Seperti yang telah disampaikan sekilas pada artikel sebelumnya bahwa pada keadaan tertentu suatu perceraian tidak bisa dihindari. Perceraian merupakan bagian dari sinkronisasi hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain, ketika terdapat permasalahan akan cenderung memilih saling menjauh lalu berpisah dan memilih jalan kehidupan yang lain. Berikut ini adalah beberapa alasan yang dapat dipertimbangkan oleh komandan satuan dan menjadi penyebab diajukannya proses perceraian oleh prajurit TNI di lingkungan kehidupan militer.
1.
Perzinahan.
Perceraian bisa diajukan jika
salah satu pasangan telah melakukan perzinahan sesuai kriteria yang diatur
dalam Pasal 284 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Mengenai hal ini
tentunya harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Tidak bisa diajukan hanya berdasarkan tuduhan
tanpa bukti dan saksi, apalagi persangkaan. Keadaan seperti ini dapat diajukan
oleh pihak laki-laki ataupun pihak perempuan. Perhatikan ketentuan Pasal 19
huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun terkadang ada juga
orang-orang yang memaafkan pasangannya sehingga tidak memilih untuk bercerai,
tetap menjalani kehidupannya sebagai pasangan suami-istri, meskipun ada yang
tetap melakukan pengaduan/penuntutan terhadap pelaku perzinahan lainnya yang
sudah melakukan perzinahan dengan suami/istrinya itu.
2.
Penjudi.
Yang masuk kriteria ini adalah
penjudi yang tidak mungkin lagi mengubah kebiasaannya, sehingga pasangannya
diperbolehkan untuk mengajukan cerai. Untuk keadaan seperti ini tertuju bagi
laki-laki dikarenakan pihak laki-laki yang berkewajiban untuk menafkahi
keluarganya. Perhatikan ketentuan Pasal 19 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Jika suaminya penjudi berat
maka istrinya boleh mengajukan perceraian dengan pertimbangan sudah tidak
memiliki penghasilan atau gajinya sudah minus dan sangat berat untuk pulih
kembali.
3.
Meninggalkan pasangan selama 2 (dua) tahun.
Jika ada seorang laki-laki
ataupun perempuan yang meninggalkan pasangannya untuk jangka waktu yang lama paling
sebentar selama 2 (dua) tahun berturut-turut atau dengan niat/maksud tidak akan
kembali lagi maka pasangan lainnya yang ditinggalkan boleh mengajukan
permohonan izin cerai. Perhatikan ketentuan Pasal 19 huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Niatnya tersebut dapat dilihat
dari seberapa besar tekadnya untuk kembali kepada pasangannya, tempat
tinggalnya tidak diketahui lagi, atau pergi tanpa berpamitan dan tidak memberi
kabar. Kecuali jika kepergiannya adalah di luar kemampuannya, misalnya karena
diculik dan sebagainya.
4.
Berbeda agama.
Keadaan beda agama ini
maksudnya adalah ketika akan menikah mungkin telah memeluk agama yang sama
namun setelah beberapa waktu dalam perkawinan kemudian salah satu pasangan
berubah keyakinan sehingga memeluk agama lain dari yang selama ini dijalaninya.
Atau memang awalnya kedua pasangan sebelum menikah memeluk agama yang berbeda
dan karena untuk memenuhi syarat sahnya perkawinan akhirnya memutuskan untuk
menyatu dalam satu agama, tetapi setelah berjalan sebagai suami-istri salah
satu pihak dengan suatu alasan dan pertimbangan tertentu kembali kepada
agamanya semula. Untuk hal yang seperti ini pun dapat diproses pengajuan izin
cerainya. Perhatikan juga ketentuan Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam.
5.
Jatuh talak 3 (tiga) kali.
Untuk yang satu ini berlaku
khusus bagi yang muslim. Bagi seorang laki-laki muslim tidak boleh sembarangan
menjatuhkan talak kepada istrinya, karena akibatnya bisa fatal dan tidak bisa diperbaiki.
Perhatikan ketentuan yang diatur juga di dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam. Bagi
pasangan yang sudah jatuh talak 3 (tiga) kali maka kedua pasangan tersebut
sudah tidak boleh lagi tinggal satu rumah, tidak boleh melakukan hubungan
layaknya suami-istri dikarenakan sudah tidak bisa rujuk atau berdamai kembali.
Jika pihak laki-laki masih menginginkan dapat hidup bersama lagi dengan mantan
istrinya tersebut maka pihak perempuan harus terlebih dahulu melangsungkan
perkawinan dan telah bercerai dari laki-laki yang lain. Selama mantan istrinya
tidak bercerai dengan laki-laki lainnya (suami baru) tersebut maka pihak
laki-laki sebelumnya tidak dapat kembali bersatu bersama mantan istrinya.
6.
Pertengkaran.
Pertengkaran yang dianggap
tidak mungkin lagi bisa didamaikan merupakan salah satu alasan yang
diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal pengajuan perceraian.
Perhatikan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan: ”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri” jo. Pasal 16 dan
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun mengenai tingkat pertengkarannya akan
menjadi relatif tergantung penilaian atasan.
7.
Cacat/sakit.
Seorang istri mungkin memiliki
kekurangan dalam hal kesehatan, misalnya menderita sakit yang mengakibatkan
dirinya tidak dapat lagi melayani suaminya untuk berhubungan seksual, atau
karena ia sudah tidak bisa lagi memiliki anak. Demikian pula dengan pihak
laki-laki, mungkin ia mandul atau bahkan impoten sehingga tidak mungkin
memiliki anak dan tidak mungkin dapat berhubungan seksual secara lazim.
Perhatikan ketentuan Pasal 4
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Dalam
hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat
melahirkan keturunan.” jo. Pasal 19 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika
istrinya tidak mengizinkan suaminya menikah lagi berdasarkan ketentuan Pasal 3
ayat (2) undang-undang tersebut, maka kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan
perceraian.
Dengan keadaan-keadaan seperti
disebutkan di atas salah satu pihak diberi kebebasan untuk memilih antara
mencari pasangan hidup yang lain atau tetap bertahan menerima keadaan yang
penting selalu bersama.
8.
Penganiayaan.
Jika salah seorang pasangan
melakukan kekerasan atau yang lebih kita kenal dengan istilah KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga), maka pasangannya harus menilai apakah kekerasannya
tersebut masih terkendali ataukah menjadi kurang terkendali sehingga pasanganya
lebih memilih untuk tidak bersama-sama lagi. Perhatikan ketentuan Pasal 19
huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Yang dimaksud disini adalah kekerasan yang dapat
mengancam keselamatan jiwa korban.
9.
LGBT.
LGBT adalah singkatan dari
lesbian, gay (homoseksual), biseksual, dan transgender. Lesbian adalah kelainan
perilaku yang mana seorang perempuan melakukan hubungan seksual dengan sesama
perempuan. Gay atau homoseksual adalah kelainan perilaku yang mana seorang
laki-laki melakukan hubungan seksual dengan sesama laki-laki. Biseksual adalah
kelainan perilaku yang mana seorang laki-laki maupun perempuan yang berhubungan
seksual dengan sesama jenisnya maupun dengan yang berlainan jenis. Misalnya
seorang perempuan berhubungan seksual dengan laki-laki juga dengan sesama
perempuan. Demikian pula seorang laki-laki berhubungan seksual dengan perempuan
juga dengan sesama laki-laki. Sedangkan transgender adalah suatu keadaan yang
mana seorang perempuan mengubah alat kelaminnya menjadi kelamin laki-laki atau
laki-laki mengubah alat kelaminnya menjadi kelamin perempuan dengan cara
operasi.
Dalam hal ini jika ternyata
salah satu pihak dari pasangan suami-istri memiliki kelainan biseksual ataupun
transgender, maka pihak lainnya mempunyai alasan untuk mengajukan permohonan
izin cerai. Perkawinan dengan sesama jenis jelaslah melanggar hukum. Perhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
10.
Pidana penjara 5 (lima) tahun.
Bisa saja seorang istri
melakukan pelanggaran hukum yang mengakibatkan ia dijatuhi vonis pidana penjara
paling sebentar selama 5 (lima) tahun, maka suaminya dapat mengajukan
permohonan izin cerai. Atau seorang suami yang melakukan pelanggaran hukum
seperti demikian sehingga istrinya boleh mengajukan permohonan izin cerai di
kedinasan. Perhatikan ketentuan
Pasal 19 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini dengan pertimbangan
bahwa selama waktu yang lama itu keduanya tidak bisa saling melaksanakan
kewajiban batin sebagai pasangan suami-istri.
11.
Akte cerai.
Ketika sudah ada akte cerai
yang ditunjukkan oleh salah satu pasangan (suami atau istri) maka dengan keadaan
tersebut dapat diajukan permohonan izin cerai di kesatuannya. Lihat penjelasan
penulis pada artikel yang lalu tentang bagaimana proses perceraian jika akte cerai sudah keluar.
Demikianlah
beberapa hal yang dapat menjadi alasan dan penyebab perceraian keluarga
prajurit TNI. Meskipun demikian, tidak semerta-merta ketika terdapat
unsur-unsur seperti disebutkan di atas lalu langsung diproses permohonan izin
cerainya oleh komandan satuan yang bersangkutan. Tetap saja komandan satuan
akan meneliti dan mempertimbangkan kelayakannya kecuali untuk perihal pada
angka 3, 4, 5, 9, dan 11, tidak perlu diusahakan perdamaian. Mengenai perihal mengantisipasi
perceraian, penulis akan membahasnya lebih detail dalam materi “Mengantisipasi
terjadinya perceraian karena alasan pertengkaran, kecacatan/sakit, dan
menjalani pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun”.
No comments:
Post a Comment