Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Tuesday, September 21, 2021

BAGAIMANA ATURAN SCHORSING YANG IDEAL DI DALAM TATA USAHA MILITER, UNTUK MENGELIMINIR TIMBULNYA PENYIMPANGAN DAN KERAGUAN, SERTA KERANCUAN DALAM PENERAPANNYA

         Schorsing atau pemberhentian sementara dari jabatan yang diterapkan kepada seorang Prajurit TNI, pada hakekatnya merupakan pengurangan terhadap sebagian hak-hak Prajurit TNI tersebut, yang ketika ia sudah berkeluarga tentunya akan berdampak pula bagi keluarganya (istri dan anak). Oleh karenanya diharapkan pengaturan mengenai schorsing senantiasa memperhatikan asas-asas yang berlaku di antaranya yaitu asas kepentingan militer, asas kepastian hukum, dan asas keadilan.


        Penerapan schorsing tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mekanisme schorsing diterapkan secara sistematis sesuai jenjang pentahapannya. Penerapan schorsing ini juga memerlukan sinergitas dari para pejabat yang membidangi urusan personalia.

Bagaimana aturan schorsing yang ideal di dalam tata usaha militer, untuk mengeliminir timbulnya penyimpangan dan keraguan, serta kerancuan dalam penerapannya?


        Berikut ini adalah rambu-rambu yang seyogyanya dirumuskan di dalam suatu pengaturan tentang schorsing:


1.    Berisi latar belakang tentang asal-usul atau alasan-alasan penerapan schorsing yang disampaikan secara garis besar;


2.    Merumuskan maksud pembuatan pengaturan yaitu memberikan gambaran dan penjelasan kepada para komandan satuan dan staf yang membidangi urusan personalia ataupun tata usaha terutama yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


3.    Merumuskan tujuan pembuatan pengaturan yaitu agar dapat dijadikan pedoman dalam penerapan schorsing;


4.    Mencantumkan dasar-dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan pengaturan dan penerapan schorsing;


5.    Merumuskan tujuan penerapan schorsing yang terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

a.    mengatur penetapan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang diduga telah melakukan pelanggaran dan memasuki tahap-tahap keadaan sesuai persyaratan schorsing;

b.    mengatur pembatalan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang ternyata tidak bersalah atas suatu tuduhan pelanggaran;

c.    mengatur pencabutan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang sudah menjalani masa penjatuhan schorsing dan telah memenuhi persyaratan untuk pencabutan schorsing;

d.    mengatur pengangkatan kembali seorang Prajurit TNI dalam suatu jabatan setelah menjalani masa schorsing.


6.    Merumuskan sasaran secara terperinci sesuai tujuan-tujuan penerapan administrasi schorsing;


7.    Menggunakan rumusan asas-asas bukan sifat;


8.    Tidak perlu merumuskan peranan melainkan tugas dan tanggung jawab para pejabat terkait mulai di tingkat pusat hingga tingkat satuan;


9.    Menentukan struktur dan susunan organisasi pelaksana mulai di tingkat pusat hingga tingkat satuan;


10.    Merumuskan persyaratan pejabat-pejabat yang ditunjuk yang terlibat dalam kegiatan penerapan schorsing;


11.    Merumuskan teknis kegiatan penerapan schorsing, yang berisi hal-hal sebagai berikut:

a.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi schorsing;

b.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi pembatalan schorsing;

c.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi pencabutan schorsing;

d.    pengaturan khusus tentang pengangkatan kembali dalam jabatan yang dituangkan langsung dalam pengaturan schorsing tersebut secara teknis, tidak melimpahkan kembali pada mekanisme pengangkatan dalam jabatan pada kondisi standar.


12.    Saat mulai berlakunya schorsing sebaiknya ditentukan berdasarkan tanggal penetapan schorsing sesuai keadaan dalam persyaratan schorsing;


13.    Persyaratan schorsing sebaiknya tidak termasuk sesuatu keadaan yang mana si pelanggar telah dijatuhi penahanan sementara disipliner baik yang ringan ataupun yang berat, dikarenakan jika sudah diputuskan bersalah di dalam penyelesaian menurut saluran hukum disiplin militer tidak mungkin lagi ada putusan kedua kali yang menyatakan bahwa si pelanggar tidak bersalah;


14.    Tidak perlu ada pengaturan perpanjangan schorsing, dikarenakan sudah ditentukan di awal tentang alasan-alasan penjatuhan schorsing itu hingga timbul penyebab pembatalan ataupun pencabutan, sehingga selama penetapan schorsing masih berlaku tidak perlu ada perpanjangan schorsing, kecuali jika terjadi perubahan penjatuhan schorsing karena perubahan dugaan pelanggarannya maka perlu dirumuskan pengaturan yang menentukan bilamana akan diadakan perubahan penetapan schorsing. Perpanjangan masa schorsing hanya mungkin terjadi jika di dalam produk schorsing ditentukan batas masa berlakunya secara pasti, dan dalam hal yang demikian tidak perlu ada istilah pencabutan schorsing karena dengan sendirinya sudah tergantikan dengan batas konkrit masa schorsing tadi;


15.       Antara pembatalan dan penentuan schorsing harus sinkron, jangan sampai saling mengabaikan lalu menimbulkan kerancuan. Maka perlu dirumuskan keadaan-keadaan sebagai berikut yang dapat menjadi penyebab pembatalan schorsing:

a.    Ankum Atasan atau Papera memutuskan bahwa Prajurit TNI yang bersangkutan tidak bersalah (tidak melakukan pelanggaran disiplin militer); atau

b.    Pengadilan militer memutuskan bahwa Prajurit TNI yang bersangkutan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum. 


16.    Merumuskan siapa saja pejabat-pejabat yang berwenang menerapkan schorsing sesuai tingkat kewenangannya;


17.    Menentukan persyaratan administrasi berupa produk pendapat hukum dan saran dari perwira hukum wajib dibuat oleh perwira hukum yang ada di tingkat satuan terbawah;


18.    Mengatur hak-hak Prajurit TNI yang sedang menjalani proses hukum berkaitan dengan pemberian penghasilan rutin bulanan dan lain-lain;


19.    Merumuskan pengaturan atau perlakuan terhadap Prajurit TNI yang melakukan THTI dan desersi (atau terkadang dieja "disersi") berkaitan dengan penghasilannya;


20.    Tidak perlu mencantumkan bagian faktor-faktor yang mempengaruhi jika tidak merumuskan teknis pengaturannya;


21.    Merumuskan secara detail pelaksanaan kegiatan berdasarkan tahapannya tentang penetapan schorsing, perubahan, pembatalan, dan pencabutan schorsing, serta pengangkatan kembali dalam jabatan, mulai di tingkat pusat hingga satuan;


22.    Merumuskan tentang teknis pengangkatan kembali dalam jabatan secara tegas dan tidak mengandung kalimat atau pengaturan yang menggantung sehingga tidak tuntas;


23.    Merumuskan tindakan pengamanan terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


24.    Merumuskan tindakan pengawasan dan pengendalian terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


25.    Pengaturan lain yang belum termasuk pada bagian-bagian sebelumnya namun perlu dicantumkan, contoh:

a.    pengaturan bagaimana jika Prajurit TNI yang bersangkutan tidak ditahan, apakah dijatuhi schorsing atau tidak;

b.    pengaturan bagaimana jika proses sedang berjalan kemudian terdapat perubahan peraturan perundang-undangan;

c.    dan lain-lain.


        Dalam pembentukan pengaturan mengenai schorsing ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kecuali jika membuat atau menentukan suatu pengaturan khusus untuk suatu keadaan khusus. Namun hal ini pun harus berdasarkan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Thursday, September 16, 2021

BAGAIMANA CARA MENGATUR PENJATUHAN SCHORSING DAN PENCABUTAN SCHORSING SECARA BENAR SUPAYA TIDAK MERUGIKAN PRAJURIT TNI ATAUPUN KELUARGANYA SEKALIPUN IA TELAH MELAKUKAN KESALAHAN?

        Seorang Prajurit TNI juga manusia. Ia berasal dari rakyat, diangkat oleh pejabat tertentu yang juga sebenarnya mewakili rakyat, dan seyogyanya bisa bekerja dengan penuh perjuangan untuk rakyat di negara Indonesia tercinta ini.

Ketika seorang Prajurit TNI bermasalah karena telah melakukan pelanggaran hukum, maka terutama bagi yang sudah berkeluarga akan berdampak pada keluarganya, khususnya mengenai penerimaan penghasilan. Prajurit TNI yang bermasalah hukum dan dijatuhi schorsing akan menerima pengurangan penghasilan berdasarkan ketentuan yang ada di lingkungan TNI. Oleh karena itu, perlu diterapkan bagaimana cara mengatur penjatuhan schorsing dan pencabutan schorsing secara benar supaya tidak merugikan Prajurit TNI ataupun keluarganya sekalipun ia telah melakukan kesalahan.


Kenapa Prajurit TNI dijatuhi schorsing?


        Berikut ini adalah hal-hal yang seyogyanya bisa menjadi pertimbangan dan alasan untuk menjatuhkan schorsing:


1.    Diduga telah melakukan pelanggaran disiplin/pidana;

2.    Proses penyelesaian perkara si pelanggar memerlukan konsentrasi sehingga yang bersangkutan dibebaskan sementara dari atau dilarang menduduki jabatannya semula;

3.    Berada dalam penahanan yustisial, baik yang sementara (berupa penahanan sementara oleh Ankum paling lama 20 hari atau disertai perpanjangan penahanan oleh Papera paling lama 6 X 30 hari) maupun penahanan yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) yang masanya lebih dari atau sama dengan 1 (satu) bulan;

4.    Dalam rangka mengurangi sebagian hak-hak Prajurit TNI yang sedang alam proses hukum;

5.    Untuk memberikan efek jera baik bagi yang melanggar maupun bagi yang belum melanggar.


Kenapa mengenai schorsing ini perlu mendapatkan perhatian lebih?


         Berikut ini adalah beberapa hal yang seyogyanya bisa dijadikan sebagai alasan perlunya memperhatikan schorsing: 


1.    Komandan Satuan (Dansat) bisa saja terlambat mengusulkan schorsing terhadap anggotanya.

    

    Ketika seorang Prajurit TNI bermasalah, melakukan pelanggaran hukum baik disiplin ataupun pidana, bisa saja seorang Dansat lupa menjatuhkan schorsing terhadap anggotanya tersebut. Jika seorang prajurit yang sedang diproses secara hukum masih menduduki suatu suatu jabatan, maka secara tata usaha militer terjadi duplikasi kegiatan di dalam satu waktu. Yaitu di satu sisi ia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas jabatan, sementara di sisi lain ia memiliki kewajiban untuk menjalani proses hukumnya, mulai dari mengikuti jalannya pemeriksaan (dalam rangka penyelesaian saluran disiplin ataupun pidana) hingga menjalani penahanan. Hal tersebut sungguh-sungguh merupakan duplikasi pekerjaan, yang mana untuk melakukan kedua kewajiban tersebut dalam satu waktu, secara bersamaan, adalah tidak mungkin, sehingga keadaan yang terakhir itulah yang akan diutamakan untuk dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan tugas jabatan harus dihentikan dengan cara menerapkan pemberhentian sementara dari jabatan ataupun pelarangan melakukan tugas jabatannya (schorsing).


2.    Dansat bisa saja lupa mengusulkan pencabutan schorsing terhadap anggotanya.

        

        Ketika si pelanggar telah menjalani proses hukum hingga penjatuhan hukuman bahkan telah selesai menjalani masa penahanannya, Dansat mengupayakan pencabutan schorsing. Namun mengenai hal ini cenderung terjadi permasalahan tentang kapan saat pencabutan schorsing itu berlaku. Saat dicabutnya schorsing terkadang jauh melampaui masa seharusnya ia diberi sanksi schorsing itu sendiri.


Misalnya:

Pada contoh pertama:

Prajurit A melakukan pelanggaran disiplin militer, mulai diperiksa tanggal 1 Januari 20xx, dijatuhi hukuman disiplin penahanan berat selama 21 hari (berakhir pada tanggal 31 Januari 20xx, dan ia telah dijatuhi schorsing). Kemudian setelah selesai masa penahanan disiplinernya yang bersangkutan diupayakan pencabutan schorsingnya oleh Dansat. Namun dari komando atas yang berwenang, baru diterbitkan keputusan pencabutan schorsing yang keluar tertanggal 21 April 20xx.

Oleh karenanya terdapat kelebihan masa schorsing selama sekira 3 (tiga) bulan, sejak tanggal 1 Februari hingga tanggal 21 April 20xx.


Pada contoh kedua:

Prajurit B melakukan pelanggaran pidana baik pidana militer ataupun pidana umum, mulai diproses sejak tanggal 1 Januari 20xx, diputus oleh pengadilan pada tanggal 21 Januari 20xx dan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) bulan, sudah berkekuatan hukum tetap (masa penahanan berakhir pada tanggal 21 Maret 20xx, dan ia telah dijatuhi schorsing). Kemudian setelah selesai masa penahanannya, yang bersangkutan diupayakan pencabutan schorsingnya oleh Dansat. Namun dari komando atas yang berwenang, kemudian baru diterbitkan keputusan pencabutan schorsing yang keluar tertanggal 21 April 20xx.

Oleh karenanya terdapat kelebihan masa schorsing selama sekira 1 (satu) bulan, sejak tanggal 22 Maret hingga tanggal 21 April 20xx.


        Ketika di dalam suatu aturan mengenai schorsing sudah ditentukan bahwa saat berlakunya pencabutan schorsing adalah terhitung mulai tanggal selesai menjalani penahanan disipliner, penahanan sementara yustisial, atau pidana penjara atau kurungan paling singkat 1 (satu) bulan (berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap), penentuan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing seyogyanya disesuaikan dengan masa-masa itu. Jika penentuan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing tidak disesuaikan dengan masa-masa di atas, tentunya hal ini yang akan dapat menimbulkan kelengahan dalam hal penghitungan masa schorsing, yang berdampak pada pengurangan hak-hak Prajurit TNI yang berlebihan. Jika petugas di bidangnya tidak mengetahui atau lalai dikarenakan banyaknya pekerjaan atau kurangnya kepedulian, bisa saja hak-hak yang sudah terlanjur dipotong tidak diklaimkan oleh petugas di bidang keuangan (misalnya, juru bayar).

Satu hal yang juga dapat mendukung kelalaian adalah tentang adanya klausul dalam produk pencabutan schorsing yang berbunyi:

"Bahwa semua kekurangan penghasilan yang tidak diterimanya selama dalam pemberhentian sementara dari jabatan tidak dibayar kembali".


Meskipun pada sebagian produk administrasi yang berupa produk tata usaha negara ataupun tata usaha militer terdapat klausul yang menyatakan bahwa jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya, namun dalam prakteknya sangat jarang diterapkan.


        Jika pejabat di bidangnya salah mengartikan ini, tentunya bisa timbul kerancuan dalam pelaksanaan administrasi prajurit tentang schorsing yang berdampak pada terdapatnya hak-hak Prajurit TNI pelanggar yang tidak diberikan, dikarenakan memperkirakan atau menyangka bahwa masa berakhirnya schorsing sama dengan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing.


        Meskipun di dalam keputusan pencabutan schorsing oleh pemangku delegasi wewenang (PDW) maupun surat perintah pencabutan schorsing oleh Dansat/Ankum disebutkan terhitung mulai tanggal (TMT) pencabutannya, namun tetap saja hal ini memiliki kerawanan terjadinya kelalaian ketika lupa mengartikan suatu produk, sehingga masa-masa yang sudah berlalu yang telah melewati masa schorsing tidak diklaimkan pengembalian hak-haknya yang sudah terlanjur terpotong akibat belum diterbitkannya keputusan pencabutan schorsing dan surat perintah pencabutan schorsing. Dan karena seyogyanya suatu produk hukum tidak boleh berlaku surut, hal ini bertentangan dengan asas nonretroaktif, yang artinya bahwa suatu aturan tidak boleh diberlakukan terhadap keadaan yang telah lampau. Segala bentuk pengaturan termasuk produk hukum sejatinya ditetapkan dan berlaku sejak saat dibuat atau setelahnya, bukan sebaliknya (berlaku mundur).


3.    Anggota (Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komando dari Dansat) yang sudah selesai perkaranya belum diusulkan jabatan.


        Salah satu kewajiban Dansat adalah memberikan jabatan kepada anggotanya, jika memungkinkan akan ditempatkan kembali pada jabatan di satuan tersebut, atau dengan cara memindahkannya ke tempat lain jika di satuan tersebut sudah tidak ada lagi jabatan yang sesuai dengan anggota yang bersangkutan. Ketika anggota telah dicabut schorsingnya, maka ia dapat segera kembali ditempatkan pada jabatan yang lama atau ditempatkan pada jabatan lain yang setingkat.


4.    Anggota yang sudah selesai perkaranya belum diusulkan untuk mendapatkan tunjangan kinerja penuh.


        Pada masa sekarang, selain gaji dan tunjangan jabatan, negara telah memberikan lagi tambahan penghasilan yang berupa tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja diberikan oleh negara melalui kewenangan Dansat kepada militer yang dianggap sudah layak mendapatkan tunjangan kinerja berdasarkan kriteria tertentu sesuai peraturan perundang-undangan. Jika pejabat yang berwenang kurang teliti, militer yang sudah memenuhi syarat lagi mendapatkan jabatan tetapi tidak segera dicarikan atau ditempatkan pada jabatan, hal inilah yang kemudian bisa berdampak terhadap berkurangnya hak-hak Prajurit TNI dan keluarganya, yang semestinya bisa mendapatkan tunjangan kinerja penuh namun berkurang karena belum menempati jabatan yang sesuai.


Bagaimana cara menghitung atau memperkirakan suatu perkara selesai?


        Dalam rangka menentukan saat penerapan schorsing dapat dilaksanakan maka dapat dilakukan dengan cara memperkirakan waktunya berdasarkan proses hukum apa yang sedang diterapkan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:


1.    Proses saluran hukum disiplin militer.


        Ketika seorang Prajurit TNI sudah mulai diproses melalui saluran ini, tentunya berdasarkan hasil pemeriksaan sementara kita akan bisa memperkirakan dan menilai hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar. Yang jelas, masa penahanan terhadap proses hukum disiplin militer tidak akan lebih dari 1 (satu) bulan. Oleh karenanya kita sudah dapat memperkirakan kapan penjatuhan schorsing sudah bisa dimulai dan kapan saat dicabut kembali schorsing tersebut, dalam hal ini berlakunya schorsing hanya selama 1 (satu) bulan.


2.    Proses saluran hukum pidana.


        Untuk perkara yang masuk dalam kategori ini, penjatuhan schorsing sebaiknya sudah dimulai sejak si pelanggar berada dalam penahanan sementara yustisial. Dan kapan berakhirnya juga sudah dapat dihitung apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). Oleh karena itu, seyogyanya pejabat personel di satuan sudah dapat mengoordinasikan lebih awal mengenai kapan penjatuhan schorsing dan kapan pencabutan schorsing terhadap anggotanya yang berproses hukum.


        Berdasarkan uraian di atas, ketika seorang Dansat sudah dapat menentukan proses hukum apa yang akan diterapkan terhadap anggotanya yang telah melanggar, maka pada saat itu juga Dansat sudah dapat memperkirakan kapan bisa dimulai penjatuhan schorsing. Dan seorang Dansat dapat segera menentukan kapan waktunya pencabutan schorsing. Sehingga melalui pejabat staf yang berkaitan bisa mengoordinasikan dengan pejabat pada komando atasnya agar masa penjatuhan maupun pencabutan schorsing dapat sesuai dengan perkara anggota yang bersangkutan. Mungkin salah satu contoh yang bisa dipraktekkan adalah dengan mengoordinasikan "bon nomor" atau tanggal dari permasalahan schorsing tersebut ketika sudah betul-betul ada petunjuk tentang hal itu yang sudah bisa dihitung atau diperkirakan waktunya, bisa sebulan atau dua pekan sebelum masa penahanan terhadap si pelanggar habis.

Friday, September 10, 2021

BAGAIMANA MAKNA PASAL 103 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER TERHADAP PERBUATAN LGBT (LESBIAN, GAY/HOMOSEKSUAL, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER) DALAM RANGKA PENERAPAN HUKUM ACARA PERADILAN MILITER?

        Di dalam kehidupan militer, hukum yang paling menonjol adalah yang mengatur tentang hubungan antara atasan dan bawahan. Hal ini tertuang dengan jelas dalam Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Bagaimana makna Pasal 103 KUHPM terhadap perbuatan LGBT (lesbian, gay/homoseksual, biseksual, dan transgender) dalam rangka penerapan hukum acara peradilan militer?


PERUMUSAN TINDAKAN YANG DILARANG


        Sebelum kita mengaitkan hubungan antara Pasal 103 KUHPM dengan perbuatan LGBT yang dilakukan oleh seorang Prajurit TNI, kita perlu terlebih dahulu menentukan apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam golongan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Berdasarkan asas Hoograad tanggal 31 Desember 1919 tentang Pasal 1365 Burgelijk Wetboek mengenai Pengertian Tindakan yang tidak sesuai dengan hukum berintikan sebagai berikut:

a.    merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang;

b.    melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum/si pelaku/petindak) menurut undang-undang; dan/atau

c.    melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.


    Dalam hal ini perbuatan asusila terhadap sesama jenis kelamin adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (yaitu kewajiban sebagai anggota TNI) dan yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Baik dari segi agama maupun etika sosial, perbuatan asusila dengan yang berlainan jenis kelamin saja juga dilarang, apalagi perbuatan asusila yang dilakukan dengan sesama jenis kelamin, sangatlah tercela dan dilaknat. (Lihat QS. Al-A'rāf: 80-84).


        Seorang komandan satuan terhadap bawahannya, dapat bertindak sebagai atasan, guru, orang tua, pemimpin, komandan, atau bahkan rekan seperjuangan. Baik atas nama institusi maupun pribadi-pribadi tadi tentunya cenderung menerapkan apa yang terbaik bagi satuan dan para prajurit yang berada di bawah komandonya. Sangatlah wajar dan merupakan suatu kewajiban jika seorang komandan satuan memerintahkan para prajuritnya untuk senantiasa berbuat kebajikan.


PENENTUAN MAKNA PERINTAH


        Perintah dalam kehidupan militer adalah penyampaian informasi dari seorang Prajurit TNI atasan kepada seorang Prajurit TNI lainnya yang berada di bawah wewenang komandonya, yang berisi hal-hal yang harus dikerjakan oleh bawahannya tersebut, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis, yang jika tidak dilaksanakan akan berakibat penjatuhan sanksi atau hukuman dari atasan tersebut terhadap bawahannya itu. Perintah yang berbentuk lisan yang berisi pokok-pokok keinginan pimpinan biasa dikenal dengan istilah "petunjuk" atau "petunjuk atasan".


        Perintah dari komandan satuan (Dansat) atau atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang tertulis dapat dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan, di antaranya adalah surat perintah, surat telegram (ST), surat edaran (SE), surat keputusan (Skep), keputusan (Kep), dan peraturan.

Surat telegram, surat edaran, dan surat keputusan atau keputusan, isinya tidak selalu merupakan perintah, bisa saja hanya sebagai pengumuman, perubahan status, suatu perumusan tindakan atau kegiatan, ataupun penekanan yang jika tidak dilaksanakan tidak secara langsung dapat berakibat timbulnya penjatuhan sanksi ataupun hukuman.


        Pada surat yang berbentuk ST, dapat kita bedakan apakah isinya sebagai perintah atau bukan, yaitu dengan melihat pada bagian akhirnya. Jika merupakan perintah, biasanya akan tertulis "ST ini merupakan perintah untuk dilaksanakan" atau dalam bentuk kalimat lain yang seperti itu. Terdapat surat telegram yang seperti ini maka diperlakukan sama sebagai perintah kedinasan, hanya bedanya untuk surat perintah ditulis lebih terperinci terhadap siapa saja perintah itu ditujukan.


PERUMUSAN PASAL 103 KUHPM


        Untuk Pasal 103 KUHPM, terdiri dari 5 (lima) ayat, namun pada pembahasan kali ini kita akan fokus khusus pada formulasi Pasal 103 ayat (1) KUHPM. Oleh karenanya kita uraikan rumusan aturan pada ayat (1) tersebut agar lebih jelas, sebagai berikut:

1.    Komponen kesatu:

"Militer",

2.    Komponen kedua:

"yang menolak",

3.    Komponen ketiga:

"atau dengan sengaja tidak menaati suatu perintah dinas",

4.    Komponen keempat:

"atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu",

5.    Komponen kelima:

"diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan".


        Pada komponen kesatu "militer", artinya yang diberi perintah dalam hal ini adalah setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan diperlakukan sebagai militer.


Pada komponen kedua "yang menolak", artinya bahwa seorang Prajurit TNI telah nyata-nyata menolak perintah dinas, bisa juga ditunjukkan dengan perkataan tidak mau melaksanakan dengan atau tanpa memberitahukan alasannya.


Pada komponen ketiga "dengan sengaja tidak menaati perintah dinas", artinya bahwa seorang Prajurit TNI dengan sengaja tidak menaati perintah tersebut dengan cara mengabaikannya sehingga tugas tersebut tetap saja menjadi tidak dilaksanakan oleh Prajurit TNI yang menerima perintah meskipun pada awalnya telah menyanggupi hal itu.


Pada komponen keempat "dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu", artinya perintah itu dilaksanakan namun tidak sesuai dengan arahan atau petunjuk dari pemberi perintah bahkan melampaui perintah kedinasan itu sehingga menimbulkan pelaksanaan tugas menjadi terganggu atau gagal.


Pada komponen kelima "diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan", artinya ketiga macam sikap ataupun tindakan yang dirumuskan pada komponen kedua, ketiga, dan keempat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja dan diancam dengan pidana.


        Komponen kedua hingga keempat dari Pasal 103 ayat (1) KUHPM merupakan rumusan yang bersifat alternatif, artinya salah satu saja dari ketiga komponen tersebut terpenuhi maka dapat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja.


        Larangan terhadap Prajurit TNI tentang perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama sudah diatur di dalam surat-surat telegram yang dibuat oleh para pejabat di lingkungan TNI yang dibuat secara berjenjang, yang pada intinya adalah sebagai berikut:

a.    Memproses secara tegas, terukur, dan proporsional pelanggaran asusila oknum Prajurit TNI dan PNS di lingkungannya yang melakukan perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama;

b.    Menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik;

c.    Memproses pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) dari dinas militer berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


        Ketika perkaranya dilaporkan kepada penyidik polisi militer kemudian akhirnya dilimpahkan ke pengadilan militer melalui oditur militer, maka oditur militer sudah harus terlebih dahulu mengolah perkara tersebut sebaik mungkin, agar dapat diselesaikan secara optimal, yaitu hingga penjatuhan pidana tambahan pemecatan (PDTH) oleh majelis hakim yang menyidangkan perkaranya.


PERTIMBANGAN MENJATUHKAN PIDANA TAMBAHAN PDTH DALAM PERSIDANGAN


        Ancaman pidana maksimum atas pelanggaran terhadap Pasal 103 KUHPM adalah mulai dari dua tahun empat bulan hingga dua puluh tahun disesuaikan dengan bentuk perbuatannya. Ancaman pidana seperti itu sudah memenuhi syarat untuk disertai penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap oknum pelanggar selain pidana pokok berupa pidana penjara selama waktu tertentu.


        Berdasarkan uraian di atas, meskipun perbuatan asusila antara seseorang dengan sesama jenis kelamin tidak diatur secara langsung di dalam KUHPM maupun KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya namun perbuatan tersebut di lingkungan TNI merupakan sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan yang tidak layak dipelihara di dalam kehidupan militer karena dapat merusak disiplin militer dan sendi-sendi kehidupan yang sudah ada dan mengakar dalam jiwa Prajurit TNI sejak TNI berdiri hingga kini. Dan oleh karenanya para pelanggarnya harus dipisahkan dari komunitas militer tersebut.

Thursday, September 9, 2021

BAGAIMANA CARA MENYIKAPI DAN MENINDAKLANJUTI SUATU PERINTAH ATAU PETUNJUK KEDINASAN DARI KOMANDAN SATUAN ATAU ATASAN?

        Ketika menerima perintah dari komandan satuan atau atasan, yang harus kita dalami adalah mengenai dalil dalam proses pelaksanaan perintah tersebut. Adapun dalil yang dimaksud dapat berupa dalil konkrit dan dalil abstrak.


1.    Dalil konkrit adalah sesuatu yang mendasari pelaksanaan tugas yang bersifat nyata, seperti surat perintah, surat kuasa, surat permohonan, surat pengajuan atau usulan, dll.


2.    Dalil abstrak adalah sesuatu yang mendasari pelaksanaan tugas yang bersifat tidak nyata, seperti informasi yang berisi unsur-unsur SIABIDIBAME (siapa, apa, bilamana, di mana, bagaimana, dan mengapa) yang disampaikan secara lisan atau ditangkap secara abstrak.


        Baik dalil konkrit maupun dalil abstrak sesungguhnya tetap saja keduanya sama-sama harus mengandung unsur-unsur SIABIDIBAME.

Bagaimana cara menyikapi dan menindaklanjuti suatu perintah atau petunjuk kedinasan dari komandan satuan atau atasan?


        Perintah itu dapat berupa perintah lisan dan perintah tertulis. Perintah lisan itu yang biasa dikenal dengan istilah "petunjuk" atau "petunjuk atasan". Setelah seorang bawahan menerima suatu perintah dari atasan maka segera dipelajari perintah tersebut. Ada hal-hal yang harus dilakukan oleh bawahan yang mendapatkan perintah, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.    Mempelajari perintah yang diterima dan menangkap maksud dari perintah;

2.    Tanyakan kembali jika dirasa perintah belum bisa dilaksanakan karena belum jelas atau belum lengkap;

3.    Setelah mengerti, yakinkan kembali dengan cara menyampaikan atau mengulangi perintah yang diberikan;

4.    Lengkapi perintah itu dengan pembuatan atau melengkapi dengan surat-surat seperti surat permohonan, surat pengajuan, surat kuasa, surat perintah, dan surat lainnya yang berkaitan yang diperlukan dalam pelaksanaan perintah; dan

5.    Lalu adakan pencatatan atau kegiatan dokumentasi atau pengarsipan atas segala langkah yang sudah dilaksanakan selama proses pelaksanaan perintah.


        Agar seorang bawahan dapat melaksanakan perintah dengan baik, pahami latar belakang atau maksud dari perintah tersebut dan ketahui juga tujuan akhir yang ingin dicapai dari suatu pekerjaan yang ditugaskan. Kesalahan dalam mengetahui maksud dan tujuan, maka akan berakibat pada kegagalan tugas. Oleh karenanya dalam menyelenggarakan suatu kegiatan, yang pertama kali dirumuskan adalah maksud dan tujuan, yang kemudian diperinci dalam bagian sasaran yang ingin dicapai.


        Dalam bidang manajemen,  seorang bawahan harus menimbang apakah tugas yang dibebankan itu dapat dilaksanakan sendiri olehnya ataukah bisa dilakukan oleh orang lain lagi. Jika penerima perintah tidak bisa melaksanakan sendiri, terdapat dua kemungkinan, yaitu:


1.    Tidak bisa melaksanakan dikarenakan tidak mampu.

        Jika keadaan seperti ini yang dialami, tentunya penerima perintah perlu berkoordinasi dan meminta bantuan kepada orang lain dalam pelaksanaan tugas yang diperintahkan kepadanya itu. Meskipun demikian, prajurit penerima perintah seyogyanya mengambil pelajaran dari kelemahan yang ditemuinya itu agar di kemudian hari ia dapat menyelesaikan sendiri tugas-tugas yang diperintahkan langsung kepadanya.


2.    Tidak bisa melaksanakan dikarenakan tidak ada waktu (belum memiliki kesempatan untuk mengerjakan dalam waktu segera).

        Jika keadaan seperti ini yang dialami, tentunya penerima perintah perlu mempertimbangkan kembali apakah perintah tersebut memang harus dilaksanakan oleh dirinya sendiri atau bisa didelegasikan kepada orang lain namun tetap di bawah pengawasan dan pertanggungjawaban penerima perintah awal. Jika perintah tersebut harus dilaksanakan oleh dirinya sendiri maka perlu dipertimbangkan untuk dapat melaksanakannya di lain waktu ketika sempat. Namun jika tugas yang dibebankan tadi harus segera dilaksanakan, maka penerima perintah seyogyanya melaporkan kembali jika terdapat kendala atau permasalahan dalam pelaksanaan tugas itu agar atasan mengerti tentang keadaan yang sedang berlangsung, mempertimbangkannya dan memberi petunjuk lanjutan tentang hal itu. Sedangkan jika tugas tersebut dapat atau boleh juga jika diselesaikan oleh orang lain dengan syarat yang penting tugas terlaksana dengan baik, maka penerima perintah tadi dapat menunjuk seseorang untuk melaksanakannya, dan prajurit penerima perintah melaporkan bahwa yang sedang melaksanakan perintah tersebut adalah orang lain lagi dengan mengemukakan alasan atau pertimbangannya.


        Terdapat beberapa tahapan yang harus dibagi atau dibedakan untuk mempermudah pembagian tugas perorangan. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat dikerjakan dalam menyelenggarakan suatu kegiatan:


1.    Tahap Perencanaan.

a.    mempelajari tuas;

b.    mengumpulkan keterangan;

c.    membuat rencana sementara;

d.    melakukan peninjauan;

e.    memaparkan rencana sementara;

f.    menyempurnakan rencana sementara.


2.    Tahap Persiapan.

a.    mempersiapkan sarana dan prasarana serta alat dan perlengkapan yang akan digunakan;

b.    mengatur kegiatan awal;

c.    mensimulasikan dan melatihkan kegiatan;

d.    mengadakan rapat kegiatan.


3.    Tahap Pelaksanaan.

a.    koordinasi dengan para pihak terkait;

b.    melaksanakan kegiatan yang dimaksud;

c.    meyakinkan kembali apakah kegiatan sudah benar-benar selesai.


4.    Tahap Pengakhiran.

a.    periksa serta kembalikan sarana dan prasarana serta alat dan perlengkapan seoptimal mungkin;

b.    mengevaluasi hasil pelaksanaan tugas;

c.    membuat laporan secara lisan ataupun tertulis kepada pemberi perintah.


        Berdasarkan penjelasan di atas, demi kepastian dan jika perintah tidak jelas atau tidak mendasar sebaiknya jangan dulu dilaksanakan sampai benar-benar yakin suatu perintah itu dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya perhatikan baik-baik apakah suatu perintah itu mendasari kebenaran atau tidak. Pada keadaan tertentu setiap Prajurit TNI mungkin akan dituntut untuk mempertimbangkan dengan cepat dan melaksanakannya dengan sesegera pula, dalam rangka memanfaatkan momentum untuk memperoleh kemenangan atau keberhasilan dalam melaksanakan tugas. Hal inilah yang biasa dikenal dengan istilah "Kirka" atau "Kirka Cepat" (memperkirakan keadaan secara cepat).

Wednesday, September 8, 2021

KAPAN SEBENARNYA PENGHITUNGAN KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN BAGI PRAJURIT TNI? KARENA TIDAK SESUAI FAKTA BISA SAJA TERDAKWA DIVONIS BEBAS DARI SEGALA DAKWAAN

        Prajurit TNI dididik untuk menjadi prajurit yang disiplin. Namun ada juga yang merasa tidak kuat menjalankan kedisiplinan tersebut dan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari kesatuan tempat ia bekerja. Prajurit TNI yang melarikan diri tersebut sebagian ada yang kembali ke kesatuan dan ada juga yang tidak kembali dengan alasan dan keadaan tertentu yang terkadang tidak diketahui oleh komandan satuan ataupun para atasannya di tempat ia bekerja. Kesalahan dalam menentukan kebersalahan prajurit pelanggar dalam hal ketidakhadiran tanpa izin bagi Prajurit TNI karena tidak sesuai fakta bisa saja berakibat terdakwa divonis bebas dari segala dakwaan.


Ketidakhadiran Prajurit TNI tanpa izin ada 2 (dua) macam, yaitu:


1.    Tidak hadir tanpa izin (THTI), adalah ketidakhadiran seorang Prajurit TNI di dalam kesatuan tanpa izin dari atasan yang berwenang, lebih dari 1 (satu) hari dan tidak lebih dari 30 (tigapuluh) hari dalam waktu damai serta tidak lebih dari 4 (empat) hari dalam masa perang.

a.    Ketidakhadiran tanpa izin yang disengaja. Ketidakhadiran jenis ini dilakukan oleh seorang Prajurit TNI yang mana pada saat meninggalkan kesatuan memang sengaja untuk tidak hadir dalam kegiatan dinas di satuan dan tanpa izin dari atasannya yang berwenang untuk itu.

b.    Ketidakhadiran tanpa izin yang tidak disengaja, atau karena salahnya atau kelalaian. Ketidakhadiran jenis ini dilakukan setelah melaksanakan kegiatan lain dan bukan dilakukan dari dalam kesatuan, bisa karena salah menghitung waktu atau ada sebab lain yang awalnya bukan ingin menghindarkan diri dari pelaksanaan tugas kedinasan.


Contoh:

Seseorang melaksanakan dinas cuti selama 10 (sepuluh) hari kerja, namun setelah hari ke-11 (kesebelas) tidak kunjung datang ke kesatuannya dan tanpa ada pemberitahuan atau izin lebih lanjut. Sehingga prajurit yang bersangkutan dikatakan telah melakukan ketidakhadiran (THTI) selama 1 (satu) hari bahkan bisa bertambah jika tidak segera melaporkan ke kesatuannya. Bisa saja ada permasalahan lain atau kendala yang membuat dirinya berada dalam situasi ketidakhadiran bukan karena kehendaknya, atau ia tidak mungkin diharapkan untuk bertindak lain selain menyesuaikan dengan keadaan yang dialaminya itu. 


2.    Desersi atau terkadang dieja "disersi", merupakan ketidakhadiran lanjutan dari THTI yang mana masa ketidakhadiran tersebut sudah melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari.


        THTI dan desersi merupakan perbuatan yang dilarang, diatur, dan diancam dengan pidana pada pasal-pasal tersendiri, sehingga dalam menentukan unsur-unsur perbuatannya harus teliti. Ketika seorang Prajurit TNI telah melakukan THTI maka mulailah dilaporkan tentang status keberadaannya kepada komando atas. Buatlah laporan tertulis secara periodik sesuai petunjuk komando atas, bisa setiap hari, 3, atau 7 hari sekali bahwa prajurit tersebut telah melakukan ketidakhadiran jenis THTI, hingga yang bersangkutan kembali ke kesatuan. Ketika telah melebihi waktu 4 (empat) hari seorang Prajurit TNI melakukan THTI, maka segeralah untuk menyerahkan perkaranya kepada pihak penyidik polisi militer setempat (lihat Pasal 8 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer dan penjelasannya).


        Hukum Pidana dan Hukum Pidana Militer berbeda dengan Hukum Disiplin Militer. Hukum Pidana dan Hukum Pidana Militer adalah sama-sama berlaku bagi Prajurit TNI sebagai hukum pidana. Jika suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Prajurit TNI tidak diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) maka akan diberlakukan aturan yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHPM yang dimaksud saat ini adalah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Menyesusaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No.167) dengan Keadaan Sekarang. Sedangkan KUHP mendasari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Hukum Pidana Militer yang diberlakukan khusus bagi militer mendampingi hukum pidana yang bersifat umum.


        Untuk hal-hal yang bersifat pelanggaran yang dilakukan oleh Prajurit TNI, yang tidak diatur baik dalam KUHPM maupun KUHP, dan tetap akan diterapkan hukuman terhadapnya, akan dicarikan aturannya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). KUHDM yang dimaksud saat ini adalah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Setiap Prajurit TNI yang melakukan pelanggaran dianggap telah melakukan pelanggaran disiplin, dan oleh karenanya patut diberi hukuman, setidak-tidaknya berupa teguran/peringatan, atau diberikan tindakan disiplin.


        Untuk pelanggaran hukum berupa ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai, jika tidak lebih dari 4 (empat) hari masih menjadi tanggung jawab komandan satuan atau atasan yang berhak menghukum (Ankum) untuk menyelesaikannya melalui saluran hukum disiplin. Namun jika sudah lebih dari 4 (empat) hari maka perkaranya harus dilaporkan kepada pejabat penyidik polisi militer. Memang Ankum juga termasuk penyidik, namun untuk perkara pidana, kewenangan penyidikan diserahkan kepada penyidik polisi militer dan oditur militer sebagaimana diatur dalam Pasal 74 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Jika setelah anggotanya melakukan THTI lebih dari 4 (empat) hari tidak dilaporkan kepada penyidik polisi militer, tentunya komandan satuan dapat dituntut karena telah lalai dalam melaksanakan tanggung jawab komando. Ketika seorang Prajurit TNI yang menjadi anggota bawahannya di satuan telah atau sedang melakukan ketidakhadiran tanpa izin, maka jika komandan satuannya tidak memproses dan melaporkan pelanggaran bawahannya kepada pihak yang berwenang untuk menindaklanjuti perkaranya, maka komandan satuan tersebut dapat dianggap melanggar salah satu dari prinsip-prinsip pertanggungjawaban komando di dalam kehidupan militer.


        Ketika sudah melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari ketidakhadiran, maka segeralah dikirim laporan bahwa prajurit yang bersangkutan telah melakukan desersi. Sehingga perbuatannya sudah beralih kategori dari THTI menjadi desersi. Meskipun sebelumnya prajurit pelanggar tersebut sudah pernah dilaporkan untuk perkara THTI, namun ketika sudah memenuhi unsur perkara desersi, harus dilaporkan kembali oleh satuannya kepada penyidik polisi militer sebagai laporan baru.


        THTI merupakan kejahatan meskipun ketidakhadiran tanpa izin itu dilakukan hanya 1 (satu) hari. Hal ini berdasarkan ketentuan tentang ketidakhadiran tanpa izin yang diatur mulai dari Pasal 85 KUHPM, adalah tercakup dalam Bab III mengenai Kejahatan-kejahatan yang Merupakan Suatu Cara bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Pelaksanaan Kewajiban-kewajiban Dinas. Oleh karenanya seorang komandan satuan tidak boleh lengah meskipun THTI hanya dilakukan sehari.


      Pertimbangan lain yang mengharuskan seorang komandan satuan untuk segera melimpahkan perkara anggotanya kepada penyidik polisi militer adalah untuk menghindari kemungkinan terjadinya perkara pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh prajurit tersebut selama melakukan ketidakhadiran tanpa izin. Ketika tidak ada pelanggaran penyerta, perkara THTI tersebut belum dilaporkan, bisa saja pihak lain tidak mengetahui jika personel di suatu satuan itu telah melakukan pelanggaran THTI. Namun jika yang melakukan pelanggaran THTI tersebut juga melakukan pelanggaran yang lain lalu tertangkap, sementara pelanggaran THTI-nya belum dilaporkan, tentunya komandan satuan dapat dipersalahkan dengan tuduhan pembiaran. Lain halnya jika ketidakhadiran anggotanya tersebut belum lebih dari 4 (empat) hari, sudah dilaporkan kepada komando atas namun belum diserahkan kepada penyidik polisi militer dengan maksud akan diselesaikan sendiri di satuan melalui saluran hukum disiplin militer, meskipun anggota tersebut melakukan pelanggaran lain ketika THTI selama tenggang waktu 4 (empat) hari tersebut, komandan satuan belum bisa dipersalahkan dengan tuduhan pembiaran.


        Jika seorang komandan satuan hanya melaporkan kepada penyidik polisi militer tentang keadaan THTI, sementara waktu proses perkaranya sudah berjalan kemudian seumpama disidangkan dengan tuduhan perbuatan THTI, kemudian prajurit pelanggar muncul kembali pada saat di persidangan dan kehadirannya itu setelah melampaui masa 30 hari dari pelariannya, maka hal ini bisa saja menjadi masalah dalam hal penuntutan oleh oditur militer. Jika oditur militer salah mendakwakan perbuatan dari terdakwa, tentunya akan dapat disanggah dengan uraian eksepsi dari penasihat hukum atau terdakwa sendiri. Dan mungkin saja akan mengakibatkan terdakwa divonis bebas dari segala dakwaan. Tentunya hal ini dapat berdampak negatif bagi kehirmatan satuan.


        Berdasarkan penjelasan di atas, seorang komandan satuan tidak boleh menyepelekan mengenai penghitungan masa ketidakhadiran seorang Prajurit TNI tanpa izin baik yang berupa pelanggaran THTI maupun desersi.

Sunday, September 5, 2021

MUNGKIN INI METODE BARU YANG SEBELUMNYA TELAH TERPIKIRKAN BANYAK ORANG NAMUN BELUM DITERAPKAN SECARA OPTIMAL DAN DIHARAPKAN DAPAT MENGURANGI TINGKAT PELANGGARAN PRAJURIT TNI

         Setiap manusia menjalani kehidupannya dengan berbagai cara dan panduannya sendiri-sendiri tergantung kepada siapa ia menggantungkan kehidupannya dan dimana ia berada. Setiap manusia bisa saja menjalani kehidupan yang baik dan yang buruk tergantung pada dirinya sendiri, bertekad untuk menjalani yang mana. Pada dasarnya setiap manusia diwajibkan untuk berperilaku dan menjalankan kehidupannya dengan baik. Namun setiap manusia belum tentu dapat menjalani kehidupannya dengan selalu berbuat baik, bisa saja sewaktu-waktu seseorang menjadi lupa diri dan menjalani kehidupannya dengan sedikit melakukan kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak. Selain faktor internal (yang ada pada diri sendiri) yang menentukan bagaimana ia berperilaku, terdapat juga faktor-faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang, Salah satu yang kental di dalam kehidupan militer yaitu mengenai faktor pembinaan personel (Prajurit TNI).


        Dengan adanya faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi Prajurit TNI, maka faktor eksternal saja belum tentu dapat membentuk perilaku menjadi sesuai yang diharapkan. Dalam hal ini, meskipun pembinaan personel sudah diupayakan sebaik mungkin, namun jika faktor internalnya lebih kuat ke arah keburukan, maka semua itu belum tentu membawa kebaikan bagi personel yang bersangkutan. Artinya, ketika Prajurit TNI sudah dibina secara intensif belum tentu bahwa mereka tidak akan melakukan pelanggaran. Sehingga untuk menentukan tingkat keberhasilan dalam pembinaan personel tidak semerta-merta dilihat dari banyak-sedikitnya pelanggaran anggotanya.


        Demikian pula ketika para Prajurit TNI sudah sering diingatkan oleh komandan satuannya supaya tidak melakukan pelanggaran, baik melalui kegiatan apel, penyuluhan hukum, ataupun penyuluhan pembinaan mental, dan ketika tetap saja ada Prajurit TNI yang melanggar hukum, hal ini bukan berarti usaha-usaha yang disebutkan tadi tidak berdampak baik atau tidak ada gunanya. Kegiatan pengarahan, pemberian nasihat, ataupun penyuluhan tentang hukum dan pembinaan mental hanyalah sebagai upaya untuk memberikan informasi tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh militer di dalam kehidupan sehari-harinya, serta tentang apa yang sebaiknya dikerjakan ketika menghadapi suatu permasalahan, bahkan sedikit menakut-nakuti Prajurit TNI agar tidak melakukan pelanggaran hukum. Namun semua itu kembali tergantung pada diri masing-masing, apakah mau melaksanakan arahan dengan benar atau mengabaikannya dengan berbagai resiko yang harus diambil karenanya. Sekali lagi dalam hal ini, jika terjadi peningkatan jumlah pelanggaran anggota dari bulan sebelumnya, atau tahun sebelumnya, bukan berarti bahwa usaha-usaha yang selama ini dilakukan tidak dilaksanakan dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhi sedikit atau banyaknya tingkat pelanggaran anggota dari masa ke masa.


        Jika kita teliti lebih lanjut, sesungguhnya setiap orang berinteraksi dengan orang lain dalam menjalani kehidupan ini. Sehingga dimungkinkan dalam kegiatan berinteraksi sesama manusia tersebut terdapat ketidakcocokan atau kesalahan yang menimbulkan terjadinya pelanggaran hukum. Bagi Prajurit TNI yang bujangan, yang disebut keluarga tentunya adalah orang tua dan saudara kandungnya atau mungkin keluarga tiri. Namun bagi Prajurit TNI yang sudah menikah, tentunya yang disebut keluarga adalah istri dan anak-anaknya, baik yang tinggal di tempat yang sama maupun yang berbeda tempat tinggal. Dan bagi yang sudah menikah, maka keluarganya itulah yang memiliki hubungan paling mungkin untuk dapat terjadinya permasalahan. Artinya istri atau anak juga dapat menjadi penyebab seorang militer menghadapi permasalahan hukum atau bahkan ia sendiri yang melakukan pelanggaran hukum. Istri dan anak adalah ujian (lihat QS. At-Taghābun: 14-15). Jika Prajurit TNI tidak bisa menyelaraskan hubungan antara ia dengan istri dan anaknya, tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan, baik di antara mereka ataupun antara mereka dengan orang lain.


        Sebagian permasalahan Prajurit TNI berawal dari masalah dalam rumah tangganya. Permasalahan yang timbul di dalam kehidupan berumah tangga dapat menimbulkan salah satu atau kedua pasangan suami-istri melakukan pelanggaran hukum.


1.    Ketika sang istri merupakan sosok pribadi yang ternyata tidak pandai bersyukur, tidak bisa menghargai suaminya, bisa saja kemudian sang suami mencari pelampiasan di luar rumah yang kemudian baik disadari ataupun tidak, mengakibatkan ia terlibat dalam permasalahan hukum, bisa berupa pelanggaran disiplin ataupun pidana. Hal ini bisa juga terjadi sebaliknya, ketika yang menjadi Prajurit TNI adalah sang istri.


2.    Atau ketika seorang istri tidak cukup memiliki pengetahuan hukum, ia tidak dapat secara optimal mengingatkan atau mencegah suaminya berbuat pelanggaran.


3.    Bahkan mungkin saja seorang istri Prajurit TNI tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana perlunya mendapatkan bantuan hukum ketika sedang mengalami suatu permasalahan hukum. Istri prajurit TNI juga perlu memahami bahwa dirinya dapat diberi pendampingan hukum atas perkara yang dialaminya baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga dan orang tuanya.


Atau pada keadaan lain, setidak-tidaknya istri dari prajurit TNI tidak mudah dibohongi oleh suaminya, jika ibu Persit memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang sesuatu hal.


        Berdasarkan penjelasan di atas, sangatlah perlu dilakukan juga pemberian arahan terhadap anggota keluarga prajurit. Di antaranya juga bisa dengan mengikutsertakan istri prajurit TNI dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan hukum dan pembinaan mental yang diadakan oleh kesatuan setempat. Atau bahkan para komandan satuan juga mengikutsertakan istri prajurit TNI dalam kegiatan jam komandan di satuannya didukung dengan peran serta para pembina ibu-ibu itu sendiri.


        Peran serta dan peran aktif istri prajurit TNI dalam mendukung kegiatan prajurit dan kesatuan diharapkan dapat menurunkan tingkat pelanggaran Prajurit TNI.

JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)

JADIKAN AKU SAHABAT SEJATIMU (lirik, syair, dan lagu)
https://youtu.be/2LCczqq8-jA

TINDAK PIDANA KHUSUS DI MILITER TERUTAMA DESERSI DAN KETIDAKHADIRAN TANPA IZIN

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ   Yth. Sahabat Diskusi Hidup,            a lhamd...