UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sementara itu Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara;
d. bahwa pengaturan tentang pengadilan dan oditurat serta hukum acara pidana militer yang selama ini berlaku dalam berbagai undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undangundang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia serta perkembangan hukum nasional;
e. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pengadilan militer juga berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Angkatan Bersenjata;
f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas dipandang perlu ditetapkan pengaturan kembali susunan dan kekuasaan pengadilan dan oditurat di lingkungan peradilan militer, hukum acara pidana militer, dan hukum acara tata usaha militer dalam satu undang-undang;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 UndangUndang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344);
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN MILITER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
2. Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah Badan atau Pejabat di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Departemen Pertahanan Keamanan serta badan atau pejabat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berwenang mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara.
4. Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
5. Hakim Ketua adalah Hakim yang mengetuai majelis hakim dalam persidangan pengadilan.
6. Hakim Ketua adalah Hakim yang mengetuai majelis hakim dalam persidangan pengadilan.
7. Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
8. Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Oditur Jenderal adalah penuntut umum ter-tinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat.
9. Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan Undang-undang ini.
10. Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar Undangundang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
11. Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.
12. Penyidik Pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tertentu yang berada dan diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan di kesatuannya.
13. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
14. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
15. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
16. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
17. Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
18. Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19. Penggeledahan rumah adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
20. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.
21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah Atasan yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara atau Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dengan keputusan/penetapannya dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
22. Penyerahan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
23. Penutupan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berdasarkan pertimbangan demi kepentingan hukum atau kepentingan militer dan/atau kepentingan umum.
24. Penghentian penuntutan adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang karena tidak terdapat cukup bukti atau perbuatannya ternyata bukan merupakan tindak pidana dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
25. Tersangka adalah seseorang yang termasuk yustisiabel peradilan militer, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
26. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
27. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
28. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
29. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
30. Penasihat hukum adalah seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memenuhi persyaratan untuk memberikan bantuan hukum menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini.
31. Rehabilitasi adalah hak Terdakwa untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dalam hal Terdakwa diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang putusannya bukan pemidanaan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
33. Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah administrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara.
34. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara di bidang personel, materiil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
35. Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
36. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi untuk mendapatkan putusan.
37. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang menggugat Tergugat.
38. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
39. Penetapan adalah Keputusan Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, baik di dalam maupun di luar sidang, mengenai perkara pidana atau perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang bukan merupakan putusan akhir.
40. Ganti rugi adalah hak seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang langsung atau tidak langsung mendapat kerugian, untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
41. Upaya hukum adalah:
a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;
b. dalam Hukum Acara Tata Usaha Militer, tergugat atau penggugat untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa banding atau kasasi, atau permohonan peninjauan kembali putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap serta hak pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
42. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
43. Angkatan Bersenjata adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
44. Menteri adalah Menteri Pertahanan Keamanan Republik Indonesia.
45. Panglima adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata menurut Undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam bidang operasi militer;
c. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;
d. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
e. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana, hukum pidana militer, dan hukum disiplin prajurit;
f. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
g. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang masih memerlukan persetujuan.
Pasal 3
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2) Apabila suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud sudah lewat, Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut dianggap sudah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan yang ber-sangkutan tidak menentukan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesudah lewat tenggang waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dianggap sudah mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 4
Pengadilan Militer Tinggi tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 5
(1) Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
(2) Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 6
Pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 7
(1) Pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan Pengadilan dan Oditurat dilakukan oleh Panglima.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
(1) Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata.
(2) Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Pasal 11
Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu harus mengadili perkara tersebut.
Bagian Kedua
Susunan Pengadilan
Pasal 12
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Pasal 13
Susunan organisasi dan prosedur Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Nama, Tempat Kedudukan, dan Daerah Hukum
Pasal 14
(1) Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
(3) Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya.
(4) Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Bagian Keempat
Susunan Persidangan
Pasal 15
(1) Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2) Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(3) Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(4) Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.
Pasal 16
(1) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan Hakim Anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten.
(2) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kolonel, sedangkan Hakim Anggota dan Oditur Militer Tinggi paling rendah berpangkat Letnan Kolonel.
(3) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, sedangkan Hakim Anggota paling rendah berpangkat Kolonel.
(4) Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan Hakim Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling rendah berpangkat setingkat lebih tinggi dari pada pangkat Terdakwa yang diadili.
(5) Dalam hal Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim Anggota, dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa dan dalam hal Terdakwanya perwira tinggi Hakim Ketua, Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah ber-pangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa.
(6) Kepangkatan Panitera dalam persidangan:
a. Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua dan paling tinggi berpangkat Kapten;
b. Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kapten dan paling tinggi berpangkat Mayor;
c. Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Mayor dan paling tinggi berpangkat Kolonel.
Pasal 17
(1) Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dengan beberapa Hakim Anggota yang keseluruhannya selalu berjumlah ganjil, yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Pertempuran paling rendah berpangkat Letnan Kolonel, sedangkan Hakim Anggota dan Oditur paling rendah berpangkat Mayor.
(3) Dalam hal Terdakwanya berpangkat Letnan Kolonel, Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa yang diadili.
(4) Dalam hal Terdakwanya berpangkat Kolonel dan/atau perwira tinggi, Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa yang diadili.
Bagian Kelima
Ketentuan bagi Pejabat
Pasal 18
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 19
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 20
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 21
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya, Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Hakim Militer/Hakim Militer Tinggi/Hakim Militer Utama yang ber-budi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 23
Hakim dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. penasihat hukum;
c. pengusaha; atau
d. pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 24
(1) Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih jabatan;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani masa pensiun; atau
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 25
(1) Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan sesudah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pasal 26
Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 27
Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 28
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.
Pasal 30
Sebelum memangku jabatannya, Panitera wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Panitera yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a dan Pasal 18 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf b dan Pasal 19 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah paling rendah Sarjana Hukum; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan Militer.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf c dan Pasal 20 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah Sarjana Hukum; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 34
Panitera dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. penasihat hukum;
c. pengusaha; atau
d. pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 35
(1) Panitera diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih jabatan;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani masa pensiun; atau
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Panitera yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 36
Panitera diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 38
(1) Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan membantu Hakim dengan mengikuti serta mencatat jalannya sidang.
(2) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
(3) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, surat-surat berharga dan surat-surat lainnya, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, serta barang bukti yang semuanya disimpan di kepaniteraan.
Pasal 39
Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Kepala Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Kekuasaan Pengadilan
Paragraf 1
Kekuasaan Pengadilan Militer
Pasal 40
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah; dan
c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
Paragraf 2
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi
Pasal 41
(1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2) Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
(3) Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Paragraf 3
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama
Pasal 42
Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.
Pasal 43
(1) Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
(2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:
a. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama;
b. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
(3) Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal 44
(1) Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.
(2) Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(3) Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(5) Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung.
Paragraf 4
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran
Pasal 45
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.
Pasal 46
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
BAB III
SUSUNAN DAN KEKUASAAN ODITURAT
Bagian Pertama
Umum
Pasal 47
(1) Oditurat melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
Pasal 48
Pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditurat dilakukan oleh Oditur Jenderal.
Bagian Kedua
Susunan Oditurat
Pasal 49
(1) Oditurat terdiri dari:
a. Oditurat Militer;
b. Oditurat Militer Tinggi;
c. Oditurat Jenderal; dan
d. Oditurat Militer Pertempuran.
(2) Dalam daerah hukum Oditurat Militer dapat dibentuk unit pelaksana teknis Oditurat Militer sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 50
Susunan organisasi dan prosedur Oditurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
Bagian Ketiga
Nama, Tempat Kedudukan, dan Daerah Hukum
Pasal 51
(1) Tempat kedudukan Oditurat Jenderal berada di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Oditurat Militer, dan Oditurat Militer Tinggi ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
(3) Oditurat Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
Bagian Keempat
Ketentuan bagi Pejabat
Pasal 52
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 53
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 54
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Jenderal, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. perwira tinggi dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 55
Oditur dan Oditur Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.
Pasal 56
Sebelum memangku jabatannya, Oditur dan Oditur Jenderal wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi/Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 57
(1) Oditur dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang dalam melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut saluran hirarki.
(2) Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
(3) Dalam melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara.
Pasal 58
Oditur dan Oditur Jenderal dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. penasihat hukum;
b. pengusaha; atau
c. pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a dan huruf b yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 59
(1) Oditur dan Oditur Jenderal diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih jabatan;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani masa pensiun; atau
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Oditur dan Oditur Jenderal yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 60
(1) Oditur dan Oditur Jenderal diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e dilakukan sesudah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Oditur.
(3) Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Oditur serta tata cara pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan Oditur Jenderal.
Pasal 61
Oditur dan Oditur Jenderal sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 62
Apabila terhadap seorang Oditur dan Oditur Jenderal ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Oditur dan Oditur Jenderal tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 63
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, dan Pasal 61 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Bagian Kelima
Kekuasaan Oditurat
Paragraf 1
Kekuasaan Oditurat Militer
Pasal 64
(1) Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya:
1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah;
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer;
b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
c. melakukan pemeriksaan tambahan.
(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan.
Paragraf 2
Kekuasaan Oditurat Militer Tinggi
Pasal 65
(1) Oditurat Militer Tinggi mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
c. melakukan pemeriksaan tambahan.
(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Tinggi dapat melakukan penyidikan.
Paragraf 3
Kekuasaan Oditurat Jenderal
Pasal 66
Oditurat Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:
a. membina, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat;
b. menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta kebijaksanaan pemidanaan; dan
c. dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer, dan badan penegak hukum lain.
Pasal 67
Oditur Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:
a. selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat, mengendalikan pelaksanaan tugas dalam bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata;
b. mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang penyidikan, penyerahan perkara, dan penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata;
c. menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; dan
d. melaksanakan tugas khusus dari Panglima sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 4
Kekuasaan Oditurat Militer Pertempuran
Pasal 68
(1) Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1;
b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.
(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Pertempuran dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah langsung dari Panglima atau Komandan Komando Operasi Pertempuran.
BAB IV
HUKUM ACARA PIDANA MILITER
Bagian Pertama
Penyidikan
Paragraf 1
Penyidik dan Penyidik Pembantu
Pasal 69
(1) Penyidik adalah:
a. Atasan yang Berhak Menghukum;
b. Polisi Militer; dan
c. Oditur.
(2) Penyidik Pembantu adalah:
a. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat;
b. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
c. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara; dan
d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 70
Persyaratan, pengangkatan, dan pemberhentian Penyidik dan Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 71
(1) Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau diduga sebagai Tersangka, mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
c. mencari keterangan dan barang bukti;
d. menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
e. melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi;
h. meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Selain mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c, juga mempunyai wewenang:
a. melaksanakan perintah Atasan yang Berhak Menghukum untuk melakukan penahanan Tersangka; dan
b. melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum.
Pasal 72
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada Perwira Penyerah Perkara, Atasan yang Berhak Menghukum, dan Oditur sebagai penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara kepada Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti.
Pasal 73
Penyidik Pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 terhadap tindak pidana yang terjadi di kesatuannya, kecuali dalam hal pemberkasan dan penyerahan berkas perkara kepada Oditurat.
Pasal 74
Atasan yang Berhak Menghukum mempunyai wewenang:
a. melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;
b. menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;
c. menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c; dan
d. melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 75
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2) Penangkapan terhadap Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak Menghukum yang langsung membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat Tersangka ditemukan, berdasarkan permintaan dari Penyidik yang menangani perkaranya.
(3) Pelaksanaan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan surat perintah.
Pasal 76
(1) Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Terhadap Tersangka pelaku pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali dalam hal Tersangka sudah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturutturut tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.
(3) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 77
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan Tersangka beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarganya segera sesudah penangkapan dilakukan.
(4) Sesudah penangkapan dilaksanakan, Penyidik wajib segera melaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 78
(1) Untuk kepentingan penyidikan Atasan yang Berhak Menghukum dengan surat keputusannya, berwenang melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(2) Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenang dengan keputusannya untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya Tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(4) Sesudah waktu 200 (dua ratus) hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 79
(1) Penahanan atau perpanjangan penahanan dilakukan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, atau membuat keonaran.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau lebih.
(3) Penahanan atau perpanjangan penahanan hanya dapat dilakukan apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipenuhi.
Pasal 80
(1) Penahanan atau perpanjangan penahanan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Penyidik dengan surat perintah berdasarkan surat keputusan penahanan atau surat keputusan perpanjangan penahanan yang mencantumkan identitas Tersangka dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia ditahan.
(2) Tembusan surat perintah pelaksanaan penahanan atau perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarganya.
(3) Penahanan dilaksanakan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang ditentukan oleh Panglima.
Pasal 81
(1) Atas permintaan Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer atau Oditur dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan persyaratan yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal Tersangka melanggar persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 3
Penggeledahan dan Penyitaan
Pasal 82
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah, penggeledahan pakaian, atau penggeledahan badan.
Pasal 83
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2) Pelaksanaan penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat perintah komandan/kepala dari Penyidik yang menangani perkara.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dalam hal Tersangka atau penghuni menyetujuinya, dan dalam hal Tersangka tidak hadir atau penghuni menolak, pelaksanaan pemasukan rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi.
(4) Penggeledahan yang dilakukan di dalam kesatrian atau asrama Angkatan Bersenjata dilakukan dengan seizin komandan/kepala kesatrian atau pimpinan asrama tersebut dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(5) Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah, harus dibuat berita acara dan salinannya disampaikan kepada penghuni, atau pemilik rumah, atau komandan/kepala kesatrian, atau pimpinan asrama yang bersangkutan.
Pasal 84
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat perintah penggeledahan terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (5), Penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. di halaman rumah tempat Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada, dan yang ada di atasnya;
b. di setiap tempat lain Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada; dan
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
(2) Dalam hal Penyidik melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan atau diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkannya kepada Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 85
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, Penyidik dilarang memasuki:
a. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan;
d. tempat di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berdasarkan kepentingan pertahanan keamanan negara tidak bebas dimasuki.
Pasal 86
(1) Pada waktu menangkap Tersangka, Penyidik atau anggota Polisi Militer atas perintah Penyidik berwenang menggeledah pakaian, termasuk benda yang dibawanya.
(2) Pelaksanaan penggeledahan badan Tersangka hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.
Pasal 87
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penyitaan. (2) Pelaksanaan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat perintah.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat perintah penyitaan terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkannya kepada atasan Penyidik yang berwenang mengeluarkan surat perintah penyitaan untuk memperoleh persetujuannya.
Pasal 88
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan Tersangka seluruh atau sebagian yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana;
b. benda yang sudah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 89
Dalam hal tertangkap tangan Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga sudah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 90
Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket atau surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal 91
(1) Penyidik berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda yang dapat disita supaya menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada Penyidik apabila surat atau tulisan itu berasal dari Tersangka atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau apabila benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 92
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undangundang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Kepala Pengadilan yang berwenang, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 93
(1) Benda sitaan negara disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyimpanan benda sitaan negara dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
(3) Rumah penyimpanan benda sitaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 94
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri dari benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan Pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau apabila biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada di tangan Penyidik atau Oditur, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Oditur dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;
b. pabila perkara sudah ada di tangan Pengadilan, benda ter-sebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh Oditur atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya.
(2) Uang hasil penjualan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 95
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; atau
c. perkara tersebut ditutup demi kepentingan umum, kepentingan militer atau kepentingan hukum, kecuali apabila benda itu diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut putusan Hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau apabila benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Paragraf 4
Pemeriksaan Surat
Pasal 96
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
(2) Untuk kepentingan tersebut Penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau per-usahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur pada ayat tersebut.
Pasal 97
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudah diperiksa, ternyata surat itu tidak ada hubungan-nya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau perusahaan pengangkutan lain sesudah dibubuhi cap yang berbunyi "sudah dibuka oleh Penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas Penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan atas kekuatan sumpah jabatan wajib merahasiakan dengan sungguhsungguh isi surat yang dikembalikan.
Pasal 98
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan Pasal 97.
(2) Salinan berita acara tersebut oleh Penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi, atau kepala jawatan atau perusahaan pengangkutan yang bersangkutan.
Paragraf 5
Pelaksanaan Penyidikan
Pasal 99
(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang menerima laporan atau pengaduan adalah Atasan yang Berhak Menghukum, ia segera menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c untuk melakukan penyidikan.
(3) Dalam hal yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c, mereka wajib melakukan penyidikan dan segera melaporkannya kepada Atasan yang Berhak Menghukum Tersangka.
Pasal 100
(1) Setiap orang yang menjadi korban atau yang mengalami atau menyaksikan atau melihat dan/atau mendengar secara langsung tentang terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat yang dilakukan oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada Penyidik atau atasan yang berwenang.
(3) Sesudah menerima laporan, Penyidik harus membuat surat tanda terima laporan atau pengaduan, diberikan kepada yang bersangkutan dengan ditandatangani oleh pelapor dan penerima laporan.
Pasal 101
(1) Penyidik sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Atasan yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara, dan berkas aslinya kepada Oditur yang bersangkutan.
(2) Perwira Penyerah Perkara dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan pendapat hukum dari Oditur.
Pasal 102
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak menangkap, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib menangkap Tersangka guna diserahkan langsung kepada Penyidik.
(2) Sesudah menerima penyerahan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka penyidikan.
(3) Sesudah menerima laporan tersebut, Penyidik segera datang ke tempat kejadian dan dapat melarang setiap orang meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai.
(4) Pelanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.
Pasal 103
(1) Penyidik yang melakukan penyidikan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil Tersangka dan Saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah, dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya surat panggilan dan tanggal seseorang diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada Penyidik dan apabila ia tidak datang, Penyidik memanggil sekali lagi.
(3) Apabila panggilan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Penyidik memerintahkan petugas Polisi Militer untuk membawa Tersangka atau Saksi yang dipanggil secara paksa.
(4) Panggilan kepada Tersangka atau Saksi Prajurit melalui komandan/kepala kesatuan.
(5) Komandan/kepala kesatuan wajib memerintahkan anak buahnya yang dipanggil selaku Tersangka atau Saksi untuk datang memenuhi panggilan tersebut.
Pasal 104
Apabila Tersangka atau Saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada Penyidik yang melakukan pemeriksaan, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat kediamannya atau di tempat lain yang ditentukan Penyidik.
Pasal 105
Dalam hal seorang Tersangka melakukan suatu tindak pidana, sebelum dimulainya pemeriksaan oleh Penyidik, Penyidik wajib memberitahukan kepada Tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat Hukum.
Pasal 106
(1) Dalam hal Penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, Penasihat Hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, Penasihat Hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap Tersangka.
Pasal 107
(1) Saksi diperiksa tidak dengan disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di Pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan, Tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya Saksi yang dapat menguntungkan dirinya dan apabila ada, hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui Penyidik, Saksi tersebut wajib dipanggil dan diperiksa.
Pasal 108
(1) Keterangan Tersangka dan/atau Saksi kepada Penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun.
(2) Penyidik mencatat semua keterangan Tersangka dan/atau Saksi dalam berita acara secara teliti sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh Tersangka atau Saksi.
(3) Keterangan Tersangka dan/atau Saksi dicatat dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditandatangani oleh Penyidik dan oleh yang memberi keterangan sesudah mereka menyetujui isinya.
(4) Dalam hal Tersangka dan/atau Saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, Penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(5) Dalam pelanggaran lalu lintas, Penyidik membuat berita acara pelanggaran lalu lintas yang memuat jenis pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Tersangka dan ditandatangani Penyidik dan Tersangka, selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi melalui Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang berwenang.
Pasal 109
Dalam hal Tersangka dan/atau Saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum Penyidik yang melaksanakan penyidikan, pemeriksaan terhadap Tersangka dan/atau Saksi dapat dibebankan kepada Penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal Tersangka dan/atau Saksi tersebut.
Pasal 110
(1) Dalam hal Penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat seorang ahli atau seorang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Seorang ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah atau janji di muka Penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya, kecuali apabila karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia, ia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 111
Penyidik wajib segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari Tersangka dan/atau Saksi, keterangan Tersangka dan/atau Saksi, catatan mengenai akta dan/atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan.
Pasal 112
Dalam hal Tersangka ditahan dalam waktu 1 (satu) hari sesudah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh Penyidik.
Pasal 113
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik maupun penghuni dan/atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang Saksi.
(3) Dalam hal Tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 114
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 115
(1) Dalam hal Penyidik melakukan penyitaan, Penyidik membuat berita acara dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik maupun orang atau keluarganya dari siapa benda tersebut disita, dan/atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang Saksi.
(2) Dalam hal orang darimana benda tersebut disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(3) Salinan dari berita acara itu disampaikan oleh Penyidik kepada orang darimana benda tersebut disita atau keluarganya dan kepala desa atau lurah.
Pasal 116
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya, Penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya dan apabila perlu menyitanya.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115.
Pasal 117
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa suatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh Penyidik, untuk kepentingan penyidikan, oleh Penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari seorang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, Penyidik dapat datang atau dapat meminta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, Penyidik dapat meminta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, pejabat penyimpan umum membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan itu pejabat penyimpan umum mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan tanpa alasan yang sah, Penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal 118
(1) Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan maupun mati, yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter, dan/atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebut dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak, dan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Pasal 119
(1) Dalam hal sangat diperlukan untuk keperluan pembuktian dan bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, Penyidik wajib memberitahukannya terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga korban keberatan, Penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu 2 (dua) hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahukan tidak diketemukan, Penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.
Pasal 120
Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, pelaksanaannya menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) dan Pasal 119 ayat (1).
Pasal 121
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pelaksanaan penyidikan ditanggung oleh negara.
Bagian Kedua
Penyerahan Perkara
Pasal 122
(1) Perwira Penyerah Perkara adalah:
a. Panglima;
b. Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk komandan/kepala kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara.
Pasal 123
(1) Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:
a. memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;
b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
d. memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78;
e. menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;
f. menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;
g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan
h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.
(2) Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.
(3) Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.
Pasal 124
(1) Oditur sesudah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal persyaratan formal kurang lengkap, Oditur meminta supaya Penyidik segera melengkapinya.
(3) Apabila hasil penyidikan ternyata belum cukup, Oditur melakukan penyidikan tambahan untuk melengkapi atau mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
(4) Dalam hal berkas perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan Tersangka tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara.
Pasal 125
(1) Kecuali perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan sesudah meneliti berkas perkara, Oditur membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah Perkara yang dapat berupa permintaan agar perkara diserahkan kepada Pengadilan atau diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit, atau ditutup demi kepentingan hukum, kepentingan umum, atau kepentingan militer.
(2) Dalam hal Perwira Penyerah Perkara tidak sependapat dengan Oditur, ia wajib memberikan jawaban tertulis.
Pasal 126
(1) Berdasarkan pendapat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Perwira Penyerah Perkara mengeluarkan:
a. Surat Keputusan Penyerahan Perkara;
b. Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau
c. Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
(2) Dalam perkara tertentu apabila kepentingan umum atau kepentingan militer menghendakinya, Panglima dapat mempertimbangkan suatu penutupan perkara dengan mengeluarkan surat keputusan penutupan perkara demi kepentingan umum atau kepentingan militer.
(3) Sebelum mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panglima mendengar pendapat dari Oditur Jenderal dan apabila dipandang perlu juga dari pejabat lain.
Pasal 127
(1) Apabila Perwira Penyerah Perkara menentukan bahwa perkara akan diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan Oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan perkara perlu diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila Oditur tetap pada pendiriannya, Oditur mengajukan permohonan dengan disertai alasan-alasannya kepada Perwira Penyerah Perkara tersebut, supaya perbedaan pendapat diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama dalam sidang.
(2) Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengirimkan permohonan Oditur tersebut dan berkas perkara yang disertai dengan pendapatnya kepada Pengadilan Militer Utama dan sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal di persidangan Pengadilan Militer Utama, dengan putusannya Hakim menyatakan perkara tersebut diajukan atau tidak diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
(3) Apabila Pengadilan Militer Utama memutuskan perkara tersebut harus diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera melaksanakan penyerahan perkara tersebut sesudah menerima berkas perkara yang bersangkutan dari Pengadilan Militer Utama.
Pasal 128
Oditur dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; atau
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 129
Dalam hal Oditur menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang Tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Oditur dapat melakukan penuntutan terhadap para Terdakwa secara terpisah.
Pasal 130
(1) Penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf f dilaksanakan oleh Oditur dengan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan.
(2) Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda-tangani serta berisi:
a. nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
b. uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Salinan Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat dakwaan disampaikan kepada Tersangka atau Penasihat Hukumnya pada saat yang bersamaan dengan penyampaian Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat dakwaan tersebut ke Pengadilan, dan tembusannya disampaikan kepada Penyidik.
Pasal 131
(1) Oditur dapat mengubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang Pengadilan pada tingkat pertama/Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dimulai dengan tujuan untuk menyempurnakan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(2) Salinan perubahan surat dakwaan disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Perwira Penyerah Perkara.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Persiapan Persidangan
Pasal 132
Sesudah Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima pelimpahan berkas perkara dari Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 133
(1) Dalam hal Kepala Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi berpendapat bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang dari Pengadilan yang dipimpinnya, ia membuat penetapan yang memuat alasannya dan segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan untuk dilimpahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi lain yang berwenang.
(2) Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan menyampaikan penetapan beserta berkas perkaranya kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi di daerah hukum Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain yang tercantum dalam penetapan itu. (3) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 134
(1) Dalam hal Oditur berkeberatan terhadap penetapan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah penetapan diterima.
(2) Tidak dipenuhinya waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan batalnya perlawanan.
(3) Perlawanan tersebut yang memuat alasannya disampaikan melalui Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
(4 Dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah perlawanan diterima, Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang/Pengadilan Militer Utama.
Pasal 135
(1) Pengadilan Militer Tinggi/Pengadilan Militer Utama dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah menerima perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan penetapan.
(2) Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menguatkan perlawanan Oditur, Pengadilan tersebut dengan penetapannya membatalkan penetapan Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi dan selanjutnya memerintahkan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.
(3) Apabila Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak perlawanan Oditur, Pengadilan tersebut dengan penetapannya mengirimkan berkas perkara beserta surat lampirannya kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain yang berwenang.
(4) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 136
(1) Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 berpendapat bahwa suatu perkara termasuk wewenangnya, Kepala Pengadilan tersebut menunjuk Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara yang bersangkutan.
(2) Hakim Ketua yang ditunjuk sesudah mempelajari berkas perkara menetapkan hari sidang dan memerintahkan supaya Oditur memanggil Terdakwa dan Saksi.
Paragraf 2
Penahanan
Pasal 137
(1) Dalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi, Hakim Ketua berwenang:
a. apabila Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara;
b. guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan Terdakwa paling lama 30 ( tiga puluh) hari.
(2) Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya Terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Sesudah waktu 90 (sembilan puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum diputus, Terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(5) Penahanan/perpanjangan penahanan terhadap Terdakwa hanya dapat dikenakan apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2). (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku juga pada pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama.
Pasal 138
(1) Dikecualikan dari waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap Terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:
a. pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer diberikan oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi;
b. pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi diberikan oleh Kepala Pengadilan Militer Utama;
c. pemeriksaan tingkat banding yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama diberikan oleh Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan Terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(6) Sesudah waktu 60 (enam puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, Terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam pemeriksaan tingkat pertama dan dalam pemeriksaan tingkat banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Paragraf 3
Pemanggilan
Pasal 139
(1) Berdasarkan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang memuat hari, tanggal, waktu, tempat sidang, dan untuk perkara apa mereka dipanggil.
(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 140
(1) Pemanggilan untuk datang ke sidang Pengadilan dimaksud dalam Pasal 139 dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada:
a. Terdakwa dan/atau Saksi Prajurit melalui Atasan yang Berhak Menghukum atau Atasan langsungnya yang selanjutnya ia wajib memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi untuk menghadap ke sidang Pengadilan;
b. Terdakwa dan/atau Saksi Prajurit yang berada dalam tahanan karena perkara lain melalui pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan tersebut;
c. Terdakwa dan/atau Saksi orang sipil langsung kepada yang bersangkutan di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir atau apabila Terdakwa dan/atau Saksi sedang tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir melalui instansi kepolisian setempat atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan;
d. Terdakwa dan/atau Saksi orang sipil yang berada dalam tahanan karena perkara lain, melalui instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan dan atas izin pejabat yang memerintahkan penahanan tersebut.
(2) Apabila yang dipanggil di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat orang yang dipanggil itu biasa berdiam.
(3) Penerimaan surat panggilan oleh Terdakwa, Saksi, atau orang lain, dilakukan dengan surat tanda terima.
(4) Atasan yang Berhak Menghukum atau Atasan langsung Terdakwa dan/atau Saksi atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesudah menerima surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi untuk menghadap ke sidang Pengadilan.
Bagian Keempat
Acara Pemeriksaan Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan dan Pembuktian
Pasal 141
(1) Pada hari sidang yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) Pengadilan bersidang.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan sidang dinyatakan tertutup untuk umum.
(3) Dalam perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara, Hakim Ketua dapat menyatakan sidang tertutup untuk umum.
(4) Hakim Ketua memimpin pemeriksaan di sidang Pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh Terdakwa dan Saksi.
(5) Apabila Terdakwa dan/atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, bisu dan/atau tuli, Hakim Ketua dapat menunjuk seorang juru bahasa atau penerjemah yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar.
(6) Apabila Terdakwa dan/atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, pemeriksaan terhadapnya dilakukan secara tertulis dan harus dibacakan.
(7) Dalam hal seseorang tidak boleh menjadi Saksi dalam suatu perkara, ia tidak boleh menjadi juru bahasa atau penerjemah.
(8) Hakim Ketua wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa dan/atau Saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(9) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (8) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
(10) Dalam perkara desersi yang Terdakwanya tidak diketemukan, pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya Terdakwa.
(1) Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil masuk ke ruang sidang, dan dihadapkan dengan pengawalan tetapi dalam keadaan bebas.
(2) Apabila dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Apabila Terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim Ketua menunda persidangan dan memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Apabila Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dihadirkan secara paksa pada sidang berikutnya.
(5) Apabila Terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Panitera mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kemudian menyampaikannya kepada Hakim Ketua.
Pasal 143
Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.
Pasal 144
(1) Pada permulaan sidang, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, kemudian mengingatkan Terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2) Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang Penasihat Hukum yang akan mendampinginya dan apabila ada, Hakim Ketua meminta surat perintah atau surat izin tentang penunjukan Penasihat Hukumnya dan surat kuasa dari Terdakwa kepada Penasihat Hukumnya supaya diserahkan dan apabila Penasihat Hukum ditunjuk oleh Pengadilan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang kesediaannya didampingi oleh Penasihat Hukum tersebut di persidangan.
(3) Hakim Ketua memerintahkan Oditur supaya membacakan surat dakwaan dengan berdiri dan memerintahkan Terdakwa supaya berdiri dalam keadaan sikap sempurna.
(4) Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa apakah ia benar-benar mengerti isi surat dakwaan itu, dan apabila Terdakwa belum mengerti atau kurang jelas, Hakim Ketua memerintahkan supaya Oditur memberi penjelasan.
Pasal 145
(1) Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sesudah diberi kesempatan kepada Oditur untuk menyatakan pendapatnya, Majelis Hakim mengadakan musyawarah untuk mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil putusan.
(2) Apabila Majelis Hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal keberatan itu tidak diterima atau Hakim berpendapat keberatan tersebut baru dapat diputuskan sesudah selesai pemeriksaan, sidang dilanjutkan.
Pasal 146
(1) Terhadap putusan Majelis Hakim yang menyatakan keberatan diterima, Oditur dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan tingkat banding melalui Pengadilan yang bersangkutan dan paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak perlawanan diterima, Pengadilan wajib meneruskan perkara tersebut kepada Pengadilan tingkat banding.
(2) Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah diterima perlawanan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan tingkat banding dengan putusannya menerima atau menolak keberatan Oditur.
(3) Dalam hal perlawanan Oditur diterima, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya membatalkan putusan Pengadilan yang bersangkutan dengan memerintahkan pemeriksaan tetap dilanjutkan, sebaliknya apabila perlawanan Oditur ditolak, Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 147
(1) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh Terdakwa atau Penasihat Hukumnya kepada Pengadilan tingkat banding, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan Terdakwa, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya membatalkan putusan Pengadilan yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan lain yang berwenang;
b. Pengadilan tingkat banding menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Pengadilan yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada Oditurat yang melimpahkan perkara itu.
(2) Apabila Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di daerah hukum Pengadilan tingkat banding lain, Oditurat mengirimkan berkas perkara tersebut kepada Oditurat di daerah hukum Pengadilan yang berwenang itu.
Pasal 148
Hakim Ketua karena jabatannya, walaupun tidak ada keberatan, sesudah mendengar pendapat Oditur dan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dengan putusannya yang memuat alasan-alasannya dapat menyatakan Pengadilan tidak berwenang.
Pasal 149
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili suatu perkara apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Oditur, atau Panitera.
(2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Oditur, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Terdakwa atau dengan Penasihat Hukum.
(3) Apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), mereka harus diganti dan apabila tidak diganti sedangkan perkara sudah diputus, perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 150
(1) Tidak seorang Hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal seorang Hakim mengadili suatu perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan Oditur, Terdakwa, atau Penasihat Hukum.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga bagi Oditur dan Panitera.
Pasal 151
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya Terdakwa.
Pasal 152
(1) Hakim Ketua meneliti apakah semua Saksi yang dipanggil sudah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai Saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal Saksi tidak hadir, meskipun sudah dipanggil dengan sah dan Hakim Ketua mempunyai cukup alasan untuk menduga bahwa Saksi itu tidak akan mau hadir, Hakim Ketua dapat memerintahkan supaya Saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Pasal 153
Pemeriksaan perkara di persidangan dapat dimulai dengan pemeriksaan Saksi atau Terdakwa terlebih dahulu menurut pertimbangan Hakim Ketua.
Pasal 154
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang dengan pengawalan;
b. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut pertimbangan Hakim Ketua;
c. Dalam hal ada Saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan Terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum atau Oditur selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua wajib mendengar keterangan Saksi tersebut.
(2) Hakim Ketua menanyakan kepada Saksi tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, selanjutnya apakah ia kenal dengan Terdakwa sebelum Terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dan apakah ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat keberapa dengan Terdakwa, dan apakah ia ada hubungan suami atau istri dengan Terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Apabila Pengadilan menganggap perlu, seorang Saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah Saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
(5) Dalam hal Saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan dan ia dengan penetapan Hakim Ketua dapat disandera di rumah tahanan militer paling lama 14 (empat belas) hari.
(6) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut sudah lampau dan Saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, keterangan yang sudah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim.
Pasal 155
(1) Apabila Saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak hadir di sidang atau tidak dapat dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, keterangan yang sudah diberikan itu dibacakan.
(2) Apabila keterangan itu sebelumnya sudah diberikan di bawah sumpah, keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan Saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 156
Apabila keterangan Saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, Hakim Ketua mengingatkan Saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal 157
(1) Hakim Ketua dan Hakim Anggota dapat meminta kepada Saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi.
(3) Hakim Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum kepada Saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Setiap kali seorang Saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(5) Oditur atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi dan Terdakwa.
(6) Hakim Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur atau Penasihat Hukum kepada Saksi atau Terdakwa dengan memberikan alasannya.
(7) Hakim dan Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua, dapat saling menghadapkan Saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.
Pasal 158
(1) Sesudah Saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali Hakim Ketua memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu tidak diberikan apabila Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum mengajukan permintaan supaya Saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Sesudah Saksi memberi keterangan, Terdakwa atau Penasihat Hukum atau Oditur dapat mengajukan permintaan kepada Hakim Ketua, supaya di antara Saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang, supaya Saksi lainnya dipanggil masuk oleh Hakim Ketua untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya Saksi yang dikeluarkan tersebut.
(4) Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua karena jabatannya dapat memerintahkan supaya Saksi yang sudah didengar keterangannya dikeluarkan dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan Saksi yang lain.
(5) Para Saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 159
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai Saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa;
b. saudara dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau istri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai Terdakwa.
Pasal 160
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 menghendakinya dan Oditur serta Terdakwa secara tegas menyetujuinya, mereka dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 161
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai Saksi tentang hal yang dipercayakan kepadanya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 162
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin;
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 163
(1) Hakim Ketua dapat mendengar keterangan Saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya Terdakwa, untuk itu ia memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang.
(2) Apabila Hakim Ketua memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang dan Saksi sudah didengar keterangannya, pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum Terdakwa diperintahkan masuk kembali ke ruang sidang dan kepadanya diberitahukan semua hal yang pada waktu ia tidak hadir.
Pasal 164
(1) Apabila keterangan Saksi di sidang diduga palsu, Hakim Ketua memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila Saksi tetap pada keterangannya itu, Hakim Ketua karena jabatannya atau atas permintaan Oditur atau Terdakwa dapat memberi perintah penahanan terhadap Saksi untuk selanjutnya dilakukan penyidikan dan dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian, oleh Panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan Saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan Saksi itu palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh Hakim Ketua serta Panitera dan segera diserahkan kepada Oditur untuk diselesaikan menurut ketentuan Undang-undang ini.
(4) Apabila perlu, Hakim Ketua menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap Saksi itu selesai.
Pasal 165
(1) Apabila Terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, Hakim Ketua menganjurkan untuk menjawab dan sesudah itu pemeriksaan dilanjutkan.
(2) Apabila Terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, Hakim Ketua menegurnya dan apabila teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya Terdakwa.
(3) Dalam hal Terdakwa secara terus-menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, Hakim Ketua mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya Terdakwa.
Pasal 166
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya demi keadilan.
(2) Semua ketentuan untuk Saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 167
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, Hakim Ketua dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula meminta supaya diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari Terdakwa atau Penasihat Hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim memerintahkan supaya hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personel yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
Pasal 168
(1) Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa dan apabila perlu juga kepada Saksi segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 serta menanyakan sangkut paut barang itu dengan perkara untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwanya.
(2) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara yang bersangkut paut dengan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Terdakwa dan/atau Saksi, dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 169
Pertanyaan yang bersifat menjerat, mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan Prajurit tidak boleh diajukan baik kepada Terdakwa maupun kepada Saksi.
Pasal 170
(1) Selama pemeriksaan di sidang, apabila Terdakwa tidak ditahan, Hakim Ketua dapat memerintahkan dengan penetapannya untuk menahan Terdakwa apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) huruf b dan terdapat alasan cukup untuk itu.
(2) Dalam hal Terdakwa ditahan, Hakim Ketua dapat memerintahkan dengan penetapannya untuk membebaskan Terdakwa apabila terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat Pasal 137 ayat (3).
Pasal 171
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 172
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. keterangan terdakwa;
d. surat; dan
e. petunjuk.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 173
(1) Keterangan Saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan Saksi di sidang Pengadilan.
(2) Keterangan seorang Saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa Terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan Saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan Saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang Saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan Saksi satu dan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan Saksi dan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh Saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; dan
d. cara hidup dan kesusilaan Saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan Saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, tetapi apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari Saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pasal 174
Keterangan ahli sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan seorang ahli di sidang Pengadilan.
Pasal 175
(1) Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.
(2) Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 176
Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, berupa:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat pembuktian yang lain.
Pasal 177
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa sudah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. keterangan terdakwa; dan/atau
c. surat.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 178
(1) Dalam hal seorang Hakim atau Oditur berhalangan, Kepala Pengadilan yang berwenang atau Kepala Oditurat yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.
(2) Apabila dalam Pengadilan Militer Pertempuran Hakim atau Oditur berhalangan, Hakim atau Oditur Pengganti segera menggantikannya.
(3) Dalam hal Penasihat Hukum dalam sidang Pengadilan berhalangan, Penasihat Hukum Pengganti segera menggantikannya, dan apabila penggantinya tidak ada atau juga berhalangan sidang berjalan terus.
Pasal 179
Hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dapat memberikan penjelasan hukum terhadap perkara tersebut.
Pasal 180
(1) Siapapun yang dipidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal Terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan Pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.
Pasal 181
Tenggang waktu menurut Hukum Acara Pidana Militer sebagaimana dimaksud dalam Bab IV ini diperhitungkan mulai pada hari berikutnya.
Paragraf 2
Penuntutan dan Pembelaan
Pasal 182
(1) Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan tuntutan pidana.
(2) Terhadap tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Oditur, dengan ketentuan bahwa Terdakwa atau Penasihat Hukum selalu mendapat giliran terakhir.
(3) Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan sesudah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim Ketua dan salinannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
(4) Dalam hal perkara yang mudah pembuktiannya, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dapat dilakukan secara lisan, dan Panitera harus mencatatnya dalam berita acara persidangan.
(5) Apabila acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sudah selesai, Hakim Ketua menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua karena jabatannya maupun atas permintaan Oditur, atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan memberikan alasannya.
Paragraf 3
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
Pasal 183
(1) Apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi orang lain, Hakim Ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan paling lambat sebelum Oditur mengajukan tuntutan pidana.
Pasal 184
(1) Apabila pihak yang dirugikan meminta penggabungan perkara gugatannya kepada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan, dan tentang hukuman penggantian biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan Hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga sudah mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 185
(1) Apabila terjadi penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana, penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 186
Kepala Kepaniteraan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi karena jabatannya adalah juru sita, khusus untuk pelaksanaan putusan ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana.
Pasal 187
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti rugi sepanjang dalam Undang-undang ini tidak diatur lain.
Paragraf 4
Musyawarah dan Putusan
Pasal 188
(1) Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia.
(2) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(3) Dalam musyawarah tersebut, Hakim Ketua mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
(4) Pada asasnya putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali apabila hal itu sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. apabila ketentuan tersebut pada huruf a tidak dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa.
(5) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada Oditur, Terdakwa, atau Penasihat Hukumnya.
Pasal 189
(1) Apabila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan.
(2) Apabila Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali karena alasan lain yang sah Terdakwa perlu ditahan.
(4) Dalam hal Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), apabila perbuatan yang dilakukan Terdakwa menurut penilaian Hakim tidak layak terjadi didalam ketertiban atau disiplin Prajurit, Hakim memutus perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan menurut saluran Hukum Disiplin Prajurit.
Pasal 190
(1) Apabila Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, Pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, apabila Terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya Terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
(3) Dalam hal Terdakwa ditahan, Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan Terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
(4) Waktu penahanan wajib dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5) Dalam hal Terdakwa pernah dijatuhi hukuman disiplin yang berupa penahanan, hukuman disiplin tersebut wajib dipertimbangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 191
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut ketentuan peraturan perundang-undangan barang bukti tersebut harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, Pengadilan dapat menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai syarat apapun, kecuali dalam hal putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 192
Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 193
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya Terdakwa, kecuali dalam hal Undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya salah seorang Terdakwa.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, Hakim Ketua wajib memberitahukan kepada Terdakwa tentang segala haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini;
c. hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini.
Pasal 194
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap Terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal;
c. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa;
e. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Hakim, kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan Terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, apabila terdapat surat autentik dianggap palsu;
k. perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama Hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama Panitera.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 195
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) kecuali huruf e, huruf f, dan huruf h;
b. pernyataan bahwa Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya Terdakwa segera dibebaskan apabila ia ditahan;
d. pernyataan bahwa perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan melalui saluran Hukum Disiplin Prajurit;
e. pernyataan rehabilitasi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi Pasal ini.
Pasal 196
(1) Putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika sesudah putusan itu diucapkan.
(2) Petikan putusan Pengadilan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Oditur, segera sesudah putusan diucapkan.
(3) Salinan putusan Pengadilan diberikan kepada Perwira Penyerah Perkara, Oditur, Polisi Militer, dan Atasan yang Berhak Menghukum, sedangkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan.
(4) Salinan putusan Pengadilan boleh diberikan pada orang lain hanya dengan seizin Kepala Pengadilan sesudah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal 197
(1) Panitera membuat berita acara sidang yang memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan Saksi, Terdakwa, dan ahli kecuali apabila Hakim Ketua menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dan yang lainnya.
(3) Atas permintaan Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum, Hakim Ketua wajib memerintahkan Panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan.
(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera, kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan, hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut. Bagian Kelima Acara Pemeriksaan Koneksitas
Pasal 198
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri dan Menteri Kehakiman.
Pasal 199
(1) Untuk menetapkan apakah Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur atas dasar hasil penyidikan tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (2).
(2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal itu dilaporkan oleh Jaksa/Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh Oditur kepada Oditur Jenderal.
Pasal 200
(1) Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal untuk mengusulkan kepada Menteri, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(3) Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar bagi Perwira Penyerah Perkara dan Jaksa/Jaksa Tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 201
(1) Apabila perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (1), berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (2) dibubuhi catatan oleh Penuntut Umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Oditur apabila perkara tersebut akan diajukan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 202
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara Penuntut Umum dan Oditur, mereka masing-masing melaporkan perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 203
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah Majelis Hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Dalam hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Hakim Anggota yang masing-masing ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(3) Dalam hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dan Hakim Anggota ditetapkan secara berimbang yang masing-masing dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dan dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi Pengadilan Tingkat Banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri secara timbal balik mengusulkan pengangkatan Hakim Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Khusus
Pasal 204
(1) Acara pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran.
(2) Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir.
(3) Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Terdakwa atau Oditur hanya dapat mengajukan Kasasi.
Pasal 205
Pembuktian dalam acara pemeriksaan khusus berlaku ketentuan bahwa:
a. pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti;
b. barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan.
Pasal 206
Putusan Pengadilan Militer Pertempuran diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pasal 207
(1) Pelaksanaan putusan Pengadilan Militer Pertempuran yang tidak memuat hukuman mati tidak tertunda karena permohonan grasi.
(2) Apabila dijatuhkan hukuman mati, pelaksanaannya baru dapat dilakukan sesudah Presiden mengambil keputusan tentang soal grasi terhadap perkara yang bersangkutan.
Pasal 208
(1) Apabila permohonan grasi diajukan, Panitera pada Pengadilan Militer Pertempuran menyampaikan berkas perkara kepada Pengadilan Militer Utama.
(2) Pengadilan Militer Utama sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal memberikan pendapatnya kepada Presiden.
Pasal 209
Ketentuan acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga dan acara pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku sepanjang ketentuan dimaksud tidak bertentangan dengan acara pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keenam ini.
Pasal 210
Penunjukan pejabat dan administrasi peradilan pada Pengadilan Militer Pertempuran dan Oditurat Militer Pertempuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dan Pasal 49 ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Bagian Ketujuh
Acara Pemeriksaan Cepat
Pasal 211
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Untuk perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, cukup berita acara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi mengadili dengan Hakim tunggal yang dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran diterima.
(4) Putusan dapat dijatuhkan meskipun Terdakwa tidak hadir di sidang.
(5) Dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan banding.
(6) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(7) Dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada Terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(8) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya Terdakwa menjadi gugur.
(9) Sesudah Panitera memberitahukan kepada Oditur tentang perlawanan itu, Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu.
(10) Apabila putusan sesudah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (6), terhadap putusan tersebut Terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 212
Dalam acara pemeriksaan cepat, Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (3) dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang didukung oleh 1 (satu) alat bukti yang sah.
Pasal 213
Pengembalian barang sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang berhak, segera sesudah putusan dijatuhkan, apabila Terpidana sudah memenuhi amar putusan.
Pasal 214
Ketentuan acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga dan acara pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku sepanjang ketentuan dimaksud tidak bertentangan dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketujuh ini.
Bagian Kedelapan
Bantuan Hukum
Pasal 215
(1) Untuk kepentingan pembelaan perkaranya, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di semua tingkat pemeriksaan.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata.
(3) Tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 216
(1) Penasihat Hukum yang mendampingi Tersangka di tingkat penyidikan atau Terdakwa di tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan harus atas perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
(2) Penasihat Hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam persidangan perkara koneksitas, harus seizin Kepala Pengadilan.
Pasal 217
(1) Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih, Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka atau Terdakwa.
(2) Setiap Penasihat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
(3) Penasihat Hukum berhak mengirim dan menerima surat dari Tersangka atau Terdakwa setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 218
(1) Penasihat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 berhak menghubungi dan berbicara dengan Tersangka atau Terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan perkaranya dengan pengawasan oleh pejabat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2) Penasihat Hukum yang terbukti menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan Tersangka atau Terdakwa, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, Penyidik, Oditur, atau petugas Rumah Tahanan Militer memberikan peringatan kepadanya.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanggar, hubungan selanjutnya dilarang.
Bagian Kesembilan
Upaya Hukum Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 219
Terdakwa atau Oditur berhak untuk meminta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat yang berupa pidana perampasan kemerdekaan.
Pasal 220
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dapat diajukan ke Pengadilan tingkat banding oleh Terdakwa atau Oditur dan untuk pelanggaran lalu lintas oleh Terdakwa atau orang yang khusus dikuasakan untuk itu.
(2) Permintaan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) boleh diterima oleh Panitera Pengadilan tingkat pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau sesudah putusan diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak hadir.
(3) Panitera dilarang menerima permintaan banding putusan yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding yang diajukan sesudah tenggang waktu yang ditentukan berakhir dan mencantumkan penolakan tersebut dalam akta penolakan permohonan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon yang bersangkutan.
(4) Permintaan banding terhadap perkara yang diperiksa dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diumumkan.
(5) Panitera wajib membuat surat keterangan atas permohonan banding tersebut dengan ditandatangani olehnya dan pemohon banding serta salinannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara dan juga ditulis dalam buku register perkara.
(7) Dalam hal Pengadilan tingkat pertama menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh Oditur atau Terdakwa maupun yang diajukan oleh Oditur dan Terdakwa sekaligus, Panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 221
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sudah lewat tanpa diajukan permintaan banding, yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melampirkannya pada berkas perkara.
Pasal 222
(1) Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan tingkat banding, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
(2) Apabila perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permintaan bandingnya, pemohon dibebani biaya perkara yang sudah dikeluarkan oleh Pengadilan tingkat banding hingga saat pencabutannya.
Pasal 223
(1) Paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permintaan banding diajukan, Panitera mengirimkan salinan Putusan Pengadilan tingkat pertama dan berkas perkara serta surat bukti kepada Pengadilan tingkat banding.
(2) Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan tingkat banding, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan tingkat pertama.
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan tingkat banding, kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu secepatnya 7 (tujuh) hari sesudah berkas perkara diterima oleh Pengadilan tingkat banding.
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di Pengadilan tingkat banding.
Pasal 224
Selama Pengadilan tingkat banding belum memulai memeriksa suatu perkara, baik Terdakwa atau kuasanya maupun Oditur dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada Pengadilan tingkat banding.
Pasal 225
(1) Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan tingkat banding atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan tingkat pertama yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang Pengadilan tingkat pertama, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan Pengadilan tingkat pertama.
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan tingkat banding sejak saat diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun karena permintaan Terdakwa.
(4) Apabila dipandang perlu, Pengadilan tingkat banding mendengar sendiri keterangan Terdakwa atau Saksi atau Oditur dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
Pasal 226
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dan Pasal 150 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat banding.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera tingkat banding dengan Hakim atau Panitera tingkat pertama yang sudah mengadili perkara yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang memutus perkara pada Pengadilan tingkat pertama menjadi Hakim pada Pengadilan tingkat banding, Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama pada tingkat banding.
Pasal 227
(1) Apabila Pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya dapat memerintahkan Pengadilan tingkat pertama untuk memperbaiki hal itu atau Pengadilan tingkat banding melakukannya sendiri.
(2) Apabila perlu, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya dapat membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama sebelum Pengadilan tingkat banding menjatuhkan putusan akhir.
Pasal 228
(1) Sesudah semua hal dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dipertimbangkan dan dilaksanakan, Pengadilan tingkat banding mengambil putusan, menguatkan atau mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama.
(2) Dalam hal Pengadilan tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding memutus sendiri.
(3) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan Pengadilan tingkat pertama karena ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133.
Pasal 229
Apabila dalam pemeriksaan tingkat banding Terdakwa ada dalam tahanan, Pengadilan tingkat banding dalam putusannya memerintahkan supaya Terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.
Pasal 230
(1) Salinan putusan Pengadilan tingkat banding beserta berkas perkara, dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan, dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.
(2) Isi putusan segera diberitahukan kepada Terdakwa dan Oditur oleh Panitera Pengadilan tingkat pertama dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan putusan Pengadilan tingkat banding.
(3) Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 berlaku juga bagi putusan Pengadilan tingkat banding.
(4) Dalam hal Terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan tingkat pertama tersebut, Panitera meminta bantuan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama yang dalam daerah hukumnya Terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi putusan kepadanya.
(5) Dalam hal Terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri, isi surat putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat Terdakwa biasa bertempat tinggal dan apabila juga masih belum berhasil disampaikan, Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah surat kabar yang terbit di daerah hukum Pengadilan tingkat pertama itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
(6) Dalam hal Terdakwa sudah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat/dipecat dari dinas keprajuritan dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya, isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui kepala desa di tempat semula Terdakwa bertempat tinggal dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah surat kabar yang terbit di daerah hukum Pengadilan yang memutus perkaranya.
Paragraf 2
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 231
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh Pengadilan tingkat banding atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir, Terdakwa atau Oditur dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas dari segala dakwaan.
Pasal 232
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada Terdakwa.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Oditur atau Terdakwa maupun yang diajukan Oditur dan Terdakwa sekaligus, Panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 233
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) sudah lampau tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi, hak itu gugur.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 234
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Apabila pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, pemohon dibebani biaya perkara yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Pasal 235
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada Panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima.
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah Terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuat memori kasasinya.
(3) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi, hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (3) Pasal ini.
(5) Salinan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh Panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(6) Dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera menyampaikan salinan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 236
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
(3) Paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir segera disampaikan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
(4) Sesudah Panitera Pengadilan Militer Utama menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ia wajib segera menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Mahkamah Agung.
Pasal 237
(1) Sesudah Panitera Pengadilan tingkat pertama menerima memori dan/atau kontra memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) dan ayat (3), ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
(2) Sesudah Panitera Pengadilan Militer Utama menerima memori dan/atau kontra memori sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ia wajib segera menyampaikan memori dan/atau kontra memori tersebut kepada Mahkamah Agung.
(3) Sesudah Panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut, ia seketika mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara, dan kartu penunjuk.
(4) Buku register perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikerjakan, ditutup, dan ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(5) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, penandatanganan dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan apabila keduanya berhalangan, ditunjuk Hakim Anggota yang tertua dalam jabatan dengan surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(6) Selanjutnya Panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang bersangkutan, sedangkan salinannya dikirimkan kepada para pihak.
Pasal 238
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera tingkat kasasi dengan Hakim dan/atau Panitera tingkat banding serta tingkat pertama yang sudah mengadili perkara yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang mengadili perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir atau pada tingkat banding, kemudian sudah menjadi Hakim atau Panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai Hakim atau Panitera untuk perkara yang sama pada tingkat kasasi.
Pasal 239
(1) Pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 dan Pasal 235 guna menentukan:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar Pengadilan sudah melampaui batas kewenangannya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang Hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan lain selain Mahkamah Agung yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
(3) Apabila dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar secara langsung keterangan Terdakwa atau Saksi atau Oditur, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya permohonan kasasi.
(5) a. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun karena permintaan Terdakwa;
b. Dalam hal Terdakwa tetap ditahan, dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 240
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan antar Hakim Anggota yang 1 (satu) orang di antaranya harus Hakim Anggota yang tertua dalam jabatan.
Pasal 241
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232, Pasal 233, dan Pasal 234, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 242
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk supaya Pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena Pengadilan atau Hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 243
Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242.
Pasal 244
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 230 berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari.
Bagian Kesepuluh
Upaya Hukum Luar Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum
Pasal 245
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dari Pengadilan, dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan kasasi oleh Oditur Jenderal.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 246
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Oditur Jenderal kepada Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan yang sudah memutus perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Panitera segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
Pasal 247
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Oditur Jenderal dan kepada Pengadil-an yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga bagi pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum.
Paragraf 2
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 248
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 249
(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) diajukan kepada Panitera Pengadilan yang sudah memutus perkara tersebut pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
(3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan tenggang waktu.
(4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
(5) Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 250
(1) Kepala Pengadilan tingkat pertama atau tingkat pertama dan terakhir, sesudah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1), menunjuk Hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2).
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemo-hon dan Oditur ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Hakim, Oditur, pemohon, dan Panitera, dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera.
(4) Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera melakukan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Oditur.
(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan Pengadilan banding, tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri salinan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan tingkat banding yang bersangkutan.
Pasal 251
1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku dengan disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas dari segala dakwaan;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan Oditur;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang sudah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 252
(1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada Pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 253
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 254
(1) Putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
(2) Mendahului salinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditur melaksanakan putusan Pengadilan berdasarkan petikan putusan.
Pasal 255
Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan tidak di muka umum.
Pasal 256
(1) Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau di tempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
(3) Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Pasal 257
Dalam hal Pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 258
(1) Dalam hal Pengadilan menjatuhkan pidana denda, Terpidana diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan pemeriksaan acara cepat yang pembayaran dendanya harus dilunasi seketika.
(2) Apabila terdapat alasan yang kuat, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 259
(1) Dalam hal putusan Pengadilan menetapkan perampasan barang bukti untuk negara, Oditur menguasakan benda tersebut kepada Kantor Lelang Negara untuk dijual lelang dalam waktu 3 (tiga) bulan dan hasilnya dimasukkan ke kas negara atas nama Oditurat.
(2) Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 260
(1) Dalam hal Pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
(2) Apabila dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terpidana, pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana bersama-sama secara berimbang.
Pasal 261
(1) Biaya perkara yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan dibayar oleh Terpidana dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan.
(2) Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Apabila dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) Terpidana, pembayaran biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana bersama-sama secara berimbang.
Bagian Kedua Belas
Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 262
(1) Pengawasan dan pengamatan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dilakukan oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh seorang Hakim atau lebih sebagai Hakim pengawas dan pengamat.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Kepala Pengadilan untuk paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(4) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku Narapidana atau pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Militer serta pengaruh timbal balik terhadap Narapidana selama menjalani pidananya.
(5) Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dilaksanakan sesudah Terpidana selesai menjalani pidananya.
(6) Pengawasan pelaksanaan putusan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan Atasan yang Berhak Menghukum Terpidana.
(7) Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada Kepala Pengadilan secara berkala.
Pasal 263
(1) Oditur mengirimkan salinan berita acara pelaksanaan putusan Pengadilan yang ditandatangani oleh Oditur, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Militer, dan Terpidana kepada Pengadilan yang memutus, Atasan yang Berhak Menghukum, dan Perwira Penyerah Perkara, selanjutnya salinan berita acara pelaksanaan putusan yang diterima Pengadilan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku register pengawasan dan pengamatan.
(2) Buku register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikerjakan, ditutup, dan ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262.
Bagian Ketiga Belas
Berita Acara
Pasal 264
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan Tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan Saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan Pengadilan atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; dan
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
HUKUM ACARA TATA USAHA MILITER
Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 265
(1) Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan supaya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
(2) Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesudah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
(3) Prajurit dan yang dipersamakan dengan prajurit dapat mengajukan gugatan sesudah seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 266
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
(2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi, gugatan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari salah satu Tergugat.
(3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman Penggugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya gugatan diteruskan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang.
(4) Dalam hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan yang diatur dengan keputusan Panglima, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi di Jakarta.
(6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi di tempat kedudukan Tergugat.
Pasal 267
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata/ Instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam hal ada upaya administrasi.
Pasal 268
(1) Gugatan diajukan dengan memuat:
a. nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, dan pekerjaan Penggugat atau kuasanya;
b. nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang atau diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan Militer Tinggi.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, gugatan harus disertai dengan surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai dengan keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan oleh Penggugat.
(4) Untuk Prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit, gugatan sedapat mungkin juga disertai dengan keputusan instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam upaya administrasi.
Pasal 269
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh 1 (satu) orang atau beberapa orang kuasa.
(2) Apabila Penggugat adalah Prajurit yang ingin didampingi 1 (satu) orang atau beberapa orang kuasa, ia harus mendapat izin dari Komandan atau Kepala setingkat Komandan Batalyon.
(3) Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
(4) Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
(5) Apabila dipandang perlu, Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
Pasal 270
(1) Untuk mengajukan gugatan, Penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
(2) Setelah Penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
(3) Paling lambat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, waktu, dan tempat persidangan, serta menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan.
(4) Surat panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 271
(1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi untuk bersengketa dengan cuma-cuma.
(2) Apabila Penggugat adalah Prajurit pada waktu mengajukan gugatan, ia harus menyertakan surat keterangan dari atasannya.
(3) Bagi Penggugat yang bukan prajurit, permohonan diajukan pada waktu Penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan yang menyatakan bahwa Penggugat tidak mampu membayar biaya perkara dari kepala desa atau lurah di tempat tinggal Pemohon.
Pasal 272
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan Militer Tinggi sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil pada tingkat pertama dan terakhir.
(3) Penetapan Pengadilan Militer Tinggi yang sudah mengabulkan permohonan Penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama juga berlaku pada tingkat banding dan kasasi.
Pasal 273
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Kepala Pengadilan Militer Tinggi berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 tidak dipenuhi oleh Penggugat, sekalipun ia sudah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau sudah lewat waktunya.
(2) a. penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat pos tercatat oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi, disertai dengan bukti pengiriman.
(3) a. terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan;
b. perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi dengan acara pemeriksaan cepat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan Militer Tinggi, penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara pemeriksaan biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 274
(1) Dalam hal permohonan gugatan diterima atau perlawanan dibenarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi menunjuk susunan majelis hakim dengan mengeluarkan penetapan hakim dan berdasarkan penetapan hakim tersebut Ketua Majelis Hakim mengeluarkan penetapan hari sidang serta memerintahkan Panitera untuk memanggil para pihak atau kuasanya dan Saksi dengan surat pos tercatat.
(2) Surat panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan surat gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 275
(1) Untuk menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
(2) Tenggang waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari.
(3) Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masingmasing sudah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat pos tercatat.
Pasal 276
(1) Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2) Departemen Luar Negeri Republik Indonesia segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3) Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut wajib memberi laporan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 277
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim: a. wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari; dan b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a Penggugat belum menyempurnakan gugatan, Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pasal 278
(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata sedang berjalan sampai dengan ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan, apabila Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu tetap dilaksanakan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila kepentingan militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan negara mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Tingkat Pertama
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 279
(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum.
(2) Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan dan/atau ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan putusan batal demi hukum.
Pasal 280
(1) Dalam hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang sudah ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali sudah dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara.
Pasal 281
(1) Dalam hal Tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2 (dua) kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali sudah dipanggil dengan patut, Hakim Ketua dengan surat penetapan meminta atasan Tergugat untuk memerintahkan Tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
(2) Dalam hal sesudah lewat 2 (dua) bulan sesudah dikirimkan dengan surat pos tercatat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan Tergugat maupun dari Tergugat, Hakim Ketua menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya Tergugat.
(3) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya sesudah pemeriksaan mengenai segi penyelesaiannya dilakukan secara tuntas.
Pasal 282
(1) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Tergugat dan 1 (satu) orang atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari sidang berikutnya yang ditentukan oleh Hakim Ketua.
(2) Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedangkan terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi.
(3) Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 283
(1) Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua dan apabila tidak ada surat jawaban, pihak Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
(2) Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang akan diajukan oleh mereka masing-masing.
Pasal 284
(1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asalkan disertai dengan alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan Tergugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
(2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asalkan disertai dengan alasan yang cukup, serta tidak merugikan kepentingan Penggugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
Pasal 285
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum Tergugat memberikan jawaban.
(2) Apabila Tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh Penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Militer Tinggi hanya apabila disetujui Tergugat.
Pasal 286
(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan Militer Tinggi dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan Militer Tinggi apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan Militer Tinggi tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
(2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan Militer Tinggi diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan Militer Tinggi hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
Pasal 287
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan suatu perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua, salah seorang Hakim Anggota atau Panitera.
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Tergugat atau Penggugat atau dengan Penasihat Hukum.
(3) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 288
(1) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera atau atas permintaan salah satu atau pihak yang bersengketa.
(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkan.
(4) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 289
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa di dalam sidang, Hakim Ketua berhak memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 290
Penggugat, Tergugat, dan Penasihat Hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya dengan izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 291
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya dengan biaya sendiri, sesudah memperoleh izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 292
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Militer Tinggi, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan bertindak sebagai:
a. pihak yang membela haknya; atau
b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan Militer Tinggi dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersamasama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Pasal 293
(1) Apabila dalam persidangan penerima kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis, disertai dengan tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan Militer Tinggi.
(2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.
(3) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.
Pasal 294
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua memandang perlu, ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata atau Pejabat lain yang menyimpan surat atau yang meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Ketua dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan Militer Tinggi dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan Militer Tinggi.
(4) Apabila pemeriksaan tentang kebenaran suatu surat menimbulkan persangkaan bahwa surat itu dipalsukan oleh seseorang yang masih hidup, Hakim Ketua dapat mengirimkan surat tersebut kepada Penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Pasal 295
(1) Atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua dapat memerintahkan 1 (satu) orang Saksi untuk didengar di persidangan.
(2) Apabila Saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun sudah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa Saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya Saksi dibawa oleh petugas Polisi Militer/polisi ke persidangan.
(3) Seorang Saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi, yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pengadilan Militer Tinggi tersebut, tetapi pemeriksaan Saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Saksi.
Pasal 296
(1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2) Hakim Ketua menanyakan kepada Saksi nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan Penggugat atau Tergugat.
(3) Sebelum memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
Pasal 297
Yang tidak boleh didengar sebagai Saksi ialah:
a. keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. anak yang belum berumur 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. orang sakit ingatan.
Pasal 298
(1) Orang yang dapat meminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah:
a. saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan salah satu pihak; atau
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
Pasal 299
(1) Pertanyaan yang diajukan kepada Saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua.
(2) Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 300
(1) Apabila Penggugat atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, Hakim Ketua dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh Penggugat atau Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.
(3) Orang yang menjadi Saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.
Pasal 301
(1) Dalam hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim Ketua dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau Saksi sebagai juru bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya, juru bahasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
(3) Dalam hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada Penggugat atau Saksi tersebut dengan perintah supaya ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.
Pasal 302
Pejabat yang dipanggil sebagai Saksi wajib hadir di persidangan.
Pasal 303
(1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar di persidangan Pengadilan Militer Tinggi dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila yang bersengketa sudah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Saksi dapat didengar keterangannya tanpa kehadiran pihak yang bersengketa.
(3) Dalam hal Saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang ke tempat kediaman Saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar Saksi tersebut.
Pasal 304
(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pemeriksaannya pada suatu hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2) Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
(3) Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya, Hakim Ketua memerintahkan Panitera untuk memberitahukan waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya kepada pihak tersebut.
(4) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut, pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 305
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.
Pasal 306
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Ketua menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah secara tertutup dan rahasia untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali apabila sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, suara terakhir Hakim Ketua yang menentukan.
Pasal 307
(1) Putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(2) Putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat berupa:
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima; atau
d. gugatan gugur.
Pasal 308
(1) Apabila gugatan dikabulkan, dalam putusan Pengadilan Militer Tinggi tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang mengeluarkan keputusan tersebut.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan;
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam hal gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai dengan pembebanan ganti rugi.
(4) Dalam hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut bidang personel, di samping kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Cepat
Pasal 309
(1) Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan permohonannya, Penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan Militer Tinggi supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Kepala Pengadilan Militer Tinggi dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 310
(1) Pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dikabulkan, Kepala Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan paling lama 14 (empat belas) hari.
Paragraf 3
Pembuktian dan Putusan
Pasal 311
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak; dan
e. pengetahuan hakim.
(2) Keadaan yang sudah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 312
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:
a. akta autentik, adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, adalah surat yang dibuat dan ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; dan
c. surat-surat lain yang bukan akta.
Pasal 313
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamannya.
(2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai Saksi berdasarkan Pasal 297 tidak boleh memberikan keterangan ahli.
Pasal 314
(1) Hakim Ketua karena jabatannya atau atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat menunjuk 1 (satu) orang atau beberapa orang ahli untuk didengar di persidangan.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 315
Keterangan Saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat dan/atau didengar oleh saksi sendiri.
Pasal 316
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.
Pasal 317
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Pasal 318
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Pasal 319
(1) Putusan Pengadilan Militer Tinggi harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan Militer Tinggi diucapkan, atas perintah Hakim Ketua, salinan putusan itu disampaikan dengan surat pos tercatat kepada yang bersangkutan.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat putusan Pengadilan Militer Tinggi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 320
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BER-DASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi di persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; dan
g. hari tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Surat putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera segera sesudah putusan itu diucapkan.
(4) Apabila Hakim Ketua pada pemeriksaan dengan acara biasa atau pemeriksaan dengan acara cepat berhalangan menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi ditandatangani oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua tersebut.
(5) Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi ditandatangani oleh Hakim Ketua dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota tersebut.
Pasal 321
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara.
Pasal 322
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari 5 (lima) orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua.
Pasal 323
Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh Penggugat dan/atau Tergugat disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 324
(1) Putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, tetapi hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
(2) Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat meminta salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan.
Pasal 325
(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu di sidang.
(2) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera dan apabila salah seorang dari mereka berhalangan, hal ini dinyatakan dalam berita acara tersebut.
(3) Apabila Hakim Ketua dan Panitera berhalangan menandatangani, berita acara ditandatangani oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua dan Panitera tersebut.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 326
Terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Militer Utama.
Pasal 327
(1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Militer Tinggi yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan Militer Tinggi itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2) Permohonan pemeriksaan banding disertai dengan pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
Pasal 328
Putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.
Pasal 329
(1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam buku register perkara.
(2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.
Pasal 330
(1) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat mempelajari berkas perkara di kantor Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
(2) Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Militer Utama paling lambat 60 (enam puluh) hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3) Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Militer Utama dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 331
(1) Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Apabila Pengadilan Militer Utama berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Militer Tinggi kurang lengkap, Pengadilan Militer Utama tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk melakukan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3) Terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan Pengadilan Militer Utama berpendapat lain, Pengadilan Militer Utama tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan supaya memeriksa dan memutusnya.
(4) Panitera Pengadilan Militer Utama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Militer Utama beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Militer Tinggi yang memutus pada pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 332
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dan Pasal 288 berlaku juga bagi pemeriksaan pada tingkat banding.
(2) Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera pada tingkat banding dengan Hakim atau Panitera pada tingkat pertama yang sudah memeriksa dan memutus perkara yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang memutus pada tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada Pengadilan Militer Utama, Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama pada tingkat banding.
Pasal 333
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Militer Utama, permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh Pemohon, dan dalam hal permohonan pemeriksaan banding sudah dicabut, tidak dapat diajukan lagi meskipun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Pasal 334
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima dengan baik putusan Pengadilan Militer Tinggi, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut, meskipun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding tersebut belum lampau.
Bagian Keempat
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 335
(1) Terhadap putusan Pengadilan tingkat banding, dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Pasal 336
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Undangundang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 337
Hanya putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.
Pasal 338
(1) Salinan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak dengan surat pos tercatat oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi setempat atas perintah Kepala Pengadilan Tinggi yang mengadilinya pada tingkat pertama paling lambat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan sesudah putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) huruf a, keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) huruf b dan huruf c dan kemudian sesudah tenggang waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana di maksud pada ayat (1), supaya Pengadilan Militer Tinggi memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Apabila Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam tenggang waktu 2 (dua) bulan sesudah menerima pemberitahuan dari Kepala Pengadilan Militer Tinggi harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 339
(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4), apabila Tergugat tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi sesudah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap, Tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 337 ayat (1) dan Penggugat.
(2) Dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang sudah mengirimkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan.
(3) Kepala Pengadilan Militer Tinggi sesudah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada Tergugat.
(4) Apabila sesudah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan penetapan yang disertai dengan pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5) Penetapan Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan baik oleh Penggugat maupun oleh Tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib ditaati kedua belah pihak.
Pasal 340
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4) berisi kewajiban bagi Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 292 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itu, dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 dan terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 dan Pasal 277.
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Pasal 341
Kepala Pengadilan Militer Tinggi wajib mengawasi pelaksanaan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Ketujuh
Ganti rugi dan Rehabilitasi
Pasal 342
(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 343
(1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang administrasi personel dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4), salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB VI KETENTUAN LAIN
Pasal 344
(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara yang memerlukan keahlian khusus, Kepala Pengadilan dimaksud dapat menunjuk seorang atau lebih Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seorang Prajurit harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 kecuali syarat berijazah Sarjana Hukum dan syarat berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum.
(3) Persyaratan sumpah jabatan dan larangan merangkap jabatan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4) Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 345
(1) Hakim Ketua memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Hakim Ketua untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib segera dilaksanakan dengan cermat.
Pasal 346
Saksi atau ahli yang hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberi keterangan pada semua tingkat pemeriksaan berhak mendapat penggantian biaya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 347
(1) Siapapun dilarang membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam, atau alat/benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Petugas keamanan sidang Pengadilan berhak mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam atau alat/benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan apabila terdapat petugas mempersilakan yang bersangkutan untuk menitipkannya.
Pasal 348
(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan.
(2) Siapa pun yang hadir dalam sidang pengadilan yang tidak mentaati tata tertib persidangan dan sesudah diperintahkan oleh Hakim Ketua, tetap tidak menaati, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Hakim Ketua dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas) tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 349
(1) Sidang Pengadilan dilangsungkan di gedung Pengadilan atau di tempat lain yang ditentukan oleh Kepala Pengadilan.
(2) Tata ruang, pakaian seragam, dan tata tertib persidangan lain-lain diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 350
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang sudah ada mengenai susunan dan kekuasaan Pengadilan dan Oditurat serta Hukum Acara Pidana Militer dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan peraturan perundang-undangan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 351
Semua Hakim, Oditur, dan Panitera pada Peradilan Militer yang pada saat Undangundang ini mulai berlaku sudah diangkat secara sah pada jabatan-jabatan yang bersangkutan, dianggap sudah diangkat dengan sah menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 352
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan (Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950) sebagai Undang-undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 52) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2781);
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara (Undangundang Darurat Nomor 17 Tahun 1950) sebagai Undang-undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 13), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 53) tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1493);
3. Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama Angkatan Bersenjata (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2739);
4. Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara bagi Anggota-anggota Angkatan Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2737), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2782);
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 353
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
No comments:
Post a Comment