Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Tuesday, January 14, 2025

TINDAK PIDANA KHUSUS DI MILITER TERUTAMA DESERSI DAN KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ 


Yth. Sahabat Diskusi Hidup,          alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan yang berbeda. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang tindak pidana khusus di lingkungan militer. Pada diskusi  hidup  kali  ini  kita  mengambil  salah satu contoh tindak pidana militer sebagai berikut.




    Tindak pidana militer yang pada umumnya terdapat dalam KUHPM dapat dibagi dua bagian yaitu :

 

1.         Tindak pidana murni, yaitu tindakan-tindakan terlarang/diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaan yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana.

 

2.         Tindak pidana campuran, yaitu tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM (atau dalam Undang-Undang Hukum Pidana Militer lainnya) karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan acaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari ancaman kejahatan yang semula dengan pemberatan tersebut dalam Pasal 52 KUHP.

 

      Tindak Pidana Militer merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit. Secara umum tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit adalah sama dengan yang dilakukan  oleh orang yang bukan prajurit, seperti perkelahian, pencurian dan lain sebagainya. Akan tetapi ada tindak pidana tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh anggota militer saja, yaitu tindak pidana desersi yang masuk dalam lingkup tindak pidana militer murni. Dalam kenyataannya tindak pidana desersi belum banyak masyarakat mengetahui, meskipun dalam kitab undang-undang hukum pidana umum terdapat pasal yang membicarakan masalah tindak pidana. Untuk memberikan gambaran maka akan diuraikan secara singkat mengenai tindak pidana desersi.

 

     Yang dimaksud dengan tindak pidana desersi sesuai dengan pasal 87 KUHPM yaitu:

1)      Diancam karena desersi, militer:

ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;

ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari ;

ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.

 

2)      Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

 

3)      Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.

 

Dari perumusan pasal 87 dapat disimpulkan ada dua bentuk desersi yaitu :

1)      Bentuk desersi murni (pasal 87 ayat 1 ke-1) dan

2)      Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat ke-2 dan ke-3).

 

            Memahami kondisi tersebut di atas agar dalam penyelesaian tindak pidana desersi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien maka peranan Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) sebagai salah satu Penyidik di lingkungan Militer mempunyai peran utama yang sangat penting.

 

            Dari tulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :

 

1.   Sebagai sarana bagi penulis untuk menyumbangkan pemikiran yuridis, serta menambah kepustakaan hukum tentang masalah-masalah hukum militer, khususnya dalam hal desersi yang dilakukan oleh anggota TNI AD. Serta memberikan gambaran yang jelas kepada seluruh prajurit TNI AD mengenai hukum militer serta akibat hukumnya apabila anggota TNI AD melakukan desersi.

 

2.         Dapat menjadi tambahan referensi bagi para Komandan Satuan dalam mencegah dan mengatasi anggotanya dalam mengatasi permasalahan desersi maupun pelaku desersi serta instansi yang terkait khususnya instansi penegak hukum, supaya bersungguh-sungguh dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Prajurit TNI AD.

 

3.         Sebagai media informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas untuk mengetahui penerapan hukum bagi anggota TNI AD. Karena masih banyak Komandan Satuan serta Prajurit TNI AD yang belum memahami tentang hukum pidana militer.

 

            Dalam penulisan ini menggunakan landasan Pasal 74 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjelaskan bahwa salah satu kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM) adalah melakukan penyidikan terhadap prajurit yang berada di bawah wewenang komandonya.

 

Beberapa faktor penyebab prajurit melakukan tindak pidana desersi antara lain adalah :

 

a.         Masih terdapat oknum-oknum prajurit yang bersikap dan berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI, dan hal ini berpengaruh pada prajurit lainnya, baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, norma-norma lainnya yang berlaku dalam kehidupan atau bertentangan dengan peraturan kedinasan, disiplin, dan tata tertib di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.

 

b.         Kurangnya rasa memiliki terhadap satuan oleh prajurit dan beberapa prajurit yang tidak mempunyai tugas pokok (job description) yang pasti sehingga banyak diantara mereka yang setiap harinya hanya datang untuk melaksanakan apel pagi dan apel siang, hal inilah yang lama-lama akan menimbulkan suatu kejenuhan.

 

c.         Kebutuhan hidup yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan pola hidup prajurit. Ketika income (pemasukan) tidak seimbang dengan pengeluaran, maka seorang prajurit berfikir untuk mencari “tambahan penghasilan” di luar dinas sekalipun cara yang ditempuh/pekerjaan tersebut menjadi larangan bagi setiap prajurit.

 

d.         Kondisi Lingkungan yang telah mengalami pergeseran nilai disegala aspek kehidupan, maka seorang prajurit harus mampu untuk membedakan dan memilah apa yang harus dilakukan.

 

e.     Tingkat Keimanan seorang prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar ketika dihadapkan pada suatu masalah, apabila prajurit tersebut mempunyai keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan selalu memberikan jalan keluar atas permasalahannya maka prajurit tersebut tidak akan memilih jalan pintas dengan lari meninggalkan satuannya.

 

            Tindak Pidana Desersi pada mulanya dimulai dari tindak pidana THTI namun karena situasi dan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang telah terlewati sehingga terjadilah tindak pidana Desersi. Pada saat Prajurit melakukan ketidakhadiran tanpa izin yang sah, maka Satuan membuat laporan atas permasalahan tersebut terhadap Komando Atas secara berturut-turut yaitu 7(tujuh) hari, 14 (empat belas) hari dan 21 (dua puluh satu) hari disertai dengan dikeluarkannya Daftar Pencarian Orang (DPO). Setelah ketidakhadiran tanpa izin yang sah tersebut melebihi 30 (tiga puluh) hari, maka satuan dapat mengajukan usul pemberhentian sementara dari jabatan (Schorsing).

 

            Berdasarkan Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengenai pengertian Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini. Kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum menjadi penyidik diatas dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer:

 

(1)     Penyidik adalah :

a.    Atasan yang Berhak Menghukum;

b.    Polisi Militer; dan

c.    Oditur.

           

Atasan yang Berhak Menghukum dalam proses penyelesaian tindak pidana desersi yang dilakukan oleh anggota TNI AD mempunyai wewenang sebagaimana yang diatur dalam pasal 74 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sebagai berikut :


a.      Melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada dibawah wewenang komandannya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b (yaitu Polisi Militer) atau huruf c (yaitu oditur);

 

b.      Menerima laporan pelaksanaan penyidik dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c;

 

c.       Menerima berkas hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1huruf b atau huruf c; dan

 

d.      Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahanya yang ada wewenang komandannya.

 

            Proses pemeriksaan ini dilakukan oleh penyidik. Penyidik dalam hal ini adalah seorang Ankum sesuai dengan Pasal 96 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Yang bertindak selaku Ankum adalah komandan, yang berwenang sesuai dengan peraturan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Karena itu sudah merupakan kewajiban selaku komandan yang mempunyai tugas dan tanggung jawab penuh terhadap bawahan, untuk menjaga kedisiplinan pasukan, agar pasukan tersebut dapat menjalankan tugasnya.

 

            Setelah proses tersebut telah selesai dilakukan oleh Komandan Satuan (Ankum), maka selanjutnya perkara tersebut dapat dilimpahkan ke Polisi Militer untuk dilakukan proses hukum guna disidangkan di Peradilan Militer, dan untuk tindak pidana  desersi dapat dilakukan siding secara In Absentia / tanpa kehadiran Terdakwa (Pasal 141 Ayat (10) Jo. Pasal 143 Undang-Undang No 31 Tahun 1997). Apabila dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari setelah melakukan ketidakhadiran tanpa izin yang sah prajurit tersebut masih belum kembali dan perkara tersebut telah selesai disidangkan di Peradilan Militer maka Ankum mempunyai kewenangan untuk mengajukan Usul Pemberhentian Dengan Tidak Hormat secara Administrasi dengan syarat dilampiri Putusan Pengadilan Militer yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap walaupun dalam Putusan Pengadilan Militer tersebut tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.

 

Belajar dari beberapa kasus tindak pidana desersi yang terjadi, upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulanginya dapat dilakukan secara preventif, yaitu merupakan upaya pencegahan timbulnya desersi tersebut dan dapat pula dilakukan secara represif, yaitu upaya menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang telah terjadi. Upaya preventif yang dapat dilakukan seorang Komandan diantaranya adalah:

 

1)            Memberikan perhatian terhadap bawahan / anggota, baik secara moril maupun materiel.

 

2)            Melakukan jam komandan secara rutin.


3)      Jangan pernah bosan untuk selalu mengingatkan kepada anggota/bawahan mengenai aturan-aturan yang berlaku bagi seorang prajurit TNI.

 

4)            Berkoordinasi dengan bintal yang berada di wilayahnya untuk  memberikan penyuluhan secara rutin yang berkaitan dengan peningkatan kualitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


5)         Berkoordinasi dengan Dinas Psikologi Angkatan Darat untuk memberikan penyuluhan secara rutin berkaitan dengan toleransi streskedisiplinan kerja prajurit.


6)         Agar para Komandan Satuan dan/atau Ankum bersedia hadir dalam penyuluhan hukum yang diadakan oleh Kumdam maupun Kumrem agar dapat mengetahui mekanisme penyelesaian setiap permasalahan hukum yang terjadi di satuannya.

 

Sehingga dengan adanya upaya tersebut diharapkan perbuatan desersi itu dapat dicegah seminimal mungkin. Oleh karena itu butuh perhatian yang serius dari para Atasan baik yang berada di lingkungan kerja prajurit tersebut maupun yang berada di luar kesatuan dari prajurit (keluarga, lingkungan, dan bimbingan rohani) serta perhatian dan peranan dari Komando untuk dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi.

 

            Sehingga Idealnya prajurit TNI bisa menyeimbangkan diri ketika menghadapi rutinitas kerja yang padat dengan hal-hal yang bersifat internal. Prajurit sejati konsisten dalam berbicara dan bertindak serta sanggup menjalani setiap perintah yang diberikan tanpa terganggu oleh permasalahan personal.

 

 

Yth. Sahabat Diskusi Hidup yang berbahagia,

 

Demikian diskusi hidup kita kali ini, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan, karena sejatinya kebenaran hanya milik Allah SWT.

 

Terima kasih banyak atas perhatiannya.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابُ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ

  

Sunday, June 23, 2024

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia,

 

Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang lain yang bahkan bukan sanak saudaranya. Namun ingat bahwa mungkin keadaan di masa yang akan datang akan berubah tidak sesuai harapan atau perkiraan kita. Penulis akan bercerita sebagai contoh tentang seseorang yang ditolong bertahun-tahun tetapi lupa diri dan melukai hati penolongnya. Hati-hati meminjamkan tanah dan rumah harus bersiap karena bisa saja orang yang ditolong berkhianat tidak mau pergi meninggalkan tanah dan rumah tersebut.

 

            Hal yang penulis ceritakan ini adalah kisah nyata. Pada suatu hari seorang tentara membeli tanah dan rumah dari orang lain yang kebetulan orang itu (penjual) sedang sangat membutuhkan sejumlah uang. Kemudian terjadilah transaksi jual-beli antara Si Pembeli dengan Si Penjual. Peristiwa hukum ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu. Setelah menjual tanah dan rumahnya, ia menyatakan meminjam terlebih dahulu sambil mencari penggantinya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, juga ia tak kunjung pergi dari tempat tinggalnya yang sudah ia jual tersebut. Kebetulan pihak pembelinya juga memiliki tempat tinggal yang jauh, sering berpindah-pindah tugas, dan sibuk dengan pekerjaannya sehingga menjadi tidak konsentrasi untuk memikirkan pengusiran pada saat itu. Namun ketika hendak memerlukan rumah tersebut barulah terasa ada masalah yaitu orang yang menumpang tidak mau pergi malah berkhianat memanipulasi seolah-olah rumah tersebut masih miliknya dan tidak pernah dijual. Si penjual juga berupaya memutarbalikkan fakta, menuduh tentara tersebut mengintimidasi masyarakat padahal orang itu yang salah, sehingga hal ini cukup membuat si tentara agak repot dan serba salah. Tetangga di sekitarnya belum tentu ada yang mengerti bahwa tanah dan bangunan tersebut sebenarnya sudah dijual karena orang itu masih tetap menempati rumah yang semula.

 

            Terhadap orang-orang licik seperti di atas tidak perlu dipikir dua kali untuk memperkarakannya. Berikut ini tips-tips untuk mengantisipasi peristiwa yang tidak mengenakan seperti di atas:

1.            Diusahakan tidak meminjamkan tanah dan bangunan kepada orang-orang yang baru dikenal ataupun tidak terjamin janjinya;

2.            Usahakan pula tahu persis dimana tempat tinggal lainnya, atau tempat saudara terdekatnya;

3.            Jika terpaksa meminjamkan maka perlu dibuatkan surat perjanjian dan diberi tenggang waktu yang tertentu (misalnya: 1 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun, tidak boleh tidak terbatas;

4.            Sertakan beberapa orang saksi terutama istri dan anak-anak dari si peminjam untuk bersama-sama tanda tangan di surat perjanjian sebagai pengingat agar mempersulit tindakan pengingkaran;

5.            Jika perlu libatkan ketua Masyarakat setempat sebagai saksi ataupun beberapa orang tetangga bila akan meminjamkan atau menjual tanah dan  bangunan;

6.            Jangan sungkan-sungkan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib sebagai dugaan tindakan penipuan atau penggelapan.

 

Jangkan meminjamkan sesuatu barang berharga kepada orang yang tidak terlalu kenal, orang yang dekat atau saudara saja belum tentu bisa dipercaya.

 

Dari beberapa hal yang diutarakan di atas serta kejadian-kejadian serupa lainnya, maka penulis sudah mulai membudayakan hal-hal berikut ini:

 

1.            Ketika ada orang yang mau menumpang di tanah atau bangunan milik kita, lebih baik ditariki uang sewa meskipun nilainya tidak seberapa, sebagai bukti bahwa mereka adalah bukan pemilik dari property yang kita miliki tersebut dan supaya mereka ada upaya untuk meningkatkan taraf hidupnya;

 

2.            Ketika ada orang yang mau meminjam uang, maka lebih baik memberinya sejumlah uang meski tidak banyak atau tidak sesuai jumlah yang ingin dipinjamnya, supaya tidak berkonflik perihal susahnya menagih utang dan menghindari hilangnya keikhlasan kita dalam membantu kesulitan orang lain.

 

Sahabat Diskusihidup yang berbahagia,

 

Demikian kurang lebihnya penulis mohon maaf.

Semoga kita senantiasa dimudahkan dalam setiap urusan kebaikan.

Semoga tetap sehat dan tetap semangat !!!

Sunday, March 24, 2024

UU NOMOR 2/PNPS/1964 TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI

 



 TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN 

  DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER

 

[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969]

 

Mengingat:    1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;

 

2.         Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;

 

3.         Keputusan Presiden Republik Indonesia             No. 226 Tahun 1963.

 

 

BAB I

UMUM

 

Pasal 1

 

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan dalam pasal-pasal berikut.

 

 

BAB II

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN

DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

 

Pasal 2

 

(1)       Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).

 

(2)       Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

 

Pasal 3

 

(1)       Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.

 

(3)       Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

 

Pasal 4

 

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

 

Pasal 5

 

Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

 

Pasal 6

 

(1)       Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.

 

(2)       Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

 

Pasal 7

 

Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari nsetelah anaknya dilahirkan.

 

Pasal 8

 

Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

 

Pasal 9

 

Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

 

Pasal 10

 

(1)       Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.

 

(2)       Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.

 

(3)       Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

 

Pasal 11

 

(1)       Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.

 

(2)       Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.

 

(3)       Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.

 

(4)       Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

 

Pasal 12

 

(1)       Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.

 

(2)       Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

 

Pasal 13

 

(1)       Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

 

(2)       Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

 

Pasal 14

 

(1)       Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.

 

(3)       Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

 

(4)       Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.

 

(5)       Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

 

Pasal 15

 

(1)       Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.

 

(2)       Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana.

 

Pasal 16

 

(1)       Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati.

 

(2)       Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.

 

(3)       Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

 

 

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN

DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

 

Pasal 17

 

Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:

 

a.         kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan”;

 

b.         kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan Daerah Militer”;

 

c.         kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;

 

d.         kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;

 

e.         Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang bersangkutan”.

 

f.          Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.

 

 

BAB IV

KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

 

Pasal 18

 

Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

 

Pasal 19

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.



JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)

JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)
https://youtu.be/2LCczqq8-jA

TINDAK PIDANA KHUSUS DI MILITER TERUTAMA DESERSI DAN KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ   Yth. Sahabat Diskusi Hidup,            a lhamd...