yang meninggal dunia karena sakit, dianiaya, atau dibunuh oleh orang lain; atau yang kedua yaitu terhadap seorang prajurit TNI yang melakukan tindakan bunuh diri.


Adapun proses administrasi terhadap kedua hal di atas adalah sebagai berikut:

1.    Jika terduga pelanggaran hukum meninggal dunia karena sakit, dianiaya, atau dibunuh oleh orang lain. Terhadap hal yang seperti ini maka dilakukan proses administrasi dengan cara mengajukan saran staf secara berjenjang (S3B) kepada komando atas untuk mendapatkan keputusan tentang bagaimana teknis pemberhentiannya. Namun terhadap hal seperti ini kemungkinan besar akan diterapkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH);


2.    Jika prajurit TNI meniggal dunia karena bunuh diri, maka perlu diselidiki apakah tindakan bunuh dirinya itu dikarenakan yang bersangkutan memang masih dalam penanganan pemulihan keadaan mental (gangguan sakit jiwa) atau karena tekanan persoalan saja yang mana yang bersangkutan masih dalam keadaan sehat. Terhadap yang dinyatakan berada dalam keadaan gangguan sakit jiwa, maka diproses secara standar diberhentikan dengan hormat (PDH). Sedangkan jika karena tekanan persoalan atau terindikasi adanya tuntutan hukum atau menghindari penugasan maka diproses dengan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH). Hal yang kedua ini pun tetap dilakukan dengan mengajukan S3B kepada komando atas.



        Ketika tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan dimulai maka penyidik Polisi Militer dapat segera membuat resume yang isinya tentang perlunya perkara dikembalikan kepada Ankum. Dasar pengembalian perkara tersebut adalah seeprti yang diatur dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (KUHAP Militer), bahwa perkaranya dikembalikan kepada Ankum demi kepentingan hukum. Hal ini dikarenakan perkara masih berada pada tataran kewenangan Ankum dan penyidik Polisi Militer. Pada tataran ini perkara belum masuk dalam register perkara di Oditurat Militer.


Mungkin pembaca mengecek isi pasalnya dan melihat ada perbedaan bunyi, tidak seperti yang dituliskan di atas oleh penulis.

Kalimat "Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila perkara tersebut ditutup demi kepentingan hukum", sejatinya ketentuan itu juga mengatur termasuk tentang orangnya atau perkaranya.

Tidak mungkin hanya bendanya yang dikembalikan tetapi orangnya atau perkaranya tidak dikembalikan, sementara yang dimaksud disini adalah untuk perkara yang belum diajukan ke persidangan militer alias masih tahap penyidikan oleh penyidik Polisi Militer. Sehingga dalam hal ini jika bendanya dikembalikan maka otomatis perkaranya juga termasuk tersangkanya dikembalikan (dalam hal ini prajurit TNI yang bersangkutan dikembalikan kepada Ankum untuk dilakukan pembinaan lebih lanjut di satuan). Baca juga penjelasan penulis pada artikel sebelumnya.


        Khusus untuk perkara yang tersangkanya meninggal dunia setelah proses penyidikan di tingkat Polisi Militer selesai, yaitu sudah diberkas dan dilak, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 101 ayat (1) KUHAP Militer, maka berkasnya tetap diserahkan kepada Oditur Militer untuk diteliti, dikarenakan perkaranya sudah diregister di Oditurat Militer setempat, kemudian dibuatkan Bapat/SPH (berita acara pendapat dan saran hukum) oleh Oditur Militer. Bapat/SPH Oditur Militer akan menyarankan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk menutup perkaranya demi kepentingan hukum, sesuai ketentuan Pasal 101 ayat (2) KUHAP Militer. Yang mana pada tahapan ini tingkat penyelesaian perkara sudah memasuki tataran kewenangan antara Papera dan Oditur Militer.


Kesimpulannya, jika ada prajurit TNI yang meninggal dunia baik ia sebagai terduga maupun tersangka pelanggaran hukum, selama perkaranya belum diregister oleh Oditur Militer di dalam buku register perkara maka perkara tersebut cukup diselesaikan di satuan yang berkaitan. Terhadap hal ini dikecualikan jika masih ada pihak lain yang terlibat berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP dengan menyesuaikan keadaan yang ada.

No comments:

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...