Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Tuesday, September 26, 2023

PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR TERHADAP PASAL 126 KUHPM SUPAYA APARAT PENEGAK HUKUM TIDAK KELIRU MENERAPKAN HUKUM

Syarat mutlak penerapan Pasal 126 KUHPM adalah ketika suatu perkara berbicara tentang pelaku yang tidak memiliki jabatan atau kekuasaan dalam hal tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam perkara yang dituduhkan. Jika tidak teliti maka pasal tersebut akan cenderung digunakan untuk semua keadaan baik yang memiliki jabatan yang sesuai atau berhubungan langsung dengan jabatannya maupun yang tidak. Keadaan seperti itu dapat menjadi kelemahan dari penuntut dalam hal ini Oditur Militer yang dimanfaatkan oleh terdakwa ataupun penasihat hukumnya. Oleh karena itu perlu pemahaman yang benar terhadap Pasal 126 KUHPM supaya aparat penegak hukum tidak keliru menerapkan hukum.

 

Untuk lebih jelasnya mari kita urai ketentuan dalam pasalnya sebagai berikut.

 

Pasal 126 KUHPM:

 

Militer, yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun.

 

1.           ”Militer”

 

Mengenai hal ini sudah jelas diatur dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi:

a.           Prajurit;

b.           Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;

c.            Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;

d.           Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

 

2.     ”yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan”

 

Unsur ini harus dimaknai ada dua alternatif kondisi, yaitu ”menyalahgunakan kekuasaan” ataupun ”menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan”.

 

a.           Pada kondisi pertama bilamana si pelaku adalah orang yang memiliki jabatan, wewenang, atau kekuasaan tertentu. Namun orang tersebut dalam pelaksanaan tugasnya menyalahgunakannya. Kata ”menyalahgunakan” disini dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan atau tidak sesuai prosedur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

 

b.           Pada kondisi kedua, harus dimaknai bahwa orang yang melakukan sebenarnya tidak memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksud itu. Perhatikan kata-kata ”menganggapkan pada dirinya”, ini juga pasti mengakibatkan dirinya menyalahgunakan suatu kekuasaan untuk kepentingan pribadi, orang lain, atau golongan tertentu sementara ia sesungguhnya tidak memiliki jabatan sebagai penentu, pemutus, ataupun pengambil kebijakan.

 

Baik tindakan yang berupa ”menyalahgunakan kekuasaan” maupun hanya ”menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan” adalah sama-sama bentuk penyalahgunaan (kekuasaan dan/atau jabatan). Kedua tindakan memang mengisyaratkan ada kesengajaan dalam memanfaatkan kekuasaan dan/atau jabatannya. Pada dasarnya apabila ia seorang pimpinan militer maka ia dikategorikan memiliki kekuasaan dan jabatan tertentu, karena pengertian kekuasaan ini erat kaitannya dengan kewenangan pimpinan. Sehingga ketika ia menggunakan kekuasaan dan jabatannya tersebut untuk kepentingan yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya maka ia dapat dikategorikan sebagai telah menyalahgunakan kekuasaan.

Contoh: seorang komandan memerintahkan anggotanya untuk melakukan pungutan liar di terminal bus ataupun di pasar. Terhadap kegiatan tersebut ia merasa bahwa dirinya memiliki kekuasaan untuk memerintahkan anggotanya. Namun kekuasaannya itu disalahgunakan untuk perbuatan yang dilarang, memaksa orang lain (orang-orang tertentu, korban) untuk menyerahkan sejumlah uang sementara tidak ada keharusan menurut hukum bagi orang itu untuk menyerahkannya kepada para anggota militer yang diperintahkan oleh pimpinannya tadi.

 

Sedangkan seorang militer anggota (yang bukan pimpinan satuan/komandan satuan/Dansat) dikategorikan hanya memiliki jabatan, karena hanya memiliki tugas dan tanggung jawab jabatan tertentu, tidak memiliki kewenangan. Dan yang seperti ini akan cenderung mengatasnamakan pimpinan militer untuk mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti apa yang diinginkannya. Perhatikan pada kata-kata ”menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan”, bukan semerta-merta disimpulkan bahwa si pelaku merasa dirinya memiliki kekuasaan. Ia sendiri pada dasarnya mungkin menyadari bahwa sebenarnya ia tidak memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksud itu tetapi ia sengaja memanfaatkan ketidaktahuan ataupun ketidakpahaman orang lain supaya mengikuti apa yang diarahkannya sehingga orang lain itu menganggap pada diri si pelaku memiliki kekuasaan tertentu yang diharapkan (oleh korban). Sehingga ketika ia menggunakan jabatannya tersebut untuk kepentingan yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya maka ia dapat dikategorikan sebagai telah menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan.  Pelajari juga tentang tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.

 

Untuk subyek yang menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan bisa juga memaksa atau membuat orang lain merasa terpaksa meskipun obyek adalah seorang militer atasan.

Contoh: kalau anaknya ingin lulus seleksi masuk taruna Akademi TNI diharuskan membayar sejumlah uang oleh oknum (yang menyelenggarakan seleksi dan petugas tes), maka korban bisa saja akan merasa terpaksa memenuhi persyaratan yang diajukan oleh subyek (oknum) sekalipun pelaku tersebut adalah militer bawahan terhadap korban (atasan). Hal ini terpaksa dilakukan korban karena ia berpikir bahwa jika hal demikian tidak dipenuhinya maka anaknya tidak akan lulus seleksi.

 

Berdasarkan uraian di atas mungkin akan timbul pertanyaan, ”bagaimana jika si pelaku salah menafsirkan kekuasaan yang ada pada dirinya?” Bagi seorang pimpinan militer yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada dirinya tetapi ia berdalih bahwa ia menganggap apa yang dilakukannya adalah masih termasuk dalam lapangan kekuasaannya, maka perbuatannya tersebut masuk ke dalam kategori ”menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan” sebagaimana yang disalahtafsirkannya itu.

Contoh: seorang pimpinan memerintahkan suatu kerja sama dengan pihak kedua segera dilaksanakan (misal: pemanfaatan aset tanah dan/atau bangunan) sementara masih ada keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari Komando Atas ataupun instansi yang berwenang mengatur persetujuannya. Upaya realisasi kerja sama dipercepat tidak sesuai prosedur yang berlaku (mungkin dengan pertimbangan bahwa jika kerja sama tersebut tidak segera dilaksanakan dan ia terlanjur pindah satuan ataupun berganti jabatan maka ia tidak dapat menerima manfaat secara finansial).

 

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kata ”menyalahgunakan” tidak selalu digunakan dan terjadi pada kasus yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan tertentu yang dimaksud itu tetapi dapat diartikan pula sebagai tidak melaksanakan sesuai tugas dan fungsinya untuk kegiatan yang melanggar hukum.

 

3.     ”memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu”

 

Frasa kalimat di atas terdiri dari 3 bagian yaitu:

a.           Memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu;

b.           Memaksa seseorang untuk tidak melakukan sesuatu; atau

c.            Memaksa seseorang untuk membiarkan sesuatu.

 

Ketiganya sebagai alternatif terhadap suatu keadaan atau tindakan. Pada unsur ketiga ini mensyaratkan bahwa tindakan pelaku (dalam keadaan normal/standar) dapat membuat orang lain merasa terpaksa. Jika situasi dan kondisi tidak normal maka dapat saja keadaan terpaksa itu tersembunyi pada diri obyek dan jika dilihat sekilas semuanya dapat terlihat secara sukarela (apalagi jika obyek pandai bersilat lidah, mengelabui penyidik).

 

Bagaimana caranya mengetahui keterpaksaan tersebut?

 

Cara mengidentifikasi keterpaksaan dari obyek/korban:

1.           Ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar hukum, tetapi karena pengetahuannya menilai bahwa subyek memiliki kewenangan untuk memerintahkannya sehingga ia bisa saja melakukannya dengan sukarela;

 

2.           Ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar hukum, tetapi karena demi kepentingan kedudukan atau karirnya obyek akan melakukannya dengan sukarela;

 

3.           Ia mengetahui ataupun mengira bahwa subyek memiliki pengaruh ataupun kekuasaan untuk menentukan sesuatu hal yang berkaitan dengan kepentingannya yang jika tidak diikuti maka kepentingan obyek dikhawatirkan tidak dapat tercapai. Meskipun mungkin awalnya terpaksa tetapi kemudian bisa saja merasa lega;

 

Berdasarkan uraian di atas dapat kita lihat bahwa kata-kata ”tidak terpaksa” yang diakui oleh obyek/korban tidak bisa semerta-merta diartikan demikian tetapi masih perlu diteliti latar belakang dan alasannya agar dapat terlihat secara pasti apakah sebenarnya ada unsur keterpaksaan ataukah tidak.

Dan oleh karenanya jika seorang tersangka ataupun terdakwa akan didakwa dan dituntut dengan Pasal 126 KUHPM maka disarankan kepada penyidik ataupun Oditur Militer untuk lebih mendalam mempertimbangkannya dan menerapkan pasal-pasal yang tepat agar terdakwa tidak lolos dari jeratan hukum.

No comments:

JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)

JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)
https://youtu.be/2LCczqq8-jA

TINDAK PIDANA KHUSUS DI MILITER TERUTAMA DESERSI DAN KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ   Yth. Sahabat Diskusi Hidup,            a lhamd...