Syarat mutlak penerapan Pasal 126 KUHPM
adalah ketika suatu perkara berbicara tentang pelaku yang tidak memiliki jabatan
atau kekuasaan dalam hal tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam perkara yang
dituduhkan. Jika tidak teliti maka pasal tersebut akan cenderung digunakan
untuk semua keadaan baik yang memiliki jabatan yang sesuai atau berhubungan
langsung dengan jabatannya maupun yang tidak. Keadaan seperti itu dapat menjadi
kelemahan dari penuntut dalam hal ini Oditur Militer yang dimanfaatkan oleh
terdakwa ataupun penasihat hukumnya. Oleh karena itu perlu pemahaman yang benar
terhadap Pasal 126 KUHPM supaya aparat penegak hukum tidak keliru menerapkan
hukum.
Untuk lebih jelasnya mari kita urai ketentuan dalam
pasalnya sebagai berikut.
Pasal
126 KUHPM:
Militer, yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggapkan pada
dirinya ada kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun.
1.
”Militer”
Mengenai hal ini sudah jelas diatur dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi:
a.
Prajurit;
b.
Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
c.
Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
d.
Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus
diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. ”yang
dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan”
Unsur ini harus dimaknai ada dua alternatif
kondisi, yaitu ”menyalahgunakan kekuasaan” ataupun ”menganggapkan pada dirinya
ada kekuasaan”.
a.
Pada kondisi pertama bilamana si pelaku adalah orang yang memiliki jabatan,
wewenang, atau kekuasaan tertentu. Namun orang tersebut dalam pelaksanaan
tugasnya menyalahgunakannya. Kata ”menyalahgunakan” disini dapat diartikan
sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan atau tidak sesuai prosedur dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
b.
Pada kondisi kedua, harus dimaknai bahwa orang yang melakukan sebenarnya
tidak memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksud itu. Perhatikan kata-kata
”menganggapkan pada dirinya”, ini juga pasti mengakibatkan dirinya
menyalahgunakan suatu kekuasaan untuk kepentingan pribadi, orang lain, atau
golongan tertentu sementara ia sesungguhnya tidak memiliki jabatan sebagai
penentu, pemutus, ataupun pengambil kebijakan.
Baik tindakan yang berupa ”menyalahgunakan
kekuasaan” maupun hanya ”menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan” adalah
sama-sama bentuk penyalahgunaan (kekuasaan dan/atau jabatan). Kedua tindakan memang
mengisyaratkan ada kesengajaan dalam memanfaatkan kekuasaan dan/atau
jabatannya. Pada dasarnya apabila ia seorang pimpinan militer
maka ia dikategorikan memiliki kekuasaan dan jabatan tertentu, karena
pengertian kekuasaan ini erat kaitannya dengan kewenangan pimpinan. Sehingga ketika
ia menggunakan kekuasaan dan jabatannya tersebut untuk kepentingan yang bertentangan
dengan tugas dan tanggung jawabnya maka ia dapat dikategorikan sebagai telah menyalahgunakan
kekuasaan.
Contoh: seorang
komandan memerintahkan anggotanya untuk melakukan pungutan liar di terminal bus
ataupun di pasar. Terhadap kegiatan tersebut ia merasa bahwa dirinya memiliki
kekuasaan untuk memerintahkan anggotanya. Namun kekuasaannya itu disalahgunakan
untuk perbuatan yang dilarang, memaksa orang lain (orang-orang tertentu, korban)
untuk menyerahkan sejumlah uang sementara tidak ada keharusan menurut hukum
bagi orang itu untuk menyerahkannya kepada para anggota militer yang
diperintahkan oleh pimpinannya tadi.
Sedangkan seorang militer anggota (yang
bukan pimpinan satuan/komandan satuan/Dansat) dikategorikan hanya memiliki
jabatan, karena hanya memiliki tugas dan tanggung jawab jabatan tertentu, tidak
memiliki kewenangan. Dan yang seperti ini akan cenderung mengatasnamakan
pimpinan militer untuk mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti apa yang
diinginkannya. Perhatikan pada kata-kata ”menganggapkan pada dirinya ada
kekuasaan”, bukan semerta-merta disimpulkan bahwa si pelaku merasa dirinya
memiliki kekuasaan. Ia sendiri pada dasarnya mungkin menyadari bahwa sebenarnya
ia tidak memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksud itu tetapi ia sengaja
memanfaatkan ketidaktahuan ataupun ketidakpahaman orang
lain supaya mengikuti apa yang diarahkannya sehingga orang lain itu
menganggap pada diri si pelaku memiliki kekuasaan tertentu yang diharapkan
(oleh korban). Sehingga ketika ia menggunakan jabatannya tersebut untuk
kepentingan yang bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya maka ia dapat
dikategorikan sebagai telah menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan.
Pelajari juga
tentang tugas,
wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
Untuk subyek yang menganggapkan pada
dirinya ada kekuasaan bisa juga memaksa atau membuat orang lain merasa terpaksa
meskipun obyek adalah seorang militer atasan.
Contoh: kalau
anaknya ingin lulus seleksi masuk taruna Akademi TNI diharuskan membayar sejumlah
uang oleh oknum (yang menyelenggarakan seleksi dan petugas tes), maka korban
bisa saja akan merasa terpaksa memenuhi persyaratan yang diajukan oleh subyek
(oknum) sekalipun pelaku tersebut adalah militer bawahan terhadap korban
(atasan). Hal ini terpaksa dilakukan korban karena ia berpikir bahwa jika hal
demikian tidak dipenuhinya maka anaknya tidak akan lulus seleksi.
Berdasarkan uraian di atas mungkin akan
timbul pertanyaan, ”bagaimana jika si pelaku salah menafsirkan kekuasaan
yang ada pada dirinya?” Bagi seorang pimpinan militer yang dianggap menyalahgunakan
kekuasaan yang ada pada dirinya tetapi ia berdalih bahwa ia menganggap apa yang
dilakukannya adalah masih termasuk dalam lapangan kekuasaannya, maka perbuatannya
tersebut masuk ke dalam kategori ”menganggapkan pada dirinya ada
kekuasaan” sebagaimana yang disalahtafsirkannya itu.
Contoh: seorang
pimpinan memerintahkan suatu kerja sama dengan pihak kedua segera dilaksanakan (misal:
pemanfaatan aset tanah dan/atau bangunan) sementara masih ada keharusan untuk
mendapatkan persetujuan dari Komando Atas ataupun instansi yang berwenang
mengatur persetujuannya. Upaya realisasi kerja sama dipercepat tidak sesuai
prosedur yang berlaku (mungkin dengan pertimbangan bahwa jika kerja sama
tersebut tidak segera dilaksanakan dan ia terlanjur pindah satuan ataupun
berganti jabatan maka ia tidak dapat menerima manfaat secara finansial).
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kata
”menyalahgunakan” tidak selalu digunakan dan terjadi pada kasus yang dilakukan
oleh seseorang yang memiliki jabatan tertentu yang dimaksud itu tetapi dapat
diartikan pula sebagai tidak melaksanakan sesuai tugas dan fungsinya untuk
kegiatan yang melanggar hukum.
3. ”memaksa
seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu”
Frasa kalimat di atas terdiri dari 3 bagian yaitu:
a.
Memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu;
b.
Memaksa seseorang untuk tidak melakukan sesuatu; atau
c.
Memaksa seseorang untuk membiarkan sesuatu.
Ketiganya sebagai alternatif terhadap suatu keadaan atau tindakan. Pada unsur
ketiga ini mensyaratkan bahwa tindakan pelaku (dalam keadaan normal/standar) dapat
membuat orang lain merasa terpaksa. Jika situasi dan kondisi tidak normal maka
dapat saja keadaan terpaksa itu tersembunyi pada diri obyek dan jika dilihat
sekilas semuanya dapat terlihat secara sukarela (apalagi jika obyek pandai bersilat
lidah, mengelabui penyidik).
Bagaimana caranya mengetahui keterpaksaan tersebut?
Cara mengidentifikasi keterpaksaan dari obyek/korban:
1.
Ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar hukum, tetapi
karena pengetahuannya menilai bahwa subyek memiliki kewenangan untuk
memerintahkannya sehingga ia bisa saja melakukannya dengan sukarela;
2.
Ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar hukum, tetapi
karena demi kepentingan kedudukan atau karirnya obyek akan melakukannya dengan
sukarela;
3.
Ia mengetahui ataupun mengira bahwa subyek memiliki pengaruh ataupun
kekuasaan untuk menentukan sesuatu hal yang berkaitan dengan kepentingannya
yang jika tidak diikuti maka kepentingan obyek dikhawatirkan tidak dapat tercapai.
Meskipun mungkin awalnya terpaksa tetapi kemudian bisa saja merasa lega;
Berdasarkan uraian di atas dapat kita
lihat bahwa kata-kata ”tidak terpaksa” yang diakui oleh obyek/korban tidak bisa
semerta-merta diartikan demikian tetapi masih perlu diteliti latar belakang dan
alasannya agar dapat terlihat secara pasti apakah sebenarnya ada unsur keterpaksaan
ataukah tidak.
Dan oleh karenanya jika seorang tersangka ataupun terdakwa akan didakwa dan dituntut dengan Pasal 126 KUHPM maka disarankan kepada penyidik ataupun Oditur Militer untuk lebih mendalam mempertimbangkannya dan menerapkan pasal-pasal yang tepat agar terdakwa tidak lolos dari jeratan hukum.