Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Friday, August 13, 2021

PUTUSAN PENGADILAN MENENTUKAN NASIB ORANG LALU APA SANKSINYA JIKA MAJELIS HAKIM KELIRU MEMUTUS SUATU PERKARA?

         Ketika seorang pejabat tata usaha negara membuat atau mengeluarkan keputusan maka para pihak yang merasa berkepentingan dengan dikeluarkannya keputusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan tata usaha negara setempat, jika merasa dirugikan. Fenomena seperti itu juga terdapat pada lingkup pengadilan umum. Ketika hakim pengadilan negeri telah memutus suatu perkara maka jaksa penuntut umum ataupun terdakwa dapat mengajukan keberatan berupa permohonan banding atau kasasi jika putusan majelis hakim pengadilan dianggap tidak atau belum sesuai dengan harapan pihak-pihak tertentu itu.


        Ketika pertimbangan dan putusan hakim-hakim di atasnya sama dengan putusan semula tentu hal ini mungkin tidak menjadi masalah bagi internal lingkungan peradilan tersebut, karena putusan pengadilan di tingkat bawahnya sudah dianggap benar baik sebagian ataupun seluruhnya oleh majelis hakim yang menyidangkan setelahnya (di tingkat pengadilan yang lebih atas). Namun bagaimana jika ternyata pertimbangan dan putusan majelis hakim di tingkat pengadilan yang lebih atas tidak sama dan memutus berbeda dengan majelis hakim di tingkat yang lebih bawah? Akan timbul banyak pertanyaan terhadap keadaan yang seperti itu, di antaranya:

1.    Apakah putusan majelis hakim yang sebelumnya salah atau keliru?

2.    Apakah putusan majelis hakim yang terakhir salah atau keliru?

3.    Kenapa pertimbangannya berlainan padahal ilmu hukum yang diajarkan mungkin sama?

4.    Majelis hakim yang memutus kemudian kemungkinan besar hanya mempelajari berkas, kenapa bisa mempertimbangkan lain dari majelis hakim yang semula memutus?

5.    Apakah ada hal-hal yang sangat perlu diperbaiki atau ditertibkan dalam proses persidangan?


        Pada proses pengadilan tingkat pertama, semua pihak dihadirkan, mulai dari majelis hakim yang menyidangkan perkaranya, jaksa penuntut umum, terdakwa, para saksi, para ahli, dan penasihat hukum jika ada. Namun pada tingkat banding dan kasasi, para pihak tidak dihadirkan lagi melainkan hanya majelis hakim yang ditunjuk yang bersidang. Ketika suatu majelis hakim pada tingkat pertama dianggap keliru dalam memutus, bagaimana nasib majelis hakim pada tingkat di atasnya yang hanya membaca berkas? Apakah dapat dijamin bahwa majelis hakim pada tingkat yang lebih tinggi lebih mampu untuk menganalisis perkara dan memutusnya mejadi lebih baik? Sementara persidangan pada tingkat pertama kemungkinan besar sudah dapat dikatakan terfasilitasi dengan baik dengan kehadiran para pihak yang dianggap dapat membuat terangnya suatu perkara yang disidangkan tersebut.


        Pada tingkat banding dan kasasi atau bahkan peninjauan kembali (PK), ketidakhadiran para pihak tertentu sebetulnya dapat menjadi pertimbangan optimal tidaknya suatu pertimbangan majelis hakim, dikarenakan misalnya dengan dihadirkannya para saksi atau terdakwa atau seorang ahli dapat lebih terjalin komunikasi 2 (dua) arah yang dapat lebih mengeksplorasi keterangan dibandingkan hanya mempelajarinya melalui berkas perkara yang sebagian besar berupa tulisan, karena dapat melihat secara langsung sikap atau gerak-gerik orang yang ditanya.  Jika jawabannya dengan membaca memori dan kontra memori banding atau kasasi saja sudah cukup, seharusnya majelis hakim pengadilan di tingkat pertama pun sudah cukup mendapatkan pelajaran dari proses persidangan yang dilengkapi dengan produk-produk dari jaksa dan penasihat hukum, baik yang berupa tuntutan maupun pleidoi dan produk lanjutannya (replik, duplik, dst). Namun kenapa masih terdapat pertimbangan bahwa majelis hakim di tingkat pertama telah keliru memutus?


    Bagaimana dinamika di peradilan militer?


        Aparat hukum di lingkungan peradilan militer terdiri dari penyidik polisi militer, oditur militer, hakim militer, dan penasihat hukum militer. Para tersangka, terdakwa, dan terpidana semuanya adalah militer, terdiri dari Prajurit TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Adapun sanksi yang diberikan kepada prajurit tersebut ada berbagai macam mulai dari pidana bersyarat hingga dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas militer.


        Suatu perkara mungkin saja selesai hanya sampai pengadilan tingkat pertama di pengadilan militer. Namun ada juga perkara yang baru selesai di tingkat banding atau kasasi, atau bahkan disidangkan kembalidi tingkat PK. Bagi Prajurit TNI yang berpangkat Kapten ke bawah yang melakukan pelanggaran pidana, akan disidangkan di pengadilan militer sebagai pengadilan tingkat pertama, dan akan disidangkan di pengadilan militer tinggi sebagai pengadilan militer tingkat banding serta akan disidangkan di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) sebagai pengadilan tingkat kasasi. Sedangkan bagi Prajurit TNI yang berpangkat Mayor ke atas yang melakukan pelanggaran pidana akan disidangkan di pengadilan militer tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama, dan akan disidangkan di pengadilan militer utama sebagai pengadilan militer tingkat banding, serta akan disidangkan di MARI sebagai pengadilan tingkat kasasi.


        Ketika perkara sudah sampai di tingkat kasasi dan diputus, maka pelaksanaan eksekusi terhadap putusan akan berlaku karena putusan tersebut sudah dianggap memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Sehingga keadaan hukum yang berhubungan dengan adanya putusan tersebut juga akan berdampak bagi prajurit yang bersangkutan. Oleh karenanya putusan majelis hakim dapat berpengaruh terhadap nasib terdakwa di kemudian hari. bahkan jika ia sudah memiliki keluarga, tentunya akan berpengaruh juga terhadap keluarganya, istri dan anak-anaknya.

Jika putusan majelis hakim akan berdampak signifikan, maka akan berdampak bukan hanya terhadap satu orang, si pelanggar, namun juga terhadap keluarganya, keluarga kecil bahkan keluarga besar, nama baik, kehormatan, bahkan mungkin masa depannya.


        Terdapat fenomena putusan, ketika majelis hakim di tingkat bawahnya dinyatakan telah keliru mengambil keputusan dan memutus perkara terlihat dengan adanya perubahan pada putusan di tingkat pengadilan yang lebih atas. Meskipun putusan yang berikutny tidak secara langsung membunyikan kata-kata "majelis hakim pada pengadilan ......... telah keliru memutus ........", namun jika majelis hakim yang berikutnya secara signifikan mempertimbangkan lain dari itu maka cukuplah patut diduga bahwa putusan yang sebelumnya itu telah dianggap keliru atau salah dalam membuat pertimbangan hukumnya. Jika hal seperti ini tidak sedikit terjadi, maka perlu dikaji kembali dan diketahui penyebabnya. Jika putusan yang terakhir cukup adil bagi terdakwa tentu tidak menjadi masalah, namun bagaimana jika putusan yang terakhir benar-benar keliru?

Bagaimana jika putusan yang terakhir dan keliru itu dapat membawa dampak signifikan terhadap terpidana atau bahkan keluarganya?

Hal ini bukan hanya menjadi tantangan bagi para hakim militer, tetapi juga para aparat penegak hukum lainnya, mulai dari penyidik polisi militer, oditur militer, hingga penasihat hukum militer. Ada yang berpengaruh langsung, tidak langsung, dominan, tidak dominan, menentukan, dan yang tidak menentukan.


        Pada pembahasan ini kita akan lebih fokus membahas tentang kekeliruan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kekeliruan hakim, apa sanksinya baik secara formal maupun materiel? Bila dianggap terdapat kekeliruan hakim dalam memutus suatu perkara, tentunya bukan pembahasan mengenai pengurangan hukuman yang diterapkan, melainkan pembebasan atau pemidanaan, yang mana majelis hakim yang memutus kemudian bertentangan dengan putusan sebelumnya. Terutama jika dilakukan melalui upaya hukum PK, ini memerlukan bukti baru yang biasanya dilakukan untuk menuntut pengurangan hukuman atau dalam rangka menyangkal kebersalahannya. Yang perlu kita ingat bahwa sesungguhnya upaya hukum tertinggi adalah di tingkat kasasi, sedangkan upaya hukum PK adalah upaya hukum luar biasa yang tidak menunda pelaksanaan eksekusi.


        Sekali lagi upaya hukum paling tinggi adalah kasasi, yang mana hukuman hasil putusan yang telah berkekuatan hukum tetap segera dilaksanakan tanpa harus menunggu upaya hukum luar biasa seperti PK ataupun upaya hukum lainnya untuk kepentingan hukum. Sehingga diharapkan pada tingkat kasasi ini, majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara sudah benar-benar dapat dipercaya 100%, menghasilkan putusan yang cermat dan seadil-adilnya dikarenakan mungkin memang sudah memiliki beberapa keadaan sebagai berikut majelis hakim sudah senior, sangat berpengalaman, dan lebih bijak menganalisis suatu permasalahan.

Namun apa yang sebenarnya terjadi, ketika terselenggara sidang PK atas suatu perkara tindak pidana, lalu putusannya hanya sekedar untuk mengurangi masa hukumannya tanpa mengubah tentang status kebersalahannya? Sungguh ironis karena persidangan untuk mengadili perkara pada tingkat PK seyogyanya digunakan juga untuk menentukan status kebersalahan saja, menentukan terpidana bersalah atau tidak bersalah sebagai pelaku atau perbantuan atau ternyata dijebak atau tidak terlibat sama sekali, bukan semata-mata mengurangi beban pidana ataupun masa hukuman. Jika status kebersalahannya berubah mungkin akan dapat mempengaruhi masa hukumannya, namun jika hanya mengenai pengurangan masa hukuman, alasan-alasan untuk pemberlakuan PK tidaklah logis untuk digunakan dalam proses peradilan tersebut.


       Lalu bagaimana perlakuan terhadap majelis hakim tingkat kasasi yang putusannya telah dikoreksi oleh majelis hakim PK? Apakah mereka perlu diberi sanksi karena sudah dianggap keliru atau perlu diperbaiki putusannya? Jika putusan yang keliru dan fatal dilakukan pada tingkat kasasi, seyogyanya majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut perlu diberi sanksi yang sangat keras. Silakan tambahkan pertanyaan-pertanyaan lainnya dan diatur lebih lanjut bagaimana mekanismenya.

Hal-hal yang penulis jelaskan sejak awal tentunya sangat perlu menjadi renungan bagi kita semua, terutama para pihak yang mengemban amanah untuk memperbaiki sistem-sistem yang dirasa masih kurang sesuai.


        Prajurit TNI itu tugasnya adalah berjuang menjaga NKRI bahkan jika perlu berperang, sehingga ia harus terus berlatih. Aparat penegak hukum tugasnya adalah memperbaiki ahlak bangsa, dan oleh karenanya ia harus berlatih pula untuk itu.

Kesejahteraan hakiki bagi Prajurit TNI adalah latihan, tetapi kesejahteraan bagi para aparat penegak hukum adalah menegakkan hukum dengan jalan memperbaiki ahlak, baik itu ahlak orang-orang yang ditertibkan maupun terlebih dahulu ahlak-ahlak pelaku penegakan hukum itu sendiri.


        Jayalah Indonesiaku!

   Jagalah ia dengan cara menjaga diri kita sendiri dari kesesatan.

No comments:

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...