Di dalam alasan atau penyebab
seorang prajurit TNI melakukan pelanggaran THTI dan desersi (juga biasa dieja ”disersi”)
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Oleh karena itu begini caranya merekayasa faktor internal dan faktor
eksternal penyebab seorang prajurit TNI melakukan pelanggaran THTI dan desersi
yang sebaiknya komandan satuan perlu tahu.
Faktor
Internal.
Faktor internal adalah hal-hal
yang mempengaruhi tindakan si pelaku yang murni datang dari diri sendiri. Dalam
hal ini faktor internal yang mempengaruhi seorang prajurit TNI melakukan THTI dan
desersi adalah:
1.
Prajurit tersebut memang sudah tidak ingin lagi
tetap menjadi anggota militer karena tidak sesuai dengan hati nurani;
2.
Memiliki sifat manja atau rapuh;
3.
Tidak suka diatur orang lain;
4.
Sering sakit-sakitan atau memiliki penyakit yang
sulit atau tidak bisa diobati.
Untuk faktor internal yang
pertama, perlu kita sadari bahwa jika menurut hati nurani seseorang merasa
sudah tidak cocok di hati untuk tetap berada di lingkungan kehidupan militer
tentu agak sulit untuk dipaksakan. Meskipun demikian masih bisa diupayakan
untuk diubah. Seorang komandan satuan perlu mengupayakan agar prajurit TNI yang
bersangkutan tertarik dan tetap tertarik, memiliki kebanggaan menjadi seorang
prajurit TNI. Perlu diadakan upaya pembinaan dan kreatifitas komandan satuan
untuk menunjang hal itu.
Jika seorang prajurit memiliki
sifat manja atau bahkan rapuh, sudah menjadi kewajiban dari Atasan atau
seniornya untuk membina. Pembinaan di sini haruslah diartikan positif dengan
cara melakukan bimbingan dan ajaran kearah kedewasaan dan kemandirian prajurit
tersebut, bukan pembinaan yang cenderung bersifat kekerasan. Hal ini harus
ditangani oleh Atasan atau senior yang paham bagaimana memperlakukan dan
mengarahkan orang dengan karakter seperti itu sehingga memiliki kesadaran,
ketegaran, dan menjadi mandiri. Jika salah penanganannya tentu hal ini malah
akan membuat prajurit tersebut menjadi tidak tahan berada dalam kehidupan
militer dan lebih memilih melarikan diri dari kesatuan atau yang lebih dikenal
dengan istilah THTI dan desersi.
Ketika seorang prajurit
memiliki karakter tidak mau diatur oleh orang lain, maka hal ini pun perlu
penanganan yang tidak gegabah. Kita harus memahami terlebih dahulu latar
belakang dari prajurit tersebut dan mencari tahu apa yang menyebabkan seperti
itu, apakah timbul dari sikap keras kepalanya ataukah karena ia merasa pihak
yang mengatur tidak pantas untuk melakukan itu terhadap dirinya. Jika prajurit
tersebut adalah orang yang tergolong baru menjadi prajurit tentunya hal ini
sudah menjadi karakter awal atau sifat bawaan sejak lahir. Namun jika prajurit
tersebut sudah tergolong anggota lama biasanya hal ini disebabkan oleh sikap
egois yang timbul lambat laun karena dirinya merasa sudah menjadi orang yang
jauh lebih mapan dari prajurit yang lain serta merasa sudah banyak memberikan
kontribusi kepada satuan bahkan mungkin kepada Atasannya. Untuk model yang
terakhir ini jika yang bersangkutan melakukan Desersi tentu disebabkan yang
bersangkutan sudah merasa tidak memerlukan lagi bergantung pada gaji di militer
dan lebih memilih konsentrasi ke mata pencahariannya yang baru yang sudah
dirintis selama menjadi prajurit TNI.
Untuk mengatasi prajurit baru
yang memiliki karakter dasar tidak mau diatur oleh orang lain, perlu penanganan
yang cukup serius karena hakekatnya seorang prajurit itu adalah orang yang
dapat diatur dan diarahkan sesuai kepentingan satuan atau militer. Orang yang
tidak mau diatur itu ibarat batu. Ia akan berubah bentuk bisa dengan
diperlakukan keras atau halus tapi mengarahkan. Ibarat batu, jika diubah dengan
perlakuan keras seperti dipukul, dibanting, dilempar, atau ditindih/dilindas
tentu dapat mengakibatkan kehancuran terhadap batu tersebut. Namun coba kita
lihat air yang menetes terus-menerus pada suatu batu, lama-kelamaan batu
tersebut berubah bentuk mengikuti tekanan air. Dari filsafat ini kita bisa
mengambil pelajaran bahwa jika metode yang kita terapkan untuk mempengaruhi
jiwa seseorang sudah tepat tentu kemungkinan besar akan mendapatkan hasil yang
baik.
Ketika faktor internal yang
kedua dan ketiga kita kaitkan dengan sistem perekrutan prajurit TNI, tentunya
hal ini berkaitan erat dengan keadaan psikologi dan kesehatan jiwa calon
prajurit TNI. Ketika dilakukan observasi/penelitian atau pengetesan terhadap
calon prajurit TNI, Psikologi dan kesehatan jiwa memiliki standarisasi yang
jelas mengenai persyaratan psikologi dan kesehatan jiwa yang bagaimana yang
dikategorikan memenuhi persyaratan untuk menjadi prajurit TNI. Oleh karena itu
standar yang dimiliki psikologi dan kesehatan jiwa harus dilaksanakan dengan
konsisten, artinya ketika hasil yang diperoleh ternyata tidak memenuhi syarat
maka tidak boleh dipaksakan calon tersebut diterima meskipun dengan alasan
putera daerah, orang asli daerah, warga lokal, ataupun keluarga pejabat. Lebih
baik merekrut jumlah prajurit yang baru yang sedikit dan berkualitas daripada
merekrut jumlah prajurit TNI yang banyak namun minim kualitasnya.
Untuk faktor internal yang
keempat, memungkinkan seorang prajurit TNI melakukan THTI dan desersi. Ketika
yang bersangkutan mengidap penyakit yang sulit atau tidak bisa disembuhkan,
biasanya akan merasa malu dan lebih memilih menjauh dari komunitas sosial
terutama lingkungan TNI yang identik dengan postur prajurit ideal dari sisi
fisik/lahiriah. Timbulkan kepercayaan
diri terhadap para anggota yang ada di kesatuannya. Tanamkan kepercayaan dan keyakinan bahwa sesuatu
hal akan terasa ringan jika ditanggung bersama-sama.
Menjadi seorang prajurit TNI
haruslah merupakan keinginan sendiri bukan sekedar keinginan orang tua ataupun
paksaan dari pihak lain. Sebaiknya seorang calon prajurit haruslah mengetahui
bahwa ketika menjadi seorang prajurit TNI akan mengemban tugas atau beban yang
tidak ringan. Oleh karena seorang prajurit TNI harus memiliki keteguhan hati
dan fisik yang prima untuk bekerja dengan ikhlas, sepenuh hati, dan penuh rasa
tanggung jawab kepada bangsa dan negara maka seorang calon prajurit TNI harus
mempersiapkan diri dari segi fisik dan mental, dalam hal ini jasmani dan rohani
harus dalam kondisi sehat.
Faktor
Eksternal.
Faktor eksternal adalah hal-hal
yang mempengaruhi tindakan si pelaku yang datang dari luar diri pelaku yang bersifat
memaksa baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap diri pelaku untuk
melakukan THTI dan desersi. Dalam
hal ini faktor eksternal yang mempengaruhi seorang prajurit TNI melakukan THTI
dan desersi adalah:
1.
Mendapatkan tekanan dari Atasan atau senior;
2.
Ada tuntutan-tuntutan dari pihak lain terhadap
dirinya;
3.
Terjebak persoalan lain yang diluar kehendak atau
kemampuannya;
4.
Sistem perekrutan masih berpatokan kepada kuota
penerimaan.
Faktor eksternal yang pertama
memang sering menjadi penyebab prajurit TNI melakukan THTI dan desersi terutama
bila yang bersangkutan merasa terkejut dengan perbedaan kehidupan yang selama
ini ia jalani sebagai orang sipil, karena merasa tidak tahan akhirnya yang
bersangkutan lebih memilih pergi dari satuan. Oleh karenanya komandan satuan
perlu mengambil langkah preventif dengan memberikan arahan kepada prajurit TNI senior
tentang bagaimana cara yang baik dan benar dalam melakukan pembinaan terhadap
para juniornya di kesatuan.
Yang termasuk dalam kategori
faktor eksternal yang kedua di antaranya adalah mempunyai hutang yang banyak
dan sering ditagih-tagih oleh orang lain supaya ia segera membayar atau
melunasinya, dituntut untuk menikahi seorang wanita sementara ia sudah menikah
atau beberapa orang wanita minta dinikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas apa yang sudah diperbuat prajurit TNI tersebut, dan ada pula yang berupa
tuntutan atau ancaman pemeriksaan atas dugaan tindak pidana terhadap dirinya
dari kesatuan sehingga untuk menghindari hal tersebut ia lebih memilih
melarikan diri dari dinas militer.
Faktor eksternal ketiga juga
bisa terjadi meskipun kemungkinannya sangat kecil. Faktor eksternal ketiga ini
antara lain adalah berada di tempat lain dalam keadaan sakit namun tidak berani
melapor sehingga baru bisa kembali ke satuan setelah kondisi sembuh, atau
karena masih menghadapi permasalahan yang baru muncul ketika yang bersangkutan
pulang kampung dan tempatnya sangat jauh dari satuan sehingga tidak bisa
secepatnya kembali namun tidak berani laporan, atau bisa juga kendala lain
seperti sarana komunikasi yang terganggu sehingga prajurit tersebut tidak bisa
melaporkan perkembangannya ke satuan. Bahkan terjadi juga prajurit yang telah
melakukan THTI dan desersi kemudian kembali ke satuan namun tidak diterima oleh
dansatnya dan diusir dari satuan, sehingga karena disebabkan ketidaktahuannya
juga terpaksa yang bersangkutan melanjutkan ketidakhadirannya itu.
Yang tidak kalah pentingnya
adalah faktor eksternal keempat. Seyogyanya perihal perekrutan adalah garda
paling depan dalam memilih orang-orang yang pantas menjadi prajurit TNI. Pada
saat perekrutan calon prajurit TNI sudah dilaksanakan dengan ketat, penguji
tidak mengetahui nama/identitas calon karena menggunakan barcode, kemudian pada saat seleksi diawasi oleh pengawas dari suatu
kesatuan yang berkompeten untuk itu dan menyandang pangkat yang cukup tinggi.
Dengan kata lain para penilai/penguji sudah berusaha sebaik mungkin
melaksanakan seleksi dan menggunakan alat tes/uji terhadap calon prajurit TNI.
Calon prajurit TNI yang mendapatkan hasil lulus sudah sesuai dengan pelaksanaan
tes. Namun apabila ternyata ada kebijakan bahwa yang diterima menjadi prajurit
pertahun harus memenuhi kuota tertentu sehingga nilai calon prajurit TNI yang
memiliki nilai di bawah nilai lulus pun terpaksa diluluskan untuk memenuhi
kuota tersebut, maka hal itu sudah selayaknya ditinjau ulang. Kondisi seperti
ini dapat juga kita cermati pada suatu keadaan yang mana ada kecenderungan
untuk lebih memprioritaskan putera daerah, orang asli daerah, warga lokal,
ataupun keluarga pejabat untuk diterima menjadi prajurit TNI meskipun sebagian
dari mereka belum termasuk kategori “memenuhi syarat”. Bila terdapat
karakter-karakter yang sebetulnya tidak cocok dengan militer namun tetap
diijinkan masuk menjadi prajurit baru tentu akan menimbulkan permasalahan di
kemudian hari ketika prajurit tersebut berdinas di kesatuan. Keinginan merekrut
prajurit baru yang kurang berkualitas akan memberi dampak kerugian terhadap
kinerja kesatuan.
Calon prajurit TNI yang
dilantik menjadi prajurit TNIalah personel yang benar-benar telah teruji dengan
instrumen-instrumen pengujian dalam rekrutmen prajurit. Apabila pada suatu masa
perekrutan ternyata tidak dapat memenuhi kuota kebutuhan personel prajurit TNI
maka perlu diselenggarakan beberapa kali masa rekrutmen calon prajurit TNI.
Memang hal ini akan berdampak pada penambahan biaya penyelenggaraan rekrutmen.
Namun untuk memperoleh calon-calon prajurit TNI yang siap dan dapat disiapkan
perlu kompensasi yang cukup dari sisi pembiayaan.
Meskipun
demikian, perihal perekrutan prajurit TNI belum bisa dijadikan sebagai faktor
penentu yang berpengaruh terhadap terjadinya pelanggaran THTI dan desersi oleh
prajurit TNI. Pada saat tes, pemeriksaan baik kesehatan jiwa maupun psikologi
yang dilakukan terhadap calon prajurit TNI adalah tanpa tekanan baik fisik
maupun psikis baik oleh penguji atau dari pihak manapun. Sehingga hasil tes
kesehatan jiwa dan psikologi yang mencapai nilai lulus dianggap telah memenuhi
kriteria penerimaan calon prajurit TNI. Sedangkan setelah menjadi prajurit TNI,
semuanya akan ditempatkan di satuan-satuan kerja TNI yang dalam dinamika di
lapangan akan ditemui berbagai persoalan baik yang sudah diperkirakan
sebelumnya maupun yang belum tergantung penempatan prajurit itu sendiri.
Keadaan prajurit TNI yang bersangkutan di satuan tempatnya bekerja dan
pembinaan terhadapnyalah yang lebih mungkin merupakan faktor yang paling
menentukan seorang prajurit TNI melakukan THTI dan desersi atau tidak.