Ketika seorang Prajurit TNI melakukan pelanggaran selama penugasan operasi militer tentunya pelanggaran itu menjadi dianggap lebih berat jika dibandingkan pelanggaran itu dilakukan pada saat di homebase. Pertimbangannya adalah bahwa selama penugasan diharuskan lebih tertib dan lebih konsentrasi melaksanakan penugasan dalam rangka mendukung keberhasilannya.
Jika
suatu kesatuan militer diberangkatkan penugasan operasi militer ke suatu
wilayah, apakah masuk kategori melaksanakan penugasan perang ataukah penugasan
biasa? Jika salah satu Prajurit TNI yang melaksanakan penugasan tersebut
melakukan ketidakhadiran tanpa izin komandan satuannya maka pasal mana yang paling
sesuai diterapkan terhadap si pelaku? Terdapat pertentangan pendapat, jika anggota
militer yaitu Prajurit TNI melakukan ketidakhadiran tanpa izin selama 5 hari
dalam keadaan penugasan operasi militer maka pasal mana yang diberlakukan
terhadap si pelanggar THTI atau desersi.
Kita perhatikan kembali ketentuan Pasal 86 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai berikut:
Militer yang dengan sengaja melakukan
ketidakhadiran tanpa izin diancam:
Ke-1, dengan pidana penjara maksimum satu tahun
empat bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu damai minimal satu hari dan
tidak lebih lama dari tigapuluh hari;
Ke-2, dengan pidana penjara maksimum dua tahun
delapan bulan, apabila ketidakhadiran itu dalam waktu perang tidak lebih lama
dari empat hari.
Kita perhatikan kembali ketentuan Pasal 87 KUHPM
sebagai berikut:
(1)
Diancam karena desersi, militer:
Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dari
kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh,
atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa
dibenarkan untuk itu;
Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran
tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tigapuluh hari, dalam waktu perang
lebih lama dari empat hari;
Ke-3, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan
karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu
perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2.
(2)
Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam
dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
(3)
Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam
dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
Selain kedua pasal di atas,
dalam hal terjadi pelanggaran militer perlu benar-benar memperhatikan seluruh
asas-asas hukum yang berlaku bukan hanya dalam hukum yang bersifat umum
melainkan juga asas-asas hukum militer yang bersifat khusus yang diatur di
dalam KUHPM itu sendiri.
Oleh karenanya dalam menentukan kategori mana
termasuk dalam waktu damai dan dalam waktu perang, kita perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 58 KUHPM yang menentukan sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947)
Sesuai dengan cara-cara pemberitahuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan
Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, sejak kepada suatu satuan dari Angkatan
Perang diperintahkan oleh penguasa militer, atau untuk memberantas sesuatu
kekuatan yang bersifat bermusuhan, atau untuk memelihara kenetralan negara,
atau untuk melaksanakan suatu permintaan bantuan militer dari penguasa yang
berhak dalam hal terjadi suatu gerakan pengacauan, maka satuan tersebut sampai
tugas itu berakhir, dianggap berada dalam waktu perang; dan kepada satuan
tersebut, orang-orang terhadap siapa kekerasan ditujukan atau dapat ditujukan,
dipersamakan dengan musuh.
Ketentuan
di atas merupakan salah satu dari asas hukum pidana militer yang mana
keadaan-keadaan yang dimaksud di atas ditentukan sebagai dalam waktu perang. Hal
ini harus dimaknai sebagai suatu kekhususan. Kita harus bisa membedakan antara
pengertian ditinjau dari bentuk kegiatan dan pengertian dari sisi hukum pidana
militer yang sudah jelas identik dengan kekhususan yang mana dalam hal ini sudah
diatur secara khusus di dalam KUHPM.
Perlu diingat bahwa percepatan pemberlakuan kategori desersi tersebut merupakan bentuk pemberatan atas perbuatan yang dilakukan bukan sebagai perubahan hukum acara militer secara keseluruhan, sehingga tetap bukan diselesaikan melalui pengadilan militer pertempuran. Janganlah
terkecoh dengan rumusan yang diuraikan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 34
Tahun 2004 tentang TNI, yang mana tertulis pembedaan kegiatan antara operasi
militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Hal ini hanya
untuk membedakan dan menentukan bagaimana cara Prajurit TNI dalam bertindak di
lapangan selama dan dalam hal kegiatan penugasan. Sedangkan yang diatur di
dalam KUHPM adalah mengenai ketentuan sanksi apa yang akan diterapkan dan
bagaimana persyaratan atau kriterianya jika seorang Prajurit TNI melakukan
pelanggaran hukum militer.
Perhatikan keadaan-keadaan yang
terkandung dalam Pasal 58 KUHPM seperti tertulis di atas:
- untuk memberantas sesuatu kekuatan yang bersifat
bermusuhan, atau
- untuk memelihara kenetralan negara, atau
- untuk melaksanakan suatu permintaan bantuan
militer dari penguasa yang berhak dalam hal terjadi suatu gerakan pengacauan
Keadaan-keadaan di atas seluruhnya bukan termasuk
kriteria kegiatan perang. Justru itu, oleh karena semua itu bukan kegiatan
perang maka sedemikian rupa oleh ketentuan KUHPM keadaan-keadaan tersebut dianggap
sebagai dalam waktu perang. Jika berkaitan dengan perihal keadaan perang yang
sebenarnya tidaklah mungkin dalam ketentuan dibunyikan dengan kata ”dianggap”.
Demikianlah
penjelasannya bahwa jika seorang Prajurit TNI yang sedang melaksanakan
penugasan dalam satuan tugas operasi militer, meskipun bukan dalam keadaan
perang, tetap diperlakukan/dianggap dalam waktu perang, dan jika orang tersebut
melakukan ketidakhadiran tanpa izin selama 5 (lima) hari maka perbuatannya itu
sudah termasuk tindakan desersi.
No comments:
Post a Comment