Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Friday, July 29, 2022

BEGINI CARA MEMBEDAKAN ANTARA PERISTIWA PIDANA DENGAN MUSIBAH SUPAYA TIDAK ADA YANG MERASA DIRUGIKAN DALAM RANGKA MENCIPTAKAN KEADILAN BAGI BERBAGAI PIHAK

Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang mana seseorang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran yang mengakibatkan kerugian pada diri orang lain ataupun dirinya sendiri baik yang berupa jasmani, rohani, ataupun barang yang diatur sedemikian rupa di dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana. Di antara peristiwa di dalam kehidupan ini ada yang mengakibatkan kerugian seperti yang dimaksud di atas dan ada juga suatu peristiwa yang di luar kekuasaan manusia, atau dengan kata lain tidak ada unsur kesalahan ataupun bersifat melawan hukum dari seseorang terhadap orang lain. Misalnya tidak ada kesengajaan seseorang dalam gradasi yang paling rendah sekalipun untuk merugikan orang lain. Keadaan yang berada di luar kemampuan manusia untuk mengendalikannya itu biasa kita sebut "musibah". Begini cara membedakan antara peristiwa pidana dengan musibah supaya tidak ada yang merasa dirugikan dalam rangka menciptakan keadilan bagi berbagai pihak. 


Keadaan yang rentan disalahartikan mengenai apakah suatu peristiwa dikatakan sebagai peristiwa pidana atau musibah adalah mengenai kecelakaan lalu lintas. Ketika terjadi suatu kecelakaan lalu lintas ada kecenderungan siapa yang masih hidup atau yang tidak terluka akan menjadi tersangka. Keadaan seperti itu akan dituduhkan dengan pernyataan, ”karena kelalaiannya sehingga menimbulkan orang lain luka-luka atau meninggal dunia”. Orang yang mengendarai mobil dibandingkan dengan yang mengendarai motor, ada kecenderungan yang mengendarai mobil lah yang akan menjadi tersangka jika yang mengendarai motor atau yang diboncengnya mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Hal yang perlu kita pedomani juga adalah bahwa belum tentu semua peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah kesalahan manusia. Sehingga mengenai hal ini haruslah diperhatikan dan dipelajari lebih teliti agar adil bagi berbagai pihak.

 

Untuk lebih jelasnya mari kita contohkan salah satu pasal di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu pasal 310 mulai ayat (1) hingga ayat (4). Di dalam ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut mensyaratkan adanya unsur kelalaian dari si pelaku baru dapat dipersalahkan atau dipidana. Lalu bagaimana jika tidak ada unsur kelalaian seperti yang dimaksud peraturan perundang-undangan? Untuk lebih jelasnya mari kita bahas lebih mendalam mengenai ”kelalaian” ini.

 

Kelalaian berasal dari kata dasar ”lalai”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lalai artinya kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah; tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu, terlupa. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 310 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka perbuatan tersangka haruslah dianggap kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah, tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu, atau terlupa akan sesuatu ketika dihadapkan pada keadaan yang akan dan sedang berlangsung pada saat itu.

 

Contoh-contoh kasus kelalaian dalam kaitannya menggunakan kendaraan baik yang beroda dua ataupun beroda empat atau lebih yang menimbulkan kecelakaan, dapat dikarenakan si pengendara (khusus motor) tidak menggunakan helm atau si penumpangnya dibiarkan tidak menggunakan helm; si pengendara sambil berbicara menggunakan telpon; si pengendara sambil menonton atau mengoperasionalkan tape atau video di mobil; si pengendara atau yang berada didekatnya saling bertengkar; si pengendara menerobos lampu lalu lintas yang masih/sudah berwarna merah; si pengendara mendahului/menyalip kendaraan di depannya padahal sudah ada marka jalan tidak terputus-putus di tempat ia menyalip itu; si pengendara ketika hendak menyalip kendaraan lain tanpa memberi tanda klakson atau lampu sign kanan/kiri; berkendaraan melaju berlawanan arah dari yang seharusnya; si pengendara melaju dengan kecepatan di bawah batas minimal ataupun di atas batas maksimal pada suatu jalan tertentu; si pengendara memasuki suatu areal tidak melalui jalan masuk yang semestinya (misal, seharusnya dari pintu masuk tetapi dari pintu keluar); dan banyak contoh lainnya.

 

Bagaimana jika kelalaian-kelalaian seperti yang dimaksud itu tidak ada sama sekali?

 

            Di dalam kehidupan di dunia ini sangat banyak kemungkinan peristiwa yang terjadi, dengan berbagai bentuk dan caranya. Ada juga kalanya ketika terjadi kecelakaan ternyata memang tidak ada kelalaian sama sekali namun kecelakaan tidak dapat dihindarkan. Pengertian ”kelalaian” pada kenyataannya haruslah ditentukan atau dibandingkan berdasarkan penalaran jika suatu keadaan yang sedang dinilai diterapkan terhadap setiap orang apakah ada yang bisa menghindarinya? Jika tidak ada seorangpun yang sekiranya bisa menghindari keadaan yang dimaksud, berarti kejadian kecelakaan tersebut memang merupakan suatu musibah dan tidak perlu ada yang disalahkan. Keadaan seperti itu perlu juga diterapkan kepada para penegak hukum (petugas penyidik, oditur militer, dan hakim militer) apakah jika berada pada posisi tersangka bisa berbuat lain atau menghindari suatu kecelakaan yang dimaksud. Dan jika sama-sama tidak bisa berbuat lain, maka tidak akan ada yang dituntut atau dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Hal yang demikianlah yang namanya ”musibah”. Namun berdasarkan etika yang layak biasanya ada biaya kerahiman terhadap orang atau keluarga yang tertimpa musibah lebih parah dari pihak yang mengalami kecelakaan lebih ringan. Terutama bagi kaum muslim, pihak yang telah mengakibatkan orang lain meninggal dunia, jika tidak disengaja, diwajibkan memayar diyat sesuai ketentuan syariah Islam.

 

Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

 

Si A adalah pengendara mobil atau motor sedang melaju di jalan raya dengan kecepatan normal, semua hal sudah ada pada dirinya, tanpa kelalaian, tanpa kesalahan sedikitpun. Namun tiba-tiba ada motor keluar dari gang yang melaju tidak terkontrol (mungkin karena memang ada kekurangan di pihak orang yang ini, si B), karena terlalu mendadak dan jarak sangat dekat sehingga si pengendara yang sedang melaju normal tadi sudah tidak bisa atau tidak mungkin lagi menghentikan kendaraannya dan akhirnya menabrak motor yang tiba-tiba keluar dari gang tadi. Tentunya si A tidak dapat dipersalahkan karena kendaraannya telah menabrak motor si B, karena jika hal ini diterapkan terhadap orang lain maka orang lain pun tidak akan dapat berbuat lain selain terjadi tabrakan. Kejadian kecelakaan ini adalah musibah bagi si A dan tidak perlu dituntut baik secara pidana maupun perdata (ganti kerugian) namun kejadian tersebut adalah akibat kelalaian atau kesalahan si B. Meskipun demikian tetap saja jika si B mengalami luka yang parah atau bahkan meninggal dunia maka si A secara moral akan tergerak untuk memberikan uang kerahiman ataupun membayar diyat.

 

Contoh lain, adalah seorang pengendara mobil atau motor sedang melaju di jalan raya (tanpa kesalahan atau kelalaian apapun) yang posisinya berada di tengah-tengah antara kendaraan di belakang dan di depannya. Kemudian kendaraan yang berada di belakangnya menabrak kendaraannya itu, kemudian karena tabrakan tersebut kendaraannya menabrak kendaraan lain yang berada di depannya. Jika jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depannya sudah sesuai perimbangan antara batas kecepatan dengan jarak minimal maupun maksimal maka ia tidak dapat dipersalahkan karena kelalaian meskipun kendaraannya menabrak kendaraan di depannya. Oleh karenanya ia tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara pidana maupun perdata (ganti kerugian).

 

Dari kedua contoh di atas dapat kita lihat bahwa tidak setiap saat pihak yang terluka atau dianggap sebagai korban adalah pihak yang benar dan orang yang menimbulkan orang lain menjadi korban adalah pihak yang salah. Dalam hal ini pihak korban yang memiliki kelalaian atau kesalahan, sedangkan bagi pihak yang menimbulkan korban hal itu justru merupakan musibah. Ada hal-hal yang sepertinya tidak mungkin terjadi kecelakaan lalu lintas jika tidak ada kelalaian dari si tersangka (sebagai yang menimbulkan korban di pihak lain), padahal pada kenyataannya bisa saja sebenarnya “korban adalah pelaku, dan yang diduga sebagai pelaku adalah korban”.

 

Oleh karenanya dalam melakukan penilaian tentang kebersalahan seorang prajurit TNI harus betul-betul diteliti secermat mungkin.

 

Berprinsiplah mencari fakta/kebenaran bukan prinsip mencari pelaku, maka kebahagiaan akan menjagamu.

Monday, July 25, 2022

PRAJURIT TNI YANG BERBEDA AGAMA DENGAN PASANGANNYA PADA SAAT DALAM PERKAWINAN MERUPAKAN SALAH SATU ALASAN UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN IZIN CERAI SECARA KEDINASAN DI LINGKUNGAN KEHIDUPAN MILITER

        Pada pembahasan yang lalu telah kita ketahui mengenai alasan-alasan dan pertimbangan terjadinya perceraian. Mengenai perkawinan termasuk di dalamnya juga tentang perceraian telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahn 1974 tentang Perkawinan tidak dijelaskan tentang bagaimana jika pasangan suami-istri berbeda agama setelah menikah. Prajurit TNI yang berbeda agama dengan pasangannya pada saat dalam perkawinan merupakan salah satu alasan untuk mengajukan permohonan izin cerai secara kedinasan di lingkungan kehidupan militer.


           Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya negara pun mengakui bahkan mendasarkan suatu perkawinan tergantung aturan agama dan kepercayaannya orang-orang yang melakukan perkawinan itu sendiri. Jika suatu pasangan yang melakukan perkawinan itu beragama Islam, tentu akan berbeda dengan yang bukan beragama Islam. Atau jika suatu pasangan itu beragama Katholik, tentu akan berbeda dengan yang bukan beragama Katholik, dan seterusnya. Mengenai hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (7) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: ”Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.

 

Sebelum kita bahas lebih lanjut tentang hal ini, maka agar pemahaman kita tidak keliru, sebaiknya kita perhatikan lagi perbedaan antara pengertian pernikahan dengan perkawinan.

 

 

Bagaimana jika satu pihak adalah muslim (beragama Islam) dan pihak lainnya adalah non-muslim?

 

   Suatu perkawinan dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya itu. Suatu pasangan adalah satu kesatuan. Jika salah satunya dikatakan melakukan perkawinan maka pihak yang lainnya juga melakukan perkawinan, karena perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan itu adalah perbuatan saling melakukan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika salah satu pihak tidak melakukan perkawinan terhadap pihak lainnya maka pihak lainnya itu tidak dapat dikatakan telah melakukan perkawinan dengan pihak tersebut.

 

            Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas telah nyata bahwa perkawinan dilakukan berdasarkan satu agama dan kepercayaannya dari pasangan itu sendiri. Terutama menurut ajaran agama Islam bahwa jika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berada dalam perkawinan kemudian mereka menjadi berbeda agama (pihak yang satu muslim sedangkan pihak lainnya non-muslim) maka seketika itu juga secara otomatis pasangan tersebut sudah bukan sebagai suami dan istri lagi. Perhatikan QS.Al-Baqarah: 221, bahwa Allāh SWT melarang perkawinan beda agama, dan QS. Al-Mumtahanah: 10, bahwa jika sudah berbeda agama maka hubungannya menjadi haram. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan perkawinan beda agama dengan Nomor 4/MUNAS-VII/MUI/8/2005. Adapun surat-surat yang timbul karena adanya perceraian, termasuk akta cerai dari pengadilan, hanyalah bukti formal yang merupakan kelengkapan administrasi.

 

       Terutama bagi yang muslim, mengenai perkawinan sudah sangat jelas diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang perintah penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil loka karya ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 s.d. 5 Februari 1988 yang terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

 

     Berdasarkan Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita bila wanita yang bersangkutan masih terikat dalam perkawinan dengan pria lain, yang masih berada pada masa iddah dengan pria lain, dan/atau yang tidak beragama Islam. Dalam Pasal 44 KHI juga terdapat larangan wanita yang beragama Islam melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam. Bahkan di dalam KHI Bab X tentang Pencegahan Perkawinan dalam Pasal 61, dikatakan bahwa tidak sekufu karena perbedaan agama menjadi alasan untuk mencegah perkawinan.

 

 

Bagaimana jika kedua pihak adalah non-muslim (bukan yang beragama Islam) namun berlainan pula agama dan keyakinannya?

 

            Yang perlu kita ketahui, mengerti, dan pahami adalah bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bukan hanya mengatur warga negara Indonesia yang beragama Islam melainkan juga yang beragama Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Aturan lebih lanjut mengenai kehidupan perkawinan pada kelima agama yang disebutkan terakhir itu dikembalikan kepada ajaran agama dan kepercayaannya itu.

 

     Pada intinya, untuk mencapai makna perkawinan yang sebenarnya, tidak mungkin akan terjamin jika jalannya (agama dan kepercayaannya itu) berbeda. Penulis tegaskan lagi bahwa suatu perkawinan itu adalah menyatukan dua orang (laki-laki dan perempuan) dalam satu keyakinan agama dan menjalankan kehidupan berumah tangganya itu berdasarkan ajaran agama dan kepercayaannya yang sama.

Tidak boleh terjadi dalam satu rumah tangga menjalankan kehidupan berdasarkan lebih dari satu agama dan kepercayaannya itu. Jika terjadi maka perkawinan tersebut tidak sah. Dan khusus mengenai perkawinan sesungguhnya lebih mengutamakan pada fakta daripada formalitas yang berupa berkas administrasi.

 

Ingat bahwa surat atau buku nikah bukan merupakan syarat sahnya perkawinan.


Oleh karena itu, agar pemahaman kita tidak keliru, sebaiknya kita perhatikan lagi perbedaan antara pengertian pernikahan dengan perkawinan.

Wednesday, July 13, 2022

DUA HAL YANG BERTOLAK BELAKANG NAMUN SAMA-SAMA DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI KESEJAHTERAAN BAGI PRAJURIT TNI YAITU PERKAWINAN DAN PERCERAIAN, BERIKUT INI HAL-HAL YANG DAPAT MENJADI ALASAN ATAU PERTIMBANGAN DALAM PROSES PERCERAIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pada pembahasan yang lalu kita telah berbicara tentang bagaimana prosedur pengurusan perceraian. Pada artikel ini kita akan membahas tentang alasan perceraian. Jika kita perhatikan sebenarnya ada dua hal yang bertolak belakang namun sama-sama dapat dijadikan sebagai kesejahteraan bagi prajurit TNI yaitu perkawinan dan perceraian, berikut ini hal-hal yang dapat menjadi alasan atau pertimbangan dalam proses perceraian menurut peraturan undang-undangan.

 

        Adapun alasan yang dapat dipertimbangkan untuk diprosesnya pengajuan perceraian (vide: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) adalah sebagai berikut:

 

1.            Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

 

2.            Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

 

3.            Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

 

4.            Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

 

5.            Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

 

6.            Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.

 

Termasuk ke dalam kategori alasan pada angka 1 (satu) yaitu perbuatan homoseksual dan lesbian. Meskipun demikian, keenam alasan yang disebutkan di atas tidaklah bersifat mutlak, artinya baru dapat diproses perceraiannya jika ada yang merasa keberatan dan diajukan oleh salah satu pihak.

Untuk alasan pada angka 2 (dua) di atas, mungkin saja terjadi pada diri seorang prajurit TNI. Misalnya, seorang prajurit TNI diberi penugasan pindah satuan ke tempat yang sangat jauh dari keluarganya sehingga ketika pasangannya dengan keadaan yang sedemikian rupa tidak bisa mengikuti pindah tempat tinggal bersama prajurit TNI tersebut dan sudah genap 2 tahun maka hal ini tidak bisa menjadi alasan pihak lain untuk mengajukan proses perceraian dikarenakan kepergian prajurit TNI tersebut tentunya bukan atas kemauannya melainkan karena menjalankan tugas sebagai prajurit TNI.

Untuk alasan pada angka 3 (tiga) dan 4 (empat) dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Untuk alasan pada angka 5 (lima), perlu dilengkapi dengan surat keterangan dari dokter atau pihak medis yang menangani pemeriksaan terhadap keadaan yang dimaksud.

 

            Untuk alasan pada angka 6 (enam) masih bersifat subyektif, tergantung siapa yang menilai atau merasakan hal tersebut. Bisa saja pertengkaran tersebut direkayasa untuk menutupi maksud atau keinginan yang lain agar terlihat seolah-olah tidak pernah bisa rukun kembali. Apalagi yang sudah memiliki banyak anak, tentunya hal ini akan menjadi kontradiksi. Yang menjadi pertanyaannya adalah, tidak pernah rukun tetapi kenapa bisa memiliki banyak anak? Sewajarnya jika selalu bertengkar tidaklah mungkin melakukan hubungan suami-istri. Di lingkungan kehidupan militer, untuk permasalahan yang satu ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pihak kesatuan biasanya masih menempuh berbagai cara agar kedua belah pihak bisa rukun kembali dan tidak bercerai. Sehingga untuk memproses pengajuan perceraian di lingkungan militer tidak cukup hanya berdasarkan alasan terdapat keadaan antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Karena sesungguhnya jika terjadi hal yang sedemikian parahnya kemungkinan besar ada hal lain yang menjadi pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut.

 

            Bagi pasangan yang beragama Islam, ada ketentuan khusus mengenai hubungan suami-istri, yang mana jika seorang suami sudah menjatuhkan talak 3 (tiga) kepada istrinya maka mereka secara agama dinyatakan telah bercerai, sehingga sudah tidak boleh lagi tinggal bersama di dalam satu rumah dikarenakan sudah tidak boleh berhubungan lagi layaknya suami-istri. Jika terjadi keadaan yang demikian maka pihak kesatuan pun sudah tidak mungkin lagi untuk mendamaikan atau membiarkan mereka seolah-olah masih sebagai pasangan suami-istri. Ketika ada seorang prajurit TNI yang telah menjatuhkan talak 3 (tiga) kepada istrinya dan mengajukan permohonan cerai kepada komandan satuan maka komandan satuan hanya perlu mengecek dan memastikan kebenarannya lalu memproses pengajuan permohonan cerai dari anggotanya tersebut. Terhadap prajurit TNI yang menceraikan (menjatuhkan talak tiga kepada) istrinya tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum dapat diproses dan dijatuhi hukuman (baik secara hukum pidana ataupun hukum disiplin militer).

 

            Ada juga penyebab perceraian yang tidak disebutkan di atas selain karena salah satu pihak telah meninggal dunia yaitu ketika salah satu pasangan suami-istri ada yang berpindah agama sehingga keduanya tidak memeluk agama yang sama. Dengan kata lain berada pada kondisi berbeda agama setelah menikah.


    Mempertahankan rumah tangga itu sangatlah baik (jika masih memungkinkan) karena perkawinan itu adalah salah satu kesejahteraan. Sedangkan jika sudah tidak mungkin lagi dipertahankan namun permasalahannya tetap dibiarkan terkatung-katung, hal ini malah akan mendatangkan kesengsaraan bagi semua pihak. Bahkan dapat menimbulkan permasalahan yang lain seperti perselingkuhan, dan sebagainya. Sehingga terkadang perceraian dapat menjadi jalan untuk mencapai kesejahteraan yang lain, dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran lain yang bahkan bisa lebih parah dibandingkan tetap berada pada keadaan transisi perceraian.

Saturday, July 2, 2022

SEORANG PRAJURIT TNI YANG TIDAK HADIR DI KESATUAN BARU PADA SAAT PINDAH SATUAN KESALAHANNYA BUKAN TERMASUK KATEGORI THTI ATAUPUN DESERSI

    Pada umumnya ketidakhadiran seorang prajurit TNI akan dikategorikan sebagai ketidakhadiran tanpa izin (THTI/tidak hadir tanpa izin) ataupun desersi (THTI lebih dari 30 hari). Hal ini sebenarnya tergantung dari mana dan bagaimana seorang prajurit TNI tersebut memulai ketidakhadirannya itu. Seorang prajurit TNI yang tidak hadir di kesatuan baru pada saat pindah satuan kesalahannya bukan termasuk kategori THTI ataupun desersi, begini penjelasannya.

 

            Seorang prajurit TNI yang pindah satuan tentunya terlebih dahulu mendapatkan atau mengetahui bahwa terhadap dirinya telah dikeluarkan Keputusan (surat keputusan) pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa dirinya pindah satuan dari dan ke tempat tertentu sesuai yang ditunjuk atau ditentukan dalam Keputusan tersebut. Kesatuan tempat berdinas dari prajurit TNI yang bersangkutan akan segera mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pindah satuan yang masanya tidak boleh terlalu lama setelah tanggal dikeluarkannya Keputusan pindah tersebut. Setelah mendapatkan surat perintah dari komandan satuan maka prajurit TNI tersebut harus segera berangkat membawa kelengkapan administrasi yang dibutuhkan di kesatuan baru. Sebelum itu ia menulis di buku korps raport untuk laporan melaksanakan perintah yang dilaksanakan secara hierarki mulai dari atasannya yang paling bawah hingga kepada komandan satuan.

 

            Setelah ia tiba di kesatuan baru maka ia diharuskan melaporkan diri atas kedatangannya tersebut pada instansi militer yang berwenang menerima kepindahan prajurit TNI yang bersangkutan, yang mana instansi yang berwenang tersebut belum tentu sebagai satuan terbawah yang ia akan tempati selama berdinas. Mungkin untuk golongan perwira, bintara, atau tamtama akan berbeda lagi prosedur laporan kepindahannya. Misalnya, untuk bintara dan tamtama mungkin bisa saja langsung melaporkan diri kepada komandan satuan terbawah tempat mereka akan berdinas. Atau untuk perwira biasanya perlu melaporkan diri kedatangannya pada instansi militer yang setingkat pemangku delegasi wewenang atau yang memiliki lapangan kekuasaan teknis.

 

Bagaimana jika seorang prajurit TNI yang sudah dilepas dari kesatuan lama namun tidak melaporkan diri atau sama sekali tidak datang di kesatuan barunya?

 

            Untuk prajurit TNI yang tidak hadir dan melapor di kesatuan baru tidak perlu dilakukan pencarian oleh calon komandan satuannya karena yang memiliki tanggung jawab adalah masih komandan di kesatuannya yang terdahulu. Pada posisi kesatuan baru, prajurit TNI tersebut tidak sedang berada pada keadaan THTI maupun desersi. Sehingga oleh karena prajurit TNI tersebut belum melaporkan diri dan diterima oleh komandan di kesatuannya yang baru maka hubungan hukumnya dengan kesatuan baru belum ada. Sedangkan dengan komandan di kesatuannya yang lama ia masih memiliki hubungan hukum yaitu dalam rangka melaksanakan perintah untuk berangkat ke kesatuan yang baru. Yang bersangkutan tidak bisa dikategorikan sebagai telah melakukan perbuatan THTI ataupun desersi dari kesatuan lama dikarenakan kepergiannya atau ketidakhadirannya di kesatuan lama itu justru atas perintah komandan di kesatuan yang sebelumnya.

 

            Dengan demikian, terhadap seorang prajurit TNI yang telah dilepas di kesatuan lama namun belum datang atau melaporkan diri di kesatuan baru dalam jangka waktu sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan dinyatakan tidak ada itikad baik untuk hadir di kesatuan barunya itu, maka peraturan yang telah dilanggar olehnya adalah Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), tidak melaksanakan pindah satuan dengan benar.

 

Kapan sebenarnya kriteria Pasal 103 KUHPM tidak dilanggar oleh seorang prajurit TNI dalam hal pindah satuan?

 

            Dikatakan tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 103 KUHPM secara utuh dalam hal pindah satuan apabila seorang prajurit TNI telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

 

1.            Menerima surat perintah pindah satuan dari atasan yang berwenang;

 

2.            Melaksanakan korps raport di kesatuan lama, bisa hanya dengan cara menulis di buku korps raport atau tetap diacarakan secara resmi di tempat tertentu;

 

3.            Melakukan perjalanan ke wilayah satuan baru;

 

4.            Melaksanakan korps raport di kesatuan baru secara hierarki sesuai dengan aturan dan kebiasaan setempat, diterima oleh komandan di kesatuan baru baik hanya melalui disposisi tertulis, pernyataan lisan, atau bahkan pernyataan resmi dalam acara khusus; dan

 

5.            Secara etika juga sebaiknya prajurit TNI tersebut melaporkan kepada atasannya di kesatuan lama bahwa ia sudah selesai melaksanakan perintah pindah satuan.

 

Apa yang perlu dilakukan oleh komandan di kesatuan baru jika prajurit TNI yang diperintahkan untuk melaksanakan pindah satuan tidak pernah datang atau melaporkan diri?

 

Yang perlu dilakukan oleh seorang komandan di kesatuan baru jika prajurit TNI yang diperintahkan untuk melaksanakan pindah satuan tidak pernah datang atau melaporkan diri adalah sebagai berikut:

 

1.            Yakinkan bahwa prajurit TNI yang pindah satuan tersebut tidak pernah melaporkan diri dan dinyatakan diterima oleh komandan satuan baru, baik secara nyata datang langsung maupun komunikasi secara lisan dengan atasan barunya yang berwenang menerima kepindahan. Bisa saja prajurit TNI tersebut belum hadir di kesatuan baru namun sudah melaporkan kepindahannya secara lisan kepada komandan satuan barunya namun karena ada keperluan tertentu yang dianggap mendesak ia meminta izin untuk datang terlambat dan diizinkan oleh komandan satuan barunya tersebut. Pernyataan mengizinkan itu dianggap sama dengan telah menerimanya sebagai warga baru di kesatuannya. Jika komandan satuan itu menganggap bahwa dirinya belum menerima prajurit TNI tersebut sebagai warga baru di kesatuannya maka ia dapat menyarankan agar yang bersangkutan meminta izinnya kepada komandan di kesatuan lama dikarenakan komandan satuan baru belum berwenang untuk memberikan izin kepadanya;

 

2.            Usahakan tidak ada perpindahan pengurusan gaji atau penghasilan sebelum prajruit TNI yang pindah satuan betul-betul berada di kesatuan baru atau sudah diterima oleh komandan di kesatuan baru;

 

3.            Koordinasi dengan kesatuannya yang terdahulu dan nyatakan bahwa kesatuan baru belum menerima prajurit TNI yang pindah satuan tersebut dikarenakan belum hadir atau belum dinyatakan diterima oleh komandan di kesatuan baru;

 

4.            Membuat laporan kepada komando atas dengan tembusan kesatuan lama.

 

Apa yang perlu dilakukan oleh komandan di kesatuan lama jika prajurit TNI yang diperintahkan untuk melaksanakan pindah satuan tidak pernah datang atau melaporkan diri di kesatuan baru?

 

Yang perlu dilakukan oleh seorang komandan di kesatuan lama jika prajurit TNI yang diperintahkan untuk melaksanakan pindah satuan tidak pernah datang atau melaporkan diri adalah sebagai berikut:

 

1.            Yakinkan bahwa prajurit TNI yang diperintahkan untuk pindah satuan tersebut tidak melaksanakan perintah atau dengan sedemikian rupa telah mengabaikan atau melampui perintah yang diberikan tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum;

 

2.            Koordinasi dengan komandan di kesatuan baru;

 

3.            Menghentikan sementara gaji dan penghasilan lainnya;

 

4.            Memproses pelanggarannya;

 

5.            Melaporkan kepada komando atas dengan tembusan komandan di kesatuan baru.

 

Jika prajurit TNI yang diperintahkan pindah satuan tidak melaporkan kehadirannya selama lebih dari 4 (empat) hari setelah jangka waktu yang diperkirakan bahwa ia telah sampai di kesatuan baru, maka komandan di kesatuan lama dapat menunjuk pejabat personel di kesatuannya untuk mengecek dan meyakinkan bahwa perintah pindah satuan telah dilaksanakan dengan baik.

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...