Prajurit TNI dididik untuk menjadi prajurit yang disiplin. Namun ada juga yang merasa tidak kuat menjalankan kedisiplinan tersebut dan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari kesatuan tempat ia bekerja. Prajurit TNI yang melarikan diri tersebut sebagian ada yang kembali ke kesatuan dan ada juga yang tidak kembali dengan alasan dan keadaan tertentu yang terkadang tidak diketahui oleh komandan satuan ataupun para atasannya di tempat ia bekerja. Kesalahan dalam menentukan kebersalahan prajurit pelanggar dalam hal ketidakhadiran tanpa izin bagi Prajurit TNI karena tidak sesuai fakta bisa saja berakibat terdakwa divonis bebas dari segala dakwaan.
Ketidakhadiran Prajurit TNI tanpa izin ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Tidak hadir tanpa izin (THTI), adalah ketidakhadiran seorang Prajurit TNI di dalam kesatuan tanpa izin dari atasan yang berwenang, lebih dari 1 (satu) hari dan tidak lebih dari 30 (tigapuluh) hari dalam waktu damai serta tidak lebih dari 4 (empat) hari dalam masa perang.
a. Ketidakhadiran tanpa izin yang disengaja. Ketidakhadiran jenis ini dilakukan oleh seorang Prajurit TNI yang mana pada saat meninggalkan kesatuan memang sengaja untuk tidak hadir dalam kegiatan dinas di satuan dan tanpa izin dari atasannya yang berwenang untuk itu.
b. Ketidakhadiran tanpa izin yang tidak disengaja, atau karena salahnya atau kelalaian. Ketidakhadiran jenis ini dilakukan setelah melaksanakan kegiatan lain dan bukan dilakukan dari dalam kesatuan, bisa karena salah menghitung waktu atau ada sebab lain yang awalnya bukan ingin menghindarkan diri dari pelaksanaan tugas kedinasan.
Contoh:
Seseorang melaksanakan dinas cuti selama 10 (sepuluh) hari kerja, namun setelah hari ke-11 (kesebelas) tidak kunjung datang ke kesatuannya dan tanpa ada pemberitahuan atau izin lebih lanjut. Sehingga prajurit yang bersangkutan dikatakan telah melakukan ketidakhadiran (THTI) selama 1 (satu) hari bahkan bisa bertambah jika tidak segera melaporkan ke kesatuannya. Bisa saja ada permasalahan lain atau kendala yang membuat dirinya berada dalam situasi ketidakhadiran bukan karena kehendaknya, atau ia tidak mungkin diharapkan untuk bertindak lain selain menyesuaikan dengan keadaan yang dialaminya itu.
2. Desersi atau terkadang dieja "disersi", merupakan ketidakhadiran lanjutan dari THTI yang mana masa ketidakhadiran tersebut sudah melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari.
THTI dan desersi merupakan perbuatan yang dilarang, diatur, dan diancam dengan pidana pada pasal-pasal tersendiri, sehingga dalam menentukan unsur-unsur perbuatannya harus teliti. Ketika seorang Prajurit TNI telah melakukan THTI maka mulailah dilaporkan tentang status keberadaannya kepada komando atas. Buatlah laporan tertulis secara periodik sesuai petunjuk komando atas, bisa setiap hari, 3, atau 7 hari sekali bahwa prajurit tersebut telah melakukan ketidakhadiran jenis THTI, hingga yang bersangkutan kembali ke kesatuan. Ketika telah melebihi waktu 4 (empat) hari seorang Prajurit TNI melakukan THTI, maka segeralah untuk menyerahkan perkaranya kepada pihak penyidik polisi militer setempat (lihat Pasal 8 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer dan penjelasannya).
Hukum Pidana dan Hukum Pidana Militer berbeda dengan Hukum Disiplin Militer. Hukum Pidana dan Hukum Pidana Militer adalah sama-sama berlaku bagi Prajurit TNI sebagai hukum pidana. Jika suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Prajurit TNI tidak diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) maka akan diberlakukan aturan yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHPM yang dimaksud saat ini adalah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Menyesusaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No.167) dengan Keadaan Sekarang. Sedangkan KUHP mendasari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Hukum Pidana Militer yang diberlakukan khusus bagi militer mendampingi hukum pidana yang bersifat umum.
Untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran yang dilakukan oleh Prajurit TNI, yang tidak diatur baik dalam KUHPM maupun KUHP, dan tetap akan diterapkan hukuman terhadapnya, akan dicarikan aturannya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). KUHDM yang dimaksud saat ini adalah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Setiap Prajurit TNI yang melakukan pelanggaran dianggap telah melakukan pelanggaran disiplin, dan oleh karenanya patut diberi hukuman, setidak-tidaknya berupa teguran/peringatan, atau diberikan tindakan disiplin.
Untuk pelanggaran hukum berupa ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai, jika tidak lebih dari 4 (empat) hari masih menjadi tanggung jawab komandan satuan atau atasan yang berhak menghukum (Ankum) untuk menyelesaikannya melalui saluran hukum disiplin. Namun jika sudah lebih dari 4 (empat) hari maka perkaranya harus dilaporkan kepada pejabat penyidik polisi militer. Memang Ankum juga termasuk penyidik, namun untuk perkara pidana, kewenangan penyidikan diserahkan kepada penyidik polisi militer dan oditur militer sebagaimana diatur dalam Pasal 74 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Jika setelah anggotanya melakukan THTI lebih dari 4 (empat) hari tidak dilaporkan kepada penyidik polisi militer, tentunya komandan satuan dapat dituntut karena telah lalai dalam melaksanakan tanggung jawab komando. Ketika seorang Prajurit TNI yang menjadi anggota bawahannya di satuan telah atau sedang melakukan ketidakhadiran tanpa izin, maka jika komandan satuannya tidak memproses dan melaporkan pelanggaran bawahannya kepada pihak yang berwenang untuk menindaklanjuti perkaranya, maka komandan satuan tersebut dapat dianggap melanggar salah satu dari prinsip-prinsip pertanggungjawaban komando di dalam kehidupan militer.
Ketika sudah melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari ketidakhadiran, maka segeralah dikirim laporan bahwa prajurit yang bersangkutan telah melakukan desersi. Sehingga perbuatannya sudah beralih kategori dari THTI menjadi desersi. Meskipun sebelumnya prajurit pelanggar tersebut sudah pernah dilaporkan untuk perkara THTI, namun ketika sudah memenuhi unsur perkara desersi, harus dilaporkan kembali oleh satuannya kepada penyidik polisi militer sebagai laporan baru.
THTI merupakan kejahatan meskipun ketidakhadiran tanpa izin itu dilakukan hanya 1 (satu) hari. Hal ini berdasarkan ketentuan tentang ketidakhadiran tanpa izin yang diatur mulai dari Pasal 85 KUHPM, adalah tercakup dalam Bab III mengenai Kejahatan-kejahatan yang Merupakan Suatu Cara bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Pelaksanaan Kewajiban-kewajiban Dinas. Oleh karenanya seorang komandan satuan tidak boleh lengah meskipun THTI hanya dilakukan sehari.
Pertimbangan lain yang mengharuskan seorang komandan satuan untuk segera melimpahkan perkara anggotanya kepada penyidik polisi militer adalah untuk menghindari kemungkinan terjadinya perkara pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh prajurit tersebut selama melakukan ketidakhadiran tanpa izin. Ketika tidak ada pelanggaran penyerta, perkara THTI tersebut belum dilaporkan, bisa saja pihak lain tidak mengetahui jika personel di suatu satuan itu telah melakukan pelanggaran THTI. Namun jika yang melakukan pelanggaran THTI tersebut juga melakukan pelanggaran yang lain lalu tertangkap, sementara pelanggaran THTI-nya belum dilaporkan, tentunya komandan satuan dapat dipersalahkan dengan tuduhan pembiaran. Lain halnya jika ketidakhadiran anggotanya tersebut belum lebih dari 4 (empat) hari, sudah dilaporkan kepada komando atas namun belum diserahkan kepada penyidik polisi militer dengan maksud akan diselesaikan sendiri di satuan melalui saluran hukum disiplin militer, meskipun anggota tersebut melakukan pelanggaran lain ketika THTI selama tenggang waktu 4 (empat) hari tersebut, komandan satuan belum bisa dipersalahkan dengan tuduhan pembiaran.
Jika seorang komandan satuan hanya melaporkan kepada penyidik polisi militer tentang keadaan THTI, sementara waktu proses perkaranya sudah berjalan kemudian seumpama disidangkan dengan tuduhan perbuatan THTI, kemudian prajurit pelanggar muncul kembali pada saat di persidangan dan kehadirannya itu setelah melampaui masa 30 hari dari pelariannya, maka hal ini bisa saja menjadi masalah dalam hal penuntutan oleh oditur militer. Jika oditur militer salah mendakwakan perbuatan dari terdakwa, tentunya akan dapat disanggah dengan uraian eksepsi dari penasihat hukum atau terdakwa sendiri. Dan mungkin saja akan mengakibatkan terdakwa divonis bebas dari segala dakwaan. Tentunya hal ini dapat berdampak negatif bagi kehirmatan satuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang komandan satuan tidak boleh menyepelekan mengenai penghitungan masa ketidakhadiran seorang Prajurit TNI tanpa izin baik yang berupa pelanggaran THTI maupun desersi.
No comments:
Post a Comment