Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang mana seseorang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran yang mengakibatkan kerugian pada diri orang lain ataupun dirinya sendiri baik yang berupa jasmani, rohani, ataupun barang yang diatur sedemikian rupa di dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana. Di antara peristiwa di dalam kehidupan ini ada yang mengakibatkan kerugian seperti yang dimaksud di atas dan ada juga suatu peristiwa yang di luar kekuasaan manusia, atau dengan kata lain tidak ada unsur kesalahan ataupun bersifat melawan hukum dari seseorang terhadap orang lain. Misalnya tidak ada kesengajaan seseorang dalam gradasi yang paling rendah sekalipun untuk merugikan orang lain. Keadaan yang berada di luar kemampuan manusia untuk mengendalikannya itu biasa kita sebut "musibah". Begini cara membedakan antara peristiwa pidana dengan musibah supaya tidak ada yang merasa dirugikan dalam rangka menciptakan keadilan bagi berbagai pihak.
Keadaan yang rentan
disalahartikan mengenai apakah suatu peristiwa dikatakan sebagai peristiwa
pidana atau musibah adalah mengenai kecelakaan lalu lintas. Ketika terjadi
suatu kecelakaan lalu lintas ada kecenderungan siapa yang masih hidup atau yang
tidak terluka akan menjadi tersangka. Keadaan seperti itu akan dituduhkan
dengan pernyataan, ”karena kelalaiannya sehingga menimbulkan orang lain
luka-luka atau meninggal dunia”. Orang yang mengendarai mobil dibandingkan
dengan yang mengendarai motor, ada kecenderungan yang mengendarai mobil lah
yang akan menjadi tersangka jika yang mengendarai motor atau yang diboncengnya
mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Hal yang perlu kita pedomani
juga adalah bahwa belum tentu semua peristiwa yang terjadi di dalam
kehidupan ini adalah kesalahan manusia. Sehingga mengenai hal ini haruslah
diperhatikan dan dipelajari lebih teliti agar adil bagi berbagai pihak.
Untuk lebih jelasnya mari kita
contohkan salah satu pasal di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu pasal 310 mulai ayat (1) hingga ayat (4).
Di dalam ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan tersebut mensyaratkan adanya unsur kelalaian dari si
pelaku baru dapat dipersalahkan atau dipidana. Lalu bagaimana jika tidak ada
unsur kelalaian seperti yang dimaksud peraturan perundang-undangan? Untuk lebih
jelasnya mari kita bahas lebih mendalam mengenai ”kelalaian” ini.
Kelalaian berasal dari kata
dasar ”lalai”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lalai artinya kurang
hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah;
tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu, terlupa. Jika dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, maka perbuatan tersangka haruslah dianggap kurang hati-hati,
tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah, tidak ingat
karena asyik melakukan sesuatu, atau terlupa akan sesuatu ketika dihadapkan
pada keadaan yang akan dan sedang berlangsung pada saat itu.
Contoh-contoh kasus kelalaian
dalam kaitannya menggunakan kendaraan baik yang beroda dua ataupun beroda empat
atau lebih yang menimbulkan kecelakaan, dapat dikarenakan si pengendara (khusus
motor) tidak menggunakan helm atau si penumpangnya dibiarkan tidak menggunakan
helm; si pengendara sambil berbicara menggunakan telpon; si pengendara sambil
menonton atau mengoperasionalkan tape atau video di mobil; si pengendara atau
yang berada didekatnya saling bertengkar; si pengendara menerobos lampu lalu
lintas yang masih/sudah berwarna merah; si pengendara mendahului/menyalip
kendaraan di depannya padahal sudah ada marka jalan tidak terputus-putus di
tempat ia menyalip itu; si pengendara ketika hendak menyalip kendaraan lain
tanpa memberi tanda klakson atau lampu sign kanan/kiri; berkendaraan melaju berlawanan
arah dari yang seharusnya; si pengendara melaju dengan kecepatan di bawah batas
minimal ataupun di atas batas maksimal pada suatu jalan tertentu; si pengendara
memasuki suatu areal tidak melalui jalan masuk yang semestinya (misal,
seharusnya dari pintu masuk tetapi dari pintu keluar); dan banyak contoh
lainnya.
Bagaimana jika kelalaian-kelalaian seperti
yang dimaksud itu tidak ada sama sekali?
Di
dalam kehidupan di dunia ini sangat banyak kemungkinan peristiwa yang terjadi,
dengan berbagai bentuk dan caranya. Ada juga kalanya ketika terjadi kecelakaan
ternyata memang tidak ada kelalaian sama sekali namun kecelakaan tidak dapat
dihindarkan. Pengertian ”kelalaian” pada kenyataannya haruslah
ditentukan atau dibandingkan berdasarkan penalaran jika suatu keadaan yang
sedang dinilai diterapkan terhadap setiap orang apakah ada yang bisa
menghindarinya? Jika tidak ada seorangpun yang sekiranya bisa menghindari
keadaan yang dimaksud, berarti kejadian kecelakaan tersebut memang merupakan
suatu musibah dan tidak perlu ada yang disalahkan. Keadaan seperti itu perlu
juga diterapkan kepada para penegak hukum (petugas penyidik, oditur militer,
dan hakim militer) apakah jika berada pada posisi tersangka bisa berbuat lain
atau menghindari suatu kecelakaan yang dimaksud. Dan jika sama-sama tidak bisa
berbuat lain, maka tidak akan ada yang dituntut atau dimintai
pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Hal yang demikianlah yang
namanya ”musibah”. Namun berdasarkan etika yang layak biasanya ada
biaya kerahiman terhadap orang atau keluarga yang tertimpa musibah lebih parah
dari pihak yang mengalami kecelakaan lebih ringan. Terutama bagi kaum muslim,
pihak yang telah mengakibatkan orang lain meninggal dunia, jika tidak
disengaja, diwajibkan memayar diyat sesuai ketentuan syariah Islam.
Perhatikan
contoh-contoh berikut ini:
Si A adalah pengendara mobil atau motor sedang melaju di jalan raya
dengan kecepatan normal, semua hal sudah ada pada dirinya, tanpa kelalaian,
tanpa kesalahan sedikitpun. Namun tiba-tiba ada motor keluar dari gang yang
melaju tidak terkontrol (mungkin karena memang ada kekurangan di pihak orang
yang ini, si B), karena terlalu mendadak dan jarak sangat dekat sehingga si
pengendara yang sedang melaju normal tadi sudah tidak bisa atau tidak mungkin
lagi menghentikan kendaraannya dan akhirnya menabrak motor yang tiba-tiba
keluar dari gang tadi. Tentunya si A tidak dapat dipersalahkan karena
kendaraannya telah menabrak motor si B, karena jika hal ini diterapkan terhadap
orang lain maka orang lain pun tidak akan dapat berbuat lain selain terjadi
tabrakan. Kejadian kecelakaan ini adalah musibah bagi si A dan tidak perlu
dituntut baik secara pidana maupun perdata (ganti kerugian) namun kejadian
tersebut adalah akibat kelalaian atau kesalahan si B. Meskipun demikian tetap
saja jika si B mengalami luka yang parah atau bahkan meninggal dunia maka si A
secara moral akan tergerak untuk memberikan uang kerahiman ataupun membayar diyat.
Contoh lain, adalah seorang pengendara mobil atau motor sedang melaju di
jalan raya (tanpa kesalahan atau kelalaian apapun) yang posisinya berada di
tengah-tengah antara kendaraan di belakang dan di depannya. Kemudian kendaraan yang
berada di belakangnya menabrak kendaraannya itu, kemudian karena tabrakan
tersebut kendaraannya menabrak kendaraan lain yang berada di depannya. Jika
jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depannya sudah sesuai perimbangan
antara batas kecepatan dengan jarak minimal maupun maksimal maka ia tidak dapat
dipersalahkan karena kelalaian meskipun kendaraannya menabrak kendaraan di
depannya. Oleh karenanya ia tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara
pidana maupun perdata (ganti kerugian).
Dari kedua contoh di atas dapat kita lihat bahwa tidak setiap saat pihak
yang terluka atau dianggap sebagai korban adalah pihak yang benar dan orang
yang menimbulkan orang lain menjadi korban adalah pihak yang salah. Dalam hal
ini pihak korban yang memiliki kelalaian atau kesalahan, sedangkan bagi pihak
yang menimbulkan korban hal itu justru merupakan musibah. Ada hal-hal yang
sepertinya tidak mungkin terjadi kecelakaan lalu lintas jika tidak ada
kelalaian dari si tersangka (sebagai yang menimbulkan korban di pihak lain),
padahal pada kenyataannya bisa saja sebenarnya “korban adalah pelaku,
dan yang diduga sebagai pelaku adalah korban”.
Oleh karenanya dalam melakukan penilaian tentang kebersalahan seorang prajurit
TNI harus betul-betul diteliti secermat mungkin.