بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup, alhamdulillāh pada kesempatan kali ini kita berjumpa lagi. Penulis akan membahas diskusi hidup tentang bagaimana penerapan sanksi administratif bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat berdasarkan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (Perkasad) Nomor 39 Tahun 2018. Untuk diskusi ini penulis lebih menitikberatkan pada perihal penundaan kenaikan pangkat khususnya perwira. Adapun pendapat penulis adalah sebagai berikut.
Bagaimanakah sebenarnya penerapan sanksi administratif dalam hal penundaan kenaikan pangkat? Sesuai judul yang disampaikan disini kita akan membahas dalam hal penerapan sanksi administratif penundaan kenaikan pangkat. Dalam hal ini penulis ingin memberikan gambaran tentang bagaimana sebaiknya penerapan sanksi administratif terhadap penundaan kenaikan pangkat berdasarkan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor 39 Tahun 2018 tentang Sanksi administratif bagi Prajurit TNI Angkatan Darat, sehingga dalam penerapannya tetap berada pada koridor asas legalitas dan kepastian hukum. Kita semua menyadari bahwa sanksi administratif yang dijatuhkan kepada prajurit berdampak pada perkembangan karirnya oleh karena itu lah maka dalam penerapannya harus sesuai dengan ketentuan, harus berdasarkan asas-asas hukum. Ada 2 (dua) asas penting yang perlu diperhatikan, yang pertama yaitu asas legalitas artinya dalam penerapan sanksi administratif ini harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apa aturan yang diterapkan tergantung kapan pelanggaran hukum tersebut terjadi. Kalau pelanggaran hukum terjadi sebelum aturan dibuat maka aturan penjatuhan sanksi administratif tersebut tidak dapat diberlakukan (tidak berlaku surut). Demikian juga halnya jika pelanggaran dilakukan pada saat telah ada aturan sebelumnya maka aturan yang terdahulu itu yang digunakan terlebih dahulu dan aturan yang baru belum berlaku. Dan harus dipahami juga bahwa penjatuhan sanksi administratif merupakan kelanjutan dari penjatuhan hukum pidana atau disiplin yang mana kesimpulannya bahwa seseorang tidak boleh dijatuhkan sanksi administratif tanpa didahului penjatuhan hukum pidana atau disiplinnya tadi.
Kemudian yang kedua ialah asas kepastian hukum artinya dalam penjatuhan saksi administratif ini harus dituangkan dalam keputusan sanksi administratif dan menjadi bukti dalam pembinaan karir prajurit di masa yang akan datang serta harus jelas kapan berlakunya saat sanksi administratif ini dan kapan sanksi administratif ini berakhir, jangan sampai seorang prajurit TNI yang dijatuhi sanksi tidak mengetahui kapan mulai berlaku dan berakhirnya sanksi administratif yang diterapkan pada dirinya dikarenakan tidak ada kepastian tentang waktu penjatuhannya.
Sejak kapan sanksi administratif diterapkan? Pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini sering muncul dan harus dijelaskan bahwa sanksi administratif diterapkan sejak prajurit TNI eligible dalam pangkat. Kalimat ini sangat sederhana tetapi ditafsirkan dengan beberapa versi. Sebelum pejabat personel menerapkan rencana penempatan jabatan, pejabat personel menghitung terlebih dahulu terlebih dahulu kapan orang tersebut sudah waktunya untuk naik pangkat.
Agar lebih jelas, terlebih dahulu kita membahas tentang arti elgible. Istilah eligible sudah digunakan dalam Kepkasad Nomor 75/II/2016 tanggal 1 Februari 2016 namun tidak dijelaskan bagaimana penerapan eligible tersebut, sedangkan dalam Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 sudah diadakan penyesuaian sehingga menjadi lebih jelas maksudnya. Istilah eligible itu sebenarnya digunakan baik dalam penerapan sanksi administratif maupun juga penerapan usul kenaikan pangkat itu sendiri. Namun eligible dalam ketentuan sanksi administratif ini serupa tetapi tidak sama maksudnya ketika diterapkan dalam ketentuan usul kenaikan pangkat. Seperti apa bedanya? Tentang hal ini akan kita bahas sebagai berikut.
1. Istilah eligible dalam penerapan sanksi administratif (berdasarkan Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 tentang Sanksi administratif bagi Prajurit TNI Angkatan Darat).
Yang dimaksud eligible disini adalah terpenuhinya syarat untuk diusulkan mengikuti pendidikan dan kenaikan pangkat. Kalimat ini masih bersifat umum, namun sudah disimpulkan untuk penerapan ketentuan yang lain, sehingga menjadi tidak sinkron dan menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam yang mana pada akhirnya malah menjadi tidak sejalan dengan ketentuan yang sebenarnya yang sudah dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya di bagian masing-masing.
Dalam ketentuan ini, pengertian eligible dijelaskan lebih rinci pada Pasal 14 ayat (3) bahwa eligible untuk pangkat adalah dihitung berdasarkan Masa Dinas Perwira (MDP) dan/atau Masa Dinas Dalam Pangkat (MDDP), dan untuk pendidikan dihitung berdasarkan yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan pada tahun anggaran pendidikan yang telah ditetapkan (tanpa mempertimbangkan yang bersangkutan akan/telah lulus atau tidak, diterapkan sebelum mengikuti tes seleksi pendidikan). Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) bahwa sanksi administratif diterapkan sejak prajurit TNI Angkatan Darat yang bersangkutan eligible dalam pangkat dan memenuhi syarat mengikuti pendidikan. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut tidak mensyaratkan tentang jabatan karena ini mengenai bagaimana menghitung waktu penerapannya.
Kalimat “terpenuhinya syarat” dalam ketentuan (pengertian) eligible dalam hal penerapan sanksi administratif ini adalah yang bersifat umum.
2. Istilah eligible dalam penerapan usul kenaikan pangkat (berdasarkan Perkasad Nomor 21 Tahun 2019 tentang Kepangkatan Prajurit TNI Angkatan Darat).
Yang dimaksud eligible disini juga sama yaitu terpenuhinya syarat untuk diusulkan mengikuti pendidikan dan kenaikan pangkat. Namun mengenai hal ini penerapannya dijelaskan pada Bab III (Bagian Kesatu dan Bagian Kedua) terutama Pasal 9 hingga Pasal 15. Dalam Pasal 9 ayat (4) ditentukan bahwa proses Usul Kenaikan Pangkat (UKP) Perwira berpedoman pada MDP dan MDDP. Kemudian pada Pasal 10 ditentukan pula bahwa kenaikan pangkat diberikan kepada prajurit yang telah memenuhi persyaratan jabatan dan masa peninjauan. Pasal 10 tersebut berbicara tentang syarat untuk kenaikan pangkatnya, diulangi “tentang syarat untuk kenaikan pangkatnya”, bukan “penghitungan standar kapan kenaikan pangkatnya”. Sedangkan untuk penghitungan masa kenaikan pangkatnya berpedoman pada MDP dan MDDP seperti yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (4).
Kalimat “terpenuhinya syarat” dalam ketentuan (pengertian) eligible dalam hal penerapan usul kenaikan pangkat ini adalah yang bersifat khusus sebagai dasar pengusulan, perlu dihuruftebalkan “sebagai dasar pengusulan”, sebagaimana diperjelas dalam Pasal 13 huruf a bahwa seorang perwira dapat diusulkan kenaikan pangkat regulernya jika sudah menduduki jabatan penuh dalam jabatan.
3. Sebelum menginjak pada penjelasan selanjutnya, perlu disampaikan beberapa contoh sebagai berikut:
a. Contoh yang pertama, penerapan tentang penjatuhan sanksi administratif terhadap prajurit yang belum eligible ketika melakukan pelanggaran. Kita sebut saja Letkol Pulan I angkatan 99 kita asumsikan Seskoad 2013 kemudian TMT pangkat 1-4-2015, MDDP harus minimal 2 tahun yaitu pada 1-4-2017. Kalau kita melihat angkatan 99 dia dikatakan eligible ke Kolonel dengan MDP 22 tahun artinya ini TMT 1-4-2021 sudah bisa naik pangkat. Tetapi yang bersangkutan pada tahun 2019 melakukan tindak pidana dan akibat perbuatan tersebut ia dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dan masa percobaan 6 bulan. Untuk penerapan sanksi administratif menggunakan Perkasad Nomor 39 Tahun 2018, dijatuhi sanksi administratif penundaan pendidikan 1 periode dan penundaan kenaikan pangkat 2 periode. Lalu kapan eligible kenaikan pangkatnya kalau ditunda 2 priode kenaikan pangkat maka periode pertama adalah 1-4-2021, periode kedua adalah 1-10-2021 sehingga pada periode ketiga 1-4-2022 yang bersangkutan sudah bisa dinaikan pangkatnya menjadi Kolonel.
b. Contoh yang kedua, penerapan tentang penjatuhan sanksi administratif terhadap prajurit yang sudah eligible ketika melakukan pelanggaran. Kita sebut saja Letkol Pulan II angkatan 94 TMT Letkol 1-10-2013. Jika kita melihat dari angkatan 94 Letkol tahun 2013, MDDP 2 tahun pada tahun 2015. Pada tahun 2017 yang bersangkutan melakukan pelanggaran disiplin kemudian dijatuhi sanksi berupa hukuman disiplin berat selama 21 hari kemudian ditindaklanjuti dengan sanksi administratif penundaan pendidikan 1 Priode dan penundaan kenaikan pangkat 3 priode. Ini berarti kejadiannya setelah eligible. Dengan aturan masa kenaikan pangkat yang lama pada tahun 2016 dia sebenarnya sudah masuk perhitungan normatif untuk naik pangkat ke Kolonel, sehingga dasar penghitungan dimulai dari mana penghitungannya berbeda dengan contoh pada nomor 1. Dalam Perkasad No 39 tahun 2018 penjatuhan sanksi administratif mengacu pada saat selesai menjalani hukuman tetapi ini pelanggaran hukum terjadi setelah 2016 maka menggunakan Kepkasad Nomor 75/II/2016 tanggal 1 Februari 2016 eligiblenya di hitung berdasarkan saat hukuman disiplin ditetapkan dan dia dijatuhi sanksi penundaan pangkat 3 priode. Maka kapan penundaan dilakukan kalau Kepnya ditandatangani tanggal 1 Juni 2017? Penundaan pertama 1-10-2017 penundaan kedua 1-4-2018 penundaan ketiga 1-10-2018 sehingga 1-4-2019 secara normatif/secara umum dia sudah bisa dinaikkan pangkatnya ke Kolonel.
4. Berdasarkan ketiga penjelasan di atas, disampaikan logika berpikir sebagai berikut:
a. Kedua peraturan tersebut menggunakan istilah eligible dan dipergunakan sesuai peruntukannya masing-masing dengan cara memberikan penjelasan dan definisinya, sehingga keduanya berfungsi sesuai porsinya masing-masing;
b. Dalam ketentuan Perkasad Nomor 39 Tahun 2018, eligible kenaikan pangkat mengandung pengertian yang bersifat umum yaitu mengenai MDP dan MDDP, sementara dalam Perkasad Nomor 21 Tahun 2019 eligible kenaikan pangkat mengandung pengertian yang bersifat khusus yaitu sudah harus menjawab sesuai pangkat yang akan diusulkannya. Hal ini dapat kita buktikan dengan cara berpikir sebagai berikut;
1) Terhadap pembahasan mengenai pendidikan, dikatakan bahwa eligible pendidikan dihitung berdasarkan saat yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan pada tahun anggaran pendidikan yang telah ditetapkan (vide: Pasal 14 ayat (3) huruf a Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 tentang Sanksi Administratif bagi Prajurit TNI Angkatan Darat), dan pada pelaksanaannya penundaan itu bukan berarti yang bersangkutan mengikuti tes lalu jika lulus tes baru dilarang untuk mengikuti pendidikannya melainkan ketika akan mengikuti tes/seleksi pendidikannya. Karena jika dilarang atau ditundanya pendidikan dihitung setelah seseorang ikut tes lalu lulus baru dihitung penundaannya, maka jika ia tidak pernah lulus tes pendidikan apakah ia dianggap belum pernah menjalani penundaan pendidikan? Untuk mendapatkan kepastian hukum tentunya tidak demikian pelaksanaannya. Itulah sebabnya mengapa penundaan pendidikan tetap dihitung berdasarkan hitungan masa kapan seorang pelanggar sudah bisa mengikuti pendidikan;
2) Sehingga demikian juga jika diberlakukan penundaan kenaikan pangkat, maka bukan berarti diterapkan ketika sudah menduduki jabatan yang menimbulkan pangkatnya dapat dinaikkan melainkan ketika akan diberikan jabatan tersebut yang ditunda (dapat diberikan jabatan lain yang tidak berpengaruh terhadap kenaikan pangkat), kecuali jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran ketika sudah menduduki jabatan yang menimbulkan pangkatnya dapat dinaikkan satu tingkat lebih tinggi.
c. Jika dilihat dari sisi kepastian hukum, maka penerapan sanksi administratif yang menentukan penghitungan masa penundaan setelah diberi jabatan yang dapat menimbulkan dinaikkan pangkatnya itulah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika yang bersangkutan kemudian diberikan jabatan untuk naik pangkat tentu hal ini menjadi pasti sanksi administratif dapat diterapkan padanya, namun bagaimana jika yang bersangkutan tidak pernah diberikan jabatan yang dimaksud hingga pensiun? Ketika tidak semua orang mendapatkan kesempatan menduduki jabatan untuk kenaikan pangkatnya, kapan diterapkan sanksi administratifnya? Apakah kemudian dikatakan bahwa yang bersangkutan masih bermasalah hukum karena belum menjalankan sanksi administratif? Jika yang terjadi yang terakhir ini maka penerapan sanksi administratif menjadi tidak pasti. Berarti penjatuhan sanksi administratif menjadi kapan-kapan? Menjadi tidak logis karena tidak ada kepastian hukum. Yang memberikan kepastian hukum adalah dengan menerapkan penghitungan MDP dan MDDP mempedomani keadaan yang standar/normatif;
d. Oleh karenanya pula bahwa dalam Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 sudah tidak lagi dibahas tentang penundaan terhadap jabatan karena pemberian jabatan terutama untuk Golongan IV/Kolonel adalah pilihan. Penundaan jabatan diperhitungkan sebagai satu paket dengan penundaan pangkat, artinya jika pimpinan akan menaikkan pangkat seorang bawahannya maka baru ia carikan jabatannya; dan
e. Bahwa penentuan masa penundaan kenaikan pangkat pada format penulisan antara yang diberlakukan terhadap pangkat Pama ke bawah dengan pangkat Mayor ke atas adalah berbeda. Untuk pangkat Pama ke bawah langsung dituliskan secara detail masa penundaan pangkatnya sedangkan untuk pangkat Mayor ke atas hanya dituliskan “eligible”, hal ini dikarenakan untuk pangkat Mayor ke atas akan cenderung dipengaruhi dengan jenis pendidikan yang telah ditempuhnya, sehingga lebih praktis dengan hanya menuliskan kata “eligible”, sementara untuk yang Pama ke bawah akan cenderung naik pangkat secara teratur sehingga tetap dituliskan periode penundaan kenaikan pangkatnya.
5. Sebelum menginjak pada bagian kesimpulan, perlu dibahas suatu contoh yang dapat menimbulkan persepsi yang keliru sebagai berikut.
Mungkin ada penafsiran bahwa sanksi administratif penundaan pangkat diterapkan setelah seorang mantan pelanggar menduduki jabatan yang oleh karenanya dapat dinaikkan pangkatnya satu tingkat di atas pangkat semula. Pendapat seperti ini bisa saja dikarenakan terpengaruh dan salah mengartikan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 yang berbunyi sebagai berikut:
“Prajurit TNI AD yang dijatuhi sanksi administratif berupa penundaan mengikuti pendidikan yang selesainya mendahului dari sanksi adminitratif berupa penundaan kepangkatan, maka yang bersangkutan dapat mengikuti pendidikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1), selanjutnya sanksi administratif berupa penundaan kepangkatan bagi perwira perhitungannya diterapkan setelah menduduki jabatan yang baru, sedangkan sanksi administratif penundaan kepangkatan bagi bintara dan tamtama perhitungannya berlaku untuk kenaikan pangkat berikutnya setelah alih golongan.”
Adanya salah pengertian dikarenakan kata yang dihuruftebalkan itu dianggap sebagai aturan yang berlaku umum terhadap penerapan penghitungan penundaan kenaikan pangkat. Padahal jika kita baca dan pelajari lebih teliti, ketentuan itu diterapkan khusus bagi prajurit mantan pelanggar yang berkaitan dengan pendidikan yang berakibat langsung terhadap perubahan jabatan dari jabatan sebelumnya menjadi jabatan satu tingkat di atasnya.
Jika dijelaskan dengan contoh, dengan asumsi masa pendidikan Seskoad adalah selama satu tahun dan dimulai sejak awal bulan Januari, maka keadaannya adalah sebagai berikut. Misalnya pada tahun ini adalah tahun 2018, Si A adalah seorang prajurit berpangkat Mayor belum pernah mengikuti pendidikan Seskoad sehingga masih menduduki jabatan Golongan VI/Mayor dan kebetulan juga belum mencapai MDP dan/atau MDDP untuk memenuhi kenaikan pangkat untuk personel yang tidak berpendidikan Seskoad, sementara rekan-rekan seangkatannya sudah ada yang menduduki jabatan Golongan V/Letkol dan sudah berpangkat Letkol. Si A melakukan pelanggaran pada bulan Februari tahun 2018 ini kemudian dijatuhi sanksi administratif berupa penundaan mengikuti pendidikan selama 1 periode dan penundaan kenaikan pangkat 2 periode sehingga ia tidak dapat mengikuti pendidikan Seskoad pada tahun 2019 kemudian baru bisa mengikuti pendidikan Seskoad pada tahun 2020. Sehingga setelah ia menyelesaikan pendidikannya tersebut ia mendapatkan jabatan yang baru yang sudah tentu sebagai jabatan satu tingkat lebih tinggi daripada jabatan semula. Keadaan yang seperti inilah yang dikatakan sebagai “penerapan penundaan pendidikan mendahului penerapan penundaan kenaikan pangkat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3) tadi. Oleh karena itu penundaan kenaikan pangkatnya dihitung sejak ia mendapatkan jabatan barunya itu. Hal ini hanya khusus berlaku pada perihal yang sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, bukan untuk keadaan yang lain.
Hidayahnya, pada keadaan tertentu bisa saja ada juga Prajurit TNI angkatan tertentu yang ketika selesai pendidikan tetap menempati jabatan yang setingkat (karena menyesuaikan dengan aturan yang berlaku pada saat itu) dan kebetulan angkatan tersebut belum eligible untuk naik pangkat (MDP belum mencukupi), bukan jabatan satu tingkat di atasnya, sehingga belum bisa dijadikan sebagai dasar yang bersangkutan naik pangkat. Oleh karenanya dalam Pasal 15 ayat (3) Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 sudah betul maksud perhitungannya adalah pada saat setelah menduduki jabatan yang bisa digunakan untuk naik pangkat (dasarnya, di dalam pasal tersebut berbicara tentang alih golongan bagi bintara dan tamtama), dan yang pada saat itu jika tidak sekolah belum masuk kategori eligible MDP.
6. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita Tarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Dalam penerapan sanksi administrasi, harus jelas dan mengandung kepastian hukum kapan seorang Prajurit TNI melakukan pelanggaran, kapan ia dihukum/diberi sanksi, dan kapan ia selesai menjalaninya;
b. Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 berbicara tentang bagaimana menghitung masa penerapan sanksi administratif dalam keadaan normatif, sedangkan Perkasad Nomor 21 Tahun 2019 berbicara tentang syarat-syarat Ketika akan mengusulkan kenaikan pangkat;
c. Pengertian eligible dalam Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 berbicara tentang perihal yang bersifat umum, sedangkan Perkasad Nomor 21 Tahun 2019 sudah berbicara tentang perihal yang bersifat khusus;
d. Penerapan penundaan kenaikan pangkat tetap berpedoman pada ketentuan Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 terutama dalam Pasal 14 (kaidah umum) dan 15 (penerapan terhadap perkara tertentu yang lebih detail);
e. Penundaan kenaikan pangkat dimulai sejak prajurit yang bersangkutan telah eligible berdasarkan MDP dan/atau MDDP jika pelanggaran dilakukan ketika yang bersangkutan belum eligible dan dimulai sejak selesai menjalani hukuman (pidana ataupun disiplin) jika pelanggaran dilakukan ketika yang bersangkutan sudah eligible;
f. Ketika kita hendak mendudukan seseorang kepada pangkatnya, yang pertama kali kita lihat tentu MDP dan MDDP kemudian kita carikan jabatannya berdasarkan pengertian eligible yang bersifat umum. Dan memang jabatan itu syarat untuk naik pangkat, namun bukan berarti jabatan itu sebagai awal penghitungan eligiblenya pangkat seseorang; dan
g. Pengertian eligible dalam Perkasad Nomor 39 Tahun 2018 dan Perkasad Nomor 21 Tahun 2019 keduanya tidak saling bertentangan namun berlaku pada porsinya masing-masing.
Sahabat Diskusi Hidup yang senantiasa diberi kesehatan,
Berdasarkan yang sudah disampaikan di atas, bisa saja Sahabat berpendapat lain. Kebenaran manusia itu relatif, tergantung situasi dan keadaan yang berlangsung. Kebenaran yang mutlak datangnya hanya dari Allāh SWT.
Mohon maaf jika ada kesalahan, kebenaran hanya milik Allāh SWT.
Semoga bermanfaat, terima kasih banyak atas perhatiannya.
No comments:
Post a Comment