Di dalam kehidupan militer, hukum yang paling menonjol adalah yang mengatur tentang hubungan antara atasan dan bawahan. Hal ini tertuang dengan jelas dalam Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Bagaimana makna Pasal 103 KUHPM terhadap perbuatan LGBT (lesbian, gay/homoseksual, biseksual, dan transgender) dalam rangka penerapan hukum acara peradilan militer?
PERUMUSAN TINDAKAN YANG DILARANG
Sebelum kita mengaitkan hubungan antara Pasal 103 KUHPM dengan perbuatan LGBT yang dilakukan oleh seorang Prajurit TNI, kita perlu terlebih dahulu menentukan apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam golongan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Berdasarkan asas Hoograad tanggal 31 Desember 1919 tentang Pasal 1365 Burgelijk Wetboek mengenai Pengertian Tindakan yang tidak sesuai dengan hukum berintikan sebagai berikut:
a. merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang;
b. melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum/si pelaku/petindak) menurut undang-undang; dan/atau
c. melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Dalam hal ini perbuatan asusila terhadap sesama jenis kelamin adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (yaitu kewajiban sebagai anggota TNI) dan yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Baik dari segi agama maupun etika sosial, perbuatan asusila dengan yang berlainan jenis kelamin saja juga dilarang, apalagi perbuatan asusila yang dilakukan dengan sesama jenis kelamin, sangatlah tercela dan dilaknat. (Lihat QS. Al-A'rāf: 80-84).
Seorang komandan satuan terhadap bawahannya, dapat bertindak sebagai atasan, guru, orang tua, pemimpin, komandan, atau bahkan rekan seperjuangan. Baik atas nama institusi maupun pribadi-pribadi tadi tentunya cenderung menerapkan apa yang terbaik bagi satuan dan para prajurit yang berada di bawah komandonya. Sangatlah wajar dan merupakan suatu kewajiban jika seorang komandan satuan memerintahkan para prajuritnya untuk senantiasa berbuat kebajikan.
PENENTUAN MAKNA PERINTAH
Perintah dalam kehidupan militer adalah penyampaian informasi dari seorang Prajurit TNI atasan kepada seorang Prajurit TNI lainnya yang berada di bawah wewenang komandonya, yang berisi hal-hal yang harus dikerjakan oleh bawahannya tersebut, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis, yang jika tidak dilaksanakan akan berakibat penjatuhan sanksi atau hukuman dari atasan tersebut terhadap bawahannya itu. Perintah yang berbentuk lisan yang berisi pokok-pokok keinginan pimpinan biasa dikenal dengan istilah "petunjuk" atau "petunjuk atasan".
Perintah dari komandan satuan (Dansat) atau atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang tertulis dapat dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan, di antaranya adalah surat perintah, surat telegram (ST), surat edaran (SE), surat keputusan (Skep), keputusan (Kep), dan peraturan.
Surat telegram, surat edaran, dan surat keputusan atau keputusan, isinya tidak selalu merupakan perintah, bisa saja hanya sebagai pengumuman, perubahan status, suatu perumusan tindakan atau kegiatan, ataupun penekanan yang jika tidak dilaksanakan tidak secara langsung dapat berakibat timbulnya penjatuhan sanksi ataupun hukuman.
Pada surat yang berbentuk ST, dapat kita bedakan apakah isinya sebagai perintah atau bukan, yaitu dengan melihat pada bagian akhirnya. Jika merupakan perintah, biasanya akan tertulis "ST ini merupakan perintah untuk dilaksanakan" atau dalam bentuk kalimat lain yang seperti itu. Terdapat surat telegram yang seperti ini maka diperlakukan sama sebagai perintah kedinasan, hanya bedanya untuk surat perintah ditulis lebih terperinci terhadap siapa saja perintah itu ditujukan.
PERUMUSAN PASAL 103 KUHPM
Untuk Pasal 103 KUHPM, terdiri dari 5 (lima) ayat, namun pada pembahasan kali ini kita akan fokus khusus pada formulasi Pasal 103 ayat (1) KUHPM. Oleh karenanya kita uraikan rumusan aturan pada ayat (1) tersebut agar lebih jelas, sebagai berikut:
1. Komponen kesatu:
"Militer",
2. Komponen kedua:
"yang menolak",
3. Komponen ketiga:
"atau dengan sengaja tidak menaati suatu perintah dinas",
4. Komponen keempat:
"atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu",
5. Komponen kelima:
"diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan".
Pada komponen kesatu "militer", artinya yang diberi perintah dalam hal ini adalah setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan diperlakukan sebagai militer.
Pada komponen kedua "yang menolak", artinya bahwa seorang Prajurit TNI telah nyata-nyata menolak perintah dinas, bisa juga ditunjukkan dengan perkataan tidak mau melaksanakan dengan atau tanpa memberitahukan alasannya.
Pada komponen ketiga "dengan sengaja tidak menaati perintah dinas", artinya bahwa seorang Prajurit TNI dengan sengaja tidak menaati perintah tersebut dengan cara mengabaikannya sehingga tugas tersebut tetap saja menjadi tidak dilaksanakan oleh Prajurit TNI yang menerima perintah meskipun pada awalnya telah menyanggupi hal itu.
Pada komponen keempat "dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu", artinya perintah itu dilaksanakan namun tidak sesuai dengan arahan atau petunjuk dari pemberi perintah bahkan melampaui perintah kedinasan itu sehingga menimbulkan pelaksanaan tugas menjadi terganggu atau gagal.
Pada komponen kelima "diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan", artinya ketiga macam sikap ataupun tindakan yang dirumuskan pada komponen kedua, ketiga, dan keempat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja dan diancam dengan pidana.
Komponen kedua hingga keempat dari Pasal 103 ayat (1) KUHPM merupakan rumusan yang bersifat alternatif, artinya salah satu saja dari ketiga komponen tersebut terpenuhi maka dapat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja.
Larangan terhadap Prajurit TNI tentang perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama sudah diatur di dalam surat-surat telegram yang dibuat oleh para pejabat di lingkungan TNI yang dibuat secara berjenjang, yang pada intinya adalah sebagai berikut:
a. Memproses secara tegas, terukur, dan proporsional pelanggaran asusila oknum Prajurit TNI dan PNS di lingkungannya yang melakukan perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama;
b. Menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik;
c. Memproses pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) dari dinas militer berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ketika perkaranya dilaporkan kepada penyidik polisi militer kemudian akhirnya dilimpahkan ke pengadilan militer melalui oditur militer, maka oditur militer sudah harus terlebih dahulu mengolah perkara tersebut sebaik mungkin, agar dapat diselesaikan secara optimal, yaitu hingga penjatuhan pidana tambahan pemecatan (PDTH) oleh majelis hakim yang menyidangkan perkaranya.
PERTIMBANGAN MENJATUHKAN PIDANA TAMBAHAN PDTH DALAM PERSIDANGAN
Ancaman pidana maksimum atas pelanggaran terhadap Pasal 103 KUHPM adalah mulai dari dua tahun empat bulan hingga dua puluh tahun disesuaikan dengan bentuk perbuatannya. Ancaman pidana seperti itu sudah memenuhi syarat untuk disertai penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap oknum pelanggar selain pidana pokok berupa pidana penjara selama waktu tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun perbuatan asusila antara seseorang dengan sesama jenis kelamin tidak diatur secara langsung di dalam KUHPM maupun KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya namun perbuatan tersebut di lingkungan TNI merupakan sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan yang tidak layak dipelihara di dalam kehidupan militer karena dapat merusak disiplin militer dan sendi-sendi kehidupan yang sudah ada dan mengakar dalam jiwa Prajurit TNI sejak TNI berdiri hingga kini. Dan oleh karenanya para pelanggarnya harus dipisahkan dari komunitas militer tersebut.
No comments:
Post a Comment