Permasalahan tanah cukup
kompleks atau rumit. Oleh karena itu sangatlah perlu berhati-hati dan selektif
dalam membeli tanah dan/atau bangunan terutama untuk rumah hunian atau tempat
tinggal. Tidak sedikit tanah yang sudah anda beli kemudian diklaim
kepemilikannya oleh orang lain yang bahkan tidak ada hubungan sama sekali
dengan si penjual tanah sebelumnya. Dasar untuk mengklaim tersebut mungkin saja
karena orang itu memiliki alas hak kepemilikan baik berupa sertifikat hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, ataupun hak pakai, atau bahkan hanya berupa
girik, pipil, surat keterangan tanah, dll. Apapun itu, jika pihak lain telah
menguasai terlebih dahulu atas suatu lahan maka mengklaim penguasaan
tanah/lahan di atas penguasaan pihak lain sebaiknya melalui putusan pengadilan,
jika menggunakan dalil Pasal 263 KUHP bisa begini akibatnya.
Tidak boleh sembarangan
mengklaim suatu penguasaan atas tanah/lahan yang sudah dikuasai oleh pihak lain
ketika Sahabat tidak memiliki sertifikat hak atas tanah yang dimaksud. Jangan
sekali-kali berpikir untuk menjatuhkan pihak lain meskipun ia juga sama-sama
tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah tersebut dan hanya surat-surat
selain sertifikat hak.
Berusahalah untuk tidak
menguasai lahan yang bukan miliknya, lahan yang bukan karena hasil pembelian,
hadiah, ataupun pertukaran aset. Jika itu bukan milik Sahabat, mungkin bisa
memanfaatkannya dengan cara menyewa kepada pemilik (perorangan, perusahaan,
kelompok, ataupun negara), atau bisa juga jika terpaksa (tidak memiliki biaya)
pinjam kepada saudara, teman, atau pihak lain yang bersedia meminjamkan tanpa
biaya sepeserpun dengan harapan lahannya dipelihara dengan baik dan bertanggung
jawab oleh si peminjam tanpa disertai niat untuk menguasai selamanya dan si
peminjam harus memberitakan tentang hal itu kepada seluruh keluarga terdekat atau
tetangga di sekitar lahan tersebut untuk menghindari kesalahpahaman dan
perselisihan di kemudian hari tentang siapa pemilik tanah yang sebenarnya.
Seseorang yang tidak memiliki
surat ataupun yang letaknya tidak sesuai dengan kenyataan serta disebutkan
dalam surat maka jangan sekali-kali menggunakan Pasal 263 KUHP sebagai alat
untuk menjatuhkan pihak lain, karena sesungguhnya cukup berat merumuskan unsur-unsur
dalam pasal tersebut agar terpenuhi jika keadaannya seperti di atas. Mari kita
perhatikan uraian berikut ini.
Pasal 263 KUHP:
(1)
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan
surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang,
atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
(2)
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Perhatikan kalimat yang ditebalkan
dan dibuat miring di atas, keadaan itu merupakan syarat mutlak. Jadi jika
seseorang akan mengadukan pihak lain dengan tuduhan pemalsuan dan/atau
penggunaan surat palsu maka orang itu harus dapat membuktikan terlebih dahulu
bahwa dirinya sudah dirugikan. Jika pihak pengadu/pelapor tidak bisa
membuktikan bahwa dirinya telah dirugikan maka pengaduannya tersebut seyogyanya
tidak bisa ditindaklanjuti oleh pihak yang berwajib.
Dalam hal ini kerugian harus dibuktikan dengan
cara melakukan gugatan perdata tentang kepemilikan hak atas tanah yang disengketakan.
Setelah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap bahwa dirinyalah
yang memiliki tanah tersebut maka barulah ia bisa membuktikan bahwa dirinya
telah dirugikan karena pihak lain telah menguasai tanah tersebut tanpa izin
pemiliknya.
Keadaan ini berbeda jika orang yang merasa dirugikan memiliki sertifikat hak atas tanah yang tanahnya sekarang sedang dikuasai oleh pihak lain (yang tidak memiliki sertifikat hak atas tanah), maka orang itu dapat mengadukan/melaporkan penguasaan pihak lain itu dengan tuduhan penyerobotan lahan dan/atau penggunaan surat palsu. Bisa juga melaporkan kepada Satpol PP (Polisi Pamong Praja) agar bangunan yang didirikan tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dapat dibongkar baik secara sukarela oleh penghuni bangunan ataupun secara paksa oleh petugas yang berwenang.
Jika seseorang tidak memiliki alas hak yang kuat atas tanah maka lebih baik tidak menuntut berdasarkan Pasal 263 KUHP karena harus bisa merumuskan dan membuktikan terlebih dahulu tentang kerugiannya.
No comments:
Post a Comment