Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Sunday, May 22, 2022

APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH SEORANG PRAJURIT TNI JIKA TERTANGKAP TANGAN BAIK OLEH PETUGAS POLRI MAUPUN APARAT LAINNYA SERTA WARGA MASYARAKAT?

    Kehidupan manusia tidak selalu baik. Adakalanya seseorang melakukan kebaikan namun mungkin pada saat yang lain melakukan kesalahan, demikian seterusnya silih berganti, meskipun hanya sedikit kadarnya, atau setidak-tidaknya pernah melakukan kelalaian dalam menjalani kehidupannya. Pada artikel yang lalu penulis telah membahas tentang bagaimana jika seorang prajurit TNI menangkap tangan seseorang yang diduga akan, sedang, atau telah melakukan suatu tindak pidana. Sekarang keadaannya kita balik seandainya seorang prajurit TNI-lah yang tertangkap tangan atau ditangkap oleh orang lain. Apa yang harus dilakukan oleh seorang prajurit TNI jika tertangkap tangan baik oleh petugas Polri maupun aparat lainnya serta warga masyarakat?


        Banyak orang yang belum mengerti harus bagaimana dalam menyikapi suatu tindakan dari aparat yang melakukan penangkapan terhadap dirinya, baik itu yang berupa penggerebekan yang dilanjutkan dengan tindakan penangkapan ataupun penangkapan yang terdadak (tertangkap tangan), ataupun teknis-teknis penangkapan lainnya. Hal ini juga bisa terjadi pada prajurit TNI.


Berikut ini beberapa kemungkinan keadaan penangkapan yang dapat terjadi pada prajurit TNI:


1.    Ditangkap oleh petugas Polisi Militer.


        Ketika seorang prajurit TNI ditangkap oleh petugas Polisi Militer, maka petugas Polisi Militer akan melaporkan hal tersebut kepada Ankum atau komandan satuannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 77 ayat (4) jo. Pasal 102 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (KUHAP Militer), bahwa sesudah penangkapan dilaksanakan penyidik wajib segera melaporkan kepada Ankum yang bersangkutan.


2.    Ditangkap oleh warga masyarakat.


        Ketika seorang prajurit TNI ditangkap oleh warga masyarakat, terdapat dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh warga tersebut. Yang pertama jika warga tidak mengetahui bahwa yang mereka tangkap adalah seorang prajurit TNI maka mereka akan cenderung melaporkan atau menyerahkannya kepada petugas Polri. Namun bisa saja warga masyarakat tersebut menyerahkannya kepada petugas Babinsa atau ke kantor Koramil setempat karena mungkin pada saat itu lokasi kejadian lebih dekat dengan kantor Koramil atau bahkan Kodim. Yang kedua jika warga tersebut kemudian mengetahui bahwa orang yang mereka tangkap adalah seorang prajurit TNI, mereka akan melaporkan dan menyerahkannya kepada petugas di kantor Koramil atau Kodim atau bahkan langsung mengantarkannya ke kantor Polisi Militer setempat.


3.    Ditangkap oleh petugas Polri.


        Ketika seorang prajurit TNI ditangkap oleh petugas Polri, kemungkinan petugas Polri tersebut akan langsung mendalami kejadian dan melakukan pemeriksaan terhadap prajurit TNI tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan penangkapannya sebelum menyerahkannya kepada petugas Polisi Militer. Persis sebagaimana yang telah penulis bahas pada artikel sebelumnya. Sebelum menyerahkannya kepada pihak yang lebih berhak menanganinya, dipastikan terlebih dahulu bahwa penangkapannya telah dilakukan dengan cara yang benar.


        Meskipun demikian, jika seorang prajurit TNI ditangkap, dalam keadaan apapun, sebaiknya menyampaikan informasi bahwa dirinya adalah seorang prajurit TNI. Sebelum diperiksa oleh petugas Polri sebaiknya disampaikan terlebih dahulu bahwa ia tidak bersedia memberikan keterangan jika belum didampingi oleh penasihat hukum. Hal ini dilindungi oleh undang-undang. Perhatikan Pasal 114 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa sebelum dimulainya pemeriksaan penyidik wajib memberitahukan kepada orang yang ditangkap tentang hak untuk mendapatkan bantuan hukum bahkan bisa wajib didampingi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP.


4.    Dan lain-lain.


        Dalam keadaan maupun waktu apapun, jika seorang prajurit TNI ditangkap baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat karena diduga telah melakukan suatu tindak pidana, maka sebaiknya segera menginformasikan identitasnya dan menyampaikan agar dapatnya menghubungi atasan atau komandan satuan serta jangan mau diperiksa jika belum didampingi oleh penasihat hukum. Untuk semua perkara tindak pidana seorang prajurit TNI memiliki hak untuk didampingi oleh penasihat hukum, sementara untuk perkara-perkara tertentu lainnya hal ini dapat menjadi wajib. Perhatikan Pasal 56 KUHAP, bahwa untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, terutama yang diancam dengan pidana mati, wajib didampingi oleh penasihat hukum. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa  yang didakwa kepadanya juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. Demikianlah yang diterangkan dalam Penjelasan KUHAP.


        Adapun tindak pidana yang memiliki kecenderungan untuk didampingi oleh penasihat hukum di antaranya adalah perkara tindak pidana korupsi dan narkotika serta tindak pidana lainnya yang berpotensi disertai penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer.

Friday, May 13, 2022

BERAKIT-RAKIT KE HULU BERENANG-RENANG KE TEPIAN, KETIKA MASIH MENJADI PERWIRA PERTAMA BEKERJALAH JAUH LEBIH KERAS DARI BIASANYA AGAR DI MASA YANG AKAN DATANG TUGAS-TUGAS TERASA LEBIH RINGAN

        Pada dasarnya tugas-tugas yang dibentuk dalam organisasi militer di Indonesia berbanding lurus dengan kepangkatannya. Semakin tinggi pangkatnya maka beban tugas dan tanggung jawabnya pun akan semakin besar. Semakin besar hal tersebut tentunya akan terasa semakin berat oleh tiap-tiap personel. Hal ini sejalan pula dengan penghasilan yang diberikan oleh negara kepada prajurit TNI yaitu berupa pemberian gaji dan tunjangan-tunjangan. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, ketika masih menjadi perwira pertama bekerjalah jauh lebih keras dari biasanya agar di masa yang akan datang tugas-tugas terasa lebih ringan.


        Sistem pemberian penghasilan bagi pegawai negeri yang berupa gaji dan tunjangan pada umumnya jumlah yang dibayarkan berbanding lurus dengan pangkat/golongan atau jabatannya. Yang dimaksud dengan pegawai negeri disini adalah mencakup Aparatur Sipil Negara yang bekerja di kementerian/lembaga, petugas Polri, prajurit TNI, dan Pegawai Negeri Sipil yang ada di Polri dan TNI. Pada kesempatan ini kita hanya membahas tentang penghasilan yang diterima oleh prajurit TNI. Semakin tinggi pangkat atau jabatannya maka penghasilannya akan relatif semakin besar juga. Hal seperti ini menurut penulis wajar saja jika setiap orang menyadari kewajibannya sesuai tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Semakin tinggi pangkat dan jabatan seseorang maka dianggap semakin banyak juga yang harus diurusi atau dikerjakannya. Selain ia mengurusi apa yang harus dikerjakannya sendiri, ia juga harus mengurusi dan meyakinkan bahwa apa yang seyogyanya dilakukan oleh para bawahannya dapat dikerjakan dengan baik oleh para bawahannya itu. Sehingga ia memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan tugasnya sendiri dan tugas para bawahannya tersebut. Dengan demikian cukup wajar jika diterapkan pemberian penghasilan berbanding lurus dengan pangkat dan jabatan seorang pegawai negeri.


        Sebagian orang berpikir bahwa ketika semakin menjadi senior maka pekerjaan akan semakin ringan dikarenakan pekerjaan lebih sedikit. Kenapa demikian? Karena bagi sebagian orang itu pekerjaannya dilimpahkan kepada bawahan atau juniornya. Juniornya itu yang diminta untuk membantu bahkan mengerjakan 100% sebagian tugas-tugas atasan atau seniornya, dengan alasan yang sangat klise, yaitu "Sudah sewajarnyalah junior banyak membantu senior, nanti kalau kamu sudah senior juga akan banyak dibantu oleh junior". Penulis dahulu pernah mendengar kata-kata yang bunyinya kurang lebih seperti itu namun maksudnya tetap sama, yaitu seolah-olah kalau sudah menjadi senior adalah waktunya untuk berleha-leha. Setelah sekian lama penulis melakukan penelitian, ternyata pemikiran atau doktrin senior seperti itu "SALAH BESAR".

Contoh:

Suatu pekerjaan adalah mengenai pembuatan suatu produk yang seyogyanya diselesaikan oleh pejabat minimal setingkat letnan kolonel, namun karena seorang atasan bermalas-malasan atau memang tidak menguasai pekerjaan dalam jabatannya tersebut ia lalu memerintahkan bawahannya yang masih berpangkat letnan atau kapten.

Pekerjaan yang diselesaikan akan cenderung tidak optimal karena diselesaikan oleh pejabat yang tingkat pemikirannya kemungkinan besar masih belum mumpuni dikarenakan tidak sepadan dengan pengalaman dan jabatannya itu.


        Akibat dari pemikiran yang keliru tersebut, lihat saja, banyak orang-orang yang sudah lebih dewasa, memiliki pangkat dan kedudukan lebih tinggi, namun tidak memiliki etos kerja yang baik. Banyak pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya menjadi levelnya, tugas untuk dikerjakan sendiri namun malah memerintahkan bawahannya untuk mengerjakan. Seharusnya, meskipun bawahannya yang diperintahkan oleh orang-orang tersebut untuk mengerjakan namun tetap harus dibimbing dan diarahkan (jika alasannya dalam rangka membina bawahan/junior). Pada kenyataannya banyak juga yang memang tidak bisa bekerja, namun memerintahkan bawahannya yang bekerja, bahkan untuk mengoreksi pekerjaan bawahannya itupun tidak bisa, bagaimana mau membimbing dan mengarahkan? Keadaan prajurit TNI yang seperti ini kemungkinan besar karena ia sudah sejak saat sebelumnya sudah terbiasa menghindar-hindar dari pekerjaan yang dibebankan organisasi. Orang tersebut tentunya senang mencari-cari alasan agar tidak mendapatkan pekerjaan yang ia rasakan sulit namun tidak pernah mau belajar untuk bisa melakukannya. Orang-orang seperti ini biasanya ketika tiba waktunya naik pangkat atau rekan-rekannya sudah banyak yang naik jabatan, ikut juga sibuk kesana kemari dengan berbagai cara supaya ia ikut naik pangkat dan/atau jabatan juga. Orang-orang seperti itu termasuk golongan manusia kardus.


Bagaimana menyikapi hal seperti ini dengan cara berpikir yang positif, terutama bagi para perwira muda yang ingin membangun diri dan menyiapkan diri menjadi perwira masa depan yang benar-benar dapat diharapkan serta pantang menyerah?


        Untuk para perwira mudan ataupun perwira pertama, banyak-banyaklah belajar dalam berbagai bidang. Diusahakan mempelajari semua bidang penugasan baik yang berkaitan dengan fungsi organik militer mulai dari bidang Staf 1 (Intelijen/Intel), Staf 2 (Operasi/Ops), Staf 3 (Personel/Pers), Staf 4 (Logistik/Log), Staf 5 (Teritorial/Ter), dan bahkan Staf 6 (Perencanaan/Ren) maupun fungsi utama sesuai kesenjataan atau kecabangan masing-masing. 

Jika anda sedang dipercaya untuk bekerja pada suatu bidang, maka pelajarilah secara tuntas setiap pekerjaan di bidang tersebut. Gali kembali apa-apa yang harus dipelajari lebih lanjut di bidang terkait.

Semakin tinggi pangkat dan jabatan sejatinya semakin banyak juga tugas atau pekerjaan yang harus diselesaikan. Oleh karena itu berlatihlah dengan banyak mengerjakan pekerjaan kantor selagi anda muda dan selagi anda belum banyak tugas pokok dan tugas tambahan, sehingga tambahkan tugas-tugas anda sendiri dengan ikhlas daripada menunggu diperintah atau diberi tugas tambahan oleh atasan yang belum tentu anda ikhlas mengerjakan pekerjaan tersebut.


        Jika sejak awal sudah terbiasa mengerjakan berbagai hal atau banyak tugas, diharapkan dengan semakin tinggi pangkat dan jabatan anda maka anda akan semakin terbiasa mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan oleh organisasi, dan akan terasa lebih ringan dikarenakan sudah memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman dalam mengerjakan tugas-tugas dengan berbagai tips atau teknik yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan tersebut. Coba bandingkan dengan orang-orang yang terbiasa sejak awal senantiasa menghindari penugasan dari atasan dengan berbagai cara dan alasan, tentunya ketika orang itu menjadi lebih senior, semakin tinggi pangkat atau jabatannya maka akan semakin merasa malas melaksanakan pekerjaan dikarenakan tidak terbiasa banyak melakukan pekerjaan kantor.


        Coba kita perhatikan dan gunakan filosofi gambar piramida. Gambar piramida normal adalah berbentuk lebar atau luas di bagian bawah lalu semakin menyempit di bagian atas atau ujungnya. Sementara piramida terbalik berbentuk sempit di awal lalu semakin luas di bagian atas atau ujungnya. Dengan gambar piramida normal, diartikan bahwa sejak awal perbanyaklah berbuat atau mengerjakan berbagai penugasan sebagai bahan menimba pengetahuan dan mengasah pengalaman sehingga diharapkan pada saat berada di puncak atau sudah semakin tinggi pangkat dan jabatan akan merasa pekerjaan yang banyak itu relatif ringan. Sementara gambar piramida terbalik, diartikan bahwa jika sejak masih perwira pertama hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang standar maka di kemudian hari ketika pangkat atau jabatannya semakin tinggi tentu baginya akan terasa semakin berat pekerjaan yang ada.


Berikut ini adalah penjelasan dan perbandingannya:


1.    Ketika masih relatif muda atau perwira pertama.

a.    banyak pekerjaan atau pada keadaan yang melebihi standar pekerjaan seorang perwira pertama tidak masalah karena kondisi fisik masih relatif memungkinkan untuk bekerja lebih keras;

b.    kemungkinan anak-anak masih balita atau belum terlalu membutuhkan keberadaan bapaknya dalam waktu yang relatif sering, masih lebih dominan diurus oleh ibunya;

c.    beban pikiran atau beban hidup yang berkaitan dengan pekerjaan kantor masih relatif ringan;

d.    tanggungan hidup relatif masih sedikit.


2.    Ketika sudah senior atau memiliki pangkat dan jabatan yang lumayan tinggi.

a.    banyak pekerjaan meskipun sesuai atau masih dalam kapasitasnya sebagai orang yang memiliki pangkat dan kedudukan cukup tinggi menjadi terkendala atau bermasalah karena kondisi fisik mungkin sudah mulai banyak gangguan kesehatan seiring bertambahnya usia sehingga dapat menambah faktor penghambat dalam melaksanakan pekerjaan sesuai tugas jabatannya;


b.    kemungkinan anak-anak sudah mulai beranjak remaja sehingga relatif lebih membutuhkan keberadaan bapaknya dalam waktu yang relatif sering, sementara ibunya lebih dominan mengurus anak lainnya yang masih sangat kecil;


c.    beban pikiran atau beban hidup sudah jauh lebih banyak lagi  bukan hanya yang berkaitan dengan pekerjaan kantor namun bagaimana berupaya menyejahterakan keluarga yang sudah semakin banyak tuntutan istri dan anak-anak yang semakin besar tadi);


d.    semakin tua maka beban tanggungan hidup semakin banyak, terlebih lagi dengan semakin naiknya pangkat dan jabatan seseorang maka orang lain akan cenderung semakin banyak menuntut ini dan itu padahal tidak ada hubungan keluarga sama sekali karena memandang atau menganggap bapak yang pangkat dan jabatannya tinggi itu semakin banyak uangnya atau kaya raya.


        Oleh karenanya, berdasarkan pertimbangan di atas, agar seorang prajurit TNI terutama perwira dapat selalu siap sedia setiap saat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab jabatannya maka sejak muda harus membiasakan diri tidak bermalas-malasan, banyak belajar dan berlatih dengan cara banyak menimba ilmu dan terbiasa banyak bekerja, namun bukan dengan cara mengambil alih 100% tugas-tugas senior atau atasannya.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jika ingin merasakan kesenangan dan kebahagiaan yang sejati ketika sudah menjadi senior, maka selama menjadi junior harus banyak membina diri, tidak bermalas-malasan, tidak membiasakan diri menghindar-hindar supaya tidak diberi pekerjaan atau penugasan, serta giat belajar dan berlatih. Hal mana dilakukan demi diri, bangsa, keluarga, dan negaramu Indonesia tercinta. Sehingga diharapkan ketika sudah menjadi senior, pangkat bertambah dan jabatan meninggi masih bisa menjadi contoh yang baik bagi para bawahan atau juniornya.


Tetap sehat dan tetap semangat, supaya tidak sakit.

Sunday, May 8, 2022

PRAJURIT TNI YANG MENINGGAL DUNIA MESKIPUN DIDUGA TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKARANYA TIDAK PERLU DISERAHKAN KEPADA PENYIDIK POLISI MILITER KECUALI JIKA MENINGGAL DUNIANYA TERSANGKA PADA SAAT PROSES PENYIDIKAN DI POLISI MILITER TELAH SELESAI

        Pada dasarnya penegakan hukum di lingkungan peradilan militer, ketika setiap kali ada dugaan telah terjadi suatu tindak pidana maka perkaranya harus diproses oleh penyidik Polisi Militer. Namun bagi seorang terduga yang meninggal dunia perkaranya cukup diselesaikan di satuan yang bersangkutan. Prajurit TNI yang meninggal dunia meskipun diduga telah melakukan tindak pidana perkaranya tidak perlu diserahkan kepada penyidik Polisi Militer termasuk juga ketika proses penyidikan oleh penyidik Polisi Militer telah dimulai maka seyogyanya segera membuat resume yang isinya tentang perlunya perkara dikembalikan kepada Ankum, kecuali jika meninggal dunianya tersangka pada saat proses penyidikan di Polisi Militer telah selesai.


Mengapa demikian?


        Berdasarkan ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kewenangan menuntut pidana hapus bila si tertuduh meninggal dunia. Artinya jika prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana itu meninggal dunia maka Oditur Militer tidak akan bisa melakukan penuntutan atau mengajukan perkaranya ke persidangan militer. Oleh karena Oditur Militer tidak lagi memiliki kewenangan untuk menuntut perkaranya maka baik penyidik Polisi Militer maupun Ankum sudah tidak bisa lagi memproses perkara yang bersangkutan. Daripada penyidik Polisi Militer sudah terlanjur bekerja keras melakukan pemeriksaan kemudian ternyata berkasnya tidak diterima oleh Oditur Militer, maka lebih baik penyidik Polisi militer tidak menerima pelimpahan perkara yang terduganya telah meninggal dunia. Hal ini dilakukan dalam rangka meminimalisir terjadinya pekerjaan yang sia-sia.


        Dengan demikian, jika ada anggota suatu kesatuan militer yang meninggal dunia, meskipun yang bersangkutan masih berada pada keadaan antara apakah yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak, maka perkara meninggalnya tersebut tidak perlu diserahkan kepada penyidik Polisi Militer. Pihak satuan cukup membuat laporan hasil pemeriksaan satuan dan menindaklanjutinya dengan proses administrasi yang dibutuhkan. Adapun proses administrasi yang dapat dilakukan oleh pihak satuan tersebut ada dua kemungkinan, yang pertama yaitu proses terhadap terduga pelanggaran hukum yang meninggal dunia karena sakit, dianiaya, atau dibunuh oleh orang lain; atau yang kedua yaitu terhadap seorang prajurit TNI yang melakukan tindakan bunuh diri.


Adapun proses administrasi terhadap kedua hal di atas adalah sebagai berikut:

1.    Jika terduga pelanggaran hukum meninggal dunia karena sakit, dianiaya, atau dibunuh oleh orang lain. Terhadap hal yang seperti ini maka dilakukan proses administrasi dengan cara mengajukan saran staf secara berjenjang (S3B) kepada komando atas untuk mendapatkan keputusan tentang bagaimana teknis pemberhentiannya. Namun terhadap hal seperti ini kemungkinan besar akan diterapkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH);


2.    Jika prajurit TNI meniggal dunia karena bunuh diri, maka perlu diselidiki apakah tindakan bunuh dirinya itu dikarenakan yang bersangkutan memang masih dalam penanganan pemulihan keadaan mental (gangguan sakit jiwa) atau karena tekanan persoalan saja yang mana yang bersangkutan masih dalam keadaan sehat. Terhadap yang dinyatakan berada dalam keadaan gangguan sakit jiwa, maka diproses secara standar diberhentikan dengan hormat (PDH). Sedangkan jika karena tekanan persoalan atau terindikasi adanya tuntutan hukum atau menghindari penugasan maka diproses dengan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH). Hal yang kedua ini pun tetap dilakukan dengan mengajukan S3B kepada komando atas.



        Ketika tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan dimulai maka penyidik Polisi Militer dapat segera membuat resume yang isinya tentang perlunya perkara dikembalikan kepada Ankum. Dasar pengembalian perkara tersebut adalah seeprti yang diatur dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (KUHAP Militer), bahwa perkaranya dikembalikan kepada Ankum demi kepentingan hukum. Hal ini dikarenakan perkara masih berada pada tataran kewenangan Ankum dan penyidik Polisi Militer. Pada tataran ini perkara belum masuk dalam register perkara di Oditurat Militer.


Mungkin pembaca mengecek isi pasalnya dan melihat ada perbedaan bunyi, tidak seperti yang dituliskan di atas oleh penulis.

Kalimat "Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila perkara tersebut ditutup demi kepentingan hukum", sejatinya ketentuan itu juga mengatur termasuk tentang orangnya atau perkaranya.

Tidak mungkin hanya bendanya yang dikembalikan tetapi orangnya atau perkaranya tidak dikembalikan, sementara yang dimaksud disini adalah untuk perkara yang belum diajukan ke persidangan militer alias masih tahap penyidikan oleh penyidik Polisi Militer. Sehingga dalam hal ini jika bendanya dikembalikan maka otomatis perkaranya juga termasuk tersangkanya dikembalikan (dalam hal ini prajurit TNI yang bersangkutan dikembalikan kepada Ankum untuk dilakukan pembinaan lebih lanjut di satuan). Baca juga penjelasan penulis pada artikel sebelumnya.


        Khusus untuk perkara yang tersangkanya meninggal dunia setelah proses penyidikan di tingkat Polisi Militer selesai, yaitu sudah diberkas dan dilak, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 101 ayat (1) KUHAP Militer, maka berkasnya tetap diserahkan kepada Oditur Militer untuk diteliti, dikarenakan perkaranya sudah diregister di Oditurat Militer setempat, kemudian dibuatkan Bapat/SPH (berita acara pendapat dan saran hukum) oleh Oditur Militer. Bapat/SPH Oditur Militer akan menyarankan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk menutup perkaranya demi kepentingan hukum, sesuai ketentuan Pasal 101 ayat (2) KUHAP Militer. Yang mana pada tahapan ini tingkat penyelesaian perkara sudah memasuki tataran kewenangan antara Papera dan Oditur Militer.


Kesimpulannya, jika ada prajurit TNI yang meninggal dunia baik ia sebagai terduga maupun tersangka pelanggaran hukum, selama perkaranya belum diregister oleh Oditur Militer di dalam buku register perkara maka perkara tersebut cukup diselesaikan di satuan yang berkaitan. Terhadap hal ini dikecualikan jika masih ada pihak lain yang terlibat berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP dengan menyesuaikan keadaan yang ada.

BANYAK JUGA YANG BELUM MENGETAHUI, MASIH TERLIHAT ABU-ABU, INILAH RUPANYA BATASAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN YANG SEBENARNYA, AKAN TERLIHAT LEBIH JELAS KETIKA DITERAPKAN PADA PERKARA YANG PELAKUNYA MENINGGAL DUNIA

    Kehidupan di dunia ini haruslah tertib, oleh karena itu diterapkanlah seperangkat aturan atau norma yang berisi kebolehan dan larangan yang merumuskan pula sanksinya yang kemudian dikenal dengan istilah "hukum". Pada dasarnya setiap pelanggaran hukum harus diproses. Namun pada keadaan-keadaan tertentu ada pelanggaran hukum yang tidak diproses, dan mengenai hal ini juga diatur di dalam hukum itu sendiri. Inilah yang disebut pengecualian. Tidak ada hukum yang tanpa pengecualian. Adapun proses-proses penanganan terhadap suatu perkara pelanggaran hukum (singkatnya "perkara") dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan serta penjatuhan hukuman serta pelaksanaan hukuman (eksekusi). Untuk perihal batas perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan banyak juga yang belum mengetahui, masih terlihat abu-abu, inilah rupanya batasan penyelidikan dan penyidikan yang sebenarnya, akan terlihat lebih jelas ketika diterapkan pada perkara yang pelakunya meninggal dunia.


        Jika pelaku kejahatan meninggal dunia maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan kepada penyidik Polisi Militer, karena untuk kalangan militer perkara yang dilimpahkan itu untuk kegiatan penyidikan dan kegiatan penyelidikan yang mengiringi penyidikan. Itu pun jika pelaku masih hidup, sedangkan jika sudah meninggal dunia hanya sampai pada fase penyelidikan oleh satuannya.


Penulis jelaskan dasar pertimbangannya sebagai berikut:


1.    Penyelidikan.

        Perihal penyelidikan tidak diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (KUHAP Militer). Oleh karenanya untuk mengetahui pengertian tentang penyelidikan kita merujuk pada ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga berlaku secara umum termasuk militer. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.


        Pada sistem peradilan umum yang pelaksanaan proses penegakan hukumnya diawali oleh kepolisian (Polri), terdapat kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan terpisah dan berurutan. Ketika seseorang dilaporkan dan diduga telah melakukan suatu tindak pidana maka petugas Polri akan membuatkan Laporan Polisi dan melakukan kegiatan penyelidikan. Kegiatan penyelidikan tersebut akan ditindaklanjuti dalam bentuk kegiatan pemanggilan terhadap berbagai pihak yang dianggap dapat memberikan keterangan yang dibutuhkan dan kemudian akan dibuatkan laporan berupa SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan). Seiring waktu dan kegiatan yang dilaksanakan tentunya akan dilaporkan perkembangan terakhir hasil penyelidikan. Jika hasi penyelidikan menunjukkan adanya bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya suatu tindak pidana maka petugas kepolisian akan meningkatkannya menjadi penyidikan dan orang yang dilaporkan tersebut ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Namun sebaliknya jika tidak ada cukup bukti untuk meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan maka laporan polisi tersebut haruslah dikesampingkan dengan membuat suatu kesimpulan akhir dari kegiatan penyelidikan yang selama ini dilaksanakan serta diberitahukan kepada para pihak yang berkepentingan dengan perkara tersebut. Kesimpulan tersebut pun sesungguhnya masih bersifat sementara hingga di kemudian hari ditemukan bukti-bukti lain yang dapat mengarah pada penyidikan, bila ada.


        Pada sistem peradilan militer yang pelaksanaan proses penegakan hukumnya diawali oleh Ankum (atasan yang berhak menghukum), ketika suatu perkara dilimpahkan kepada petugas Polisi Militer maka proses penyelidikannya dilaksanakan bersamaan dengan proses penyidikan. Kegiatan penyelidikan dilaksanakan oleh petugas penyelidik Polisi Militer dalam rangka mendukung kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh petugas penyidik Polisi Militer.


        Ketika perkara anggota belum dilimpahkan oleh Ankum kepada penyidik Polisi Militer, maka Ankum dapat melakukan pemeriksaan terhadap anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Dikaitkan dengan fungsi organik militer, kegiatan pemeriksaan ini berkaitan dengan pelaksanaan fungsi Staf 1 (Intel) yang meliputi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Dalam hal menerapkan fungsi Staf 1 (Intel) yang berupa kegiatan penyelidikan, Ankum menugaskan pejabat yang membidanginya untuk melakukan pemeriksaan terhadap prajurit TNI yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan perkaranya. Hasil penyelidikan tersebut dapat berupa beberapa kemungkinan, yaitu terdapat bukti telah terjadi pelanggaran disiplin militer, terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana, atau pelaku pelanggaran ternyata meninggal dunia.


        Adapun tindak lanjut terhadap beberapa kemungkinan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh satuan adalah sebagai berikut:

a.    Terjadi pelanggaran disiplin militer.

        Jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata merupakan pelanggaran disiplin militer maka Ankum segera menyelesaikannya menurut Hukum Disiplin Militer, yang mana dapat diterapkan dengan menjatuhkan hukuman disiplin ataupun dengan tindakan disiplin. Hukuman disiplin akan tercatat dalam buku catatan personel prajurit TNI yang bersangkutan sedangkan tindakan disiplin tidak tercatat dalam buku catatan personel dan hanya sebagai bentuk kegiatan pembinaan biasa.


b.    Terdapat bukti permulaan yang cukup sebagai tindak pidana.

        Sedangkan jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa seorang prajurit TNI yang menjadi anggotanya patut diduga melakukan tindak pidana maka perkara yang bersangkutan segera dilimpahkan kepada penyidik Polisi Militer untuk diproses sebagai pelaksanaan penyidikan perkara tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup disini adalah sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 1 angka 25, Pasal 76 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 76 ayat (1) KUHAP Militer, yaitu sekurang-kurangnya terdiri dari laporan polisi ditambah salah satu bukti lainnya yang berupa berita acara pemeriksaan saksi atau berita acara di tempat kejadian perkara.


c.    Pelaku pelanggaran hukum meninggal dunia.

        Dan apabila prajurit TNI yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum itu meninggal dunia, maka perkaranya tidak bisa diproses dalam bentuk apapun baik secara hukum disiplin militer maupun hukum pidana. Hal tersebut diatur dalam undang-undang.


2.    Penyidikan.


        Mengenai kegiatan penyidikan telah didefinisikan di dalam KUHAP Militer, Pasal 1 angka 16 menyebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik ABRI/TNI dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pada saat tahap penyidikan ini, Ankum ataupun Komandan Satuan sudah melimpahkan perkaranya kepada satuan Polisi Militer untuk dilakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 74 KUHAP Militer. Kemudian satuan Polisi Militer akan menindaklanjuti penyerahan itu dengan proses penyidikan dan penahanan (jika Ankum atau Papera menerapkan penahanan sementara terhadap tersangka) serta penyelidikan yang dilaksanakan dalam rangka mendukung kegiatan penyidikan, sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dalam Penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf a KUHAP Militer.


Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui terdapat pengertian penyelidikan dalam arti luas (umum) dan dalam arti sempit (khusus). Penyelidikan dalam arti umum dilakukan oleh pihak satuan, yang selama ini dilaksanakan oleh petugas tertentu yang ditunjuk di satuan [petugas staf intel terutama petugas provos, sesuai ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 69 ayat (2) KUHAP Militer], sedangkan penyelidikan dalam arti khusus adalah yang dilakukan oleh penyelidik Polisi Militer sebagai bentuk pendelegasian wewenang dari Ankum ataupun Komandan Satuan, yang melekat dengan proses penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan kegiatan lanjutan yang dilaksanakan oleh penyidik Polisi Militer setelah ada pelimpahan dari satuan tersangka, yang mana nantinya dapat ditingkatkan dengan kegiatan penyidikan oleh Oditur Militer (bila diperlukan pemeriksaan tambahan) lalu prapenuntutan dan penuntutan di pengadilan di lingkungan peradilan militer.  

Monday, May 2, 2022

DAPATKAH PRAJURIT TNI MENANGKAP ATAU MENERTIBKAN PENJAHAT ATAU PERBUATAN JAHAT SESEORANG BAIK DI DALAM MAUPUN DI LUAR JAM KERJA PADAHAL MILITER ITU BUKAN APARAT KEPOLISIAN NEGARA?

        Hal-hal yang melanggar peraturan terdiri dari dua bagian besar yaitu yang merupakan kejahatan dan yang merupakan pelanggaran. Keduanya biasa disebut "tindak pidana" atau "perbuatan pidana". Kewajiban responsif terhadap adanya suatu tindak pidana bukan hanya pada aparat penegak hukum. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk menghentikan dan melaporkan setiap dugaan tindak pidana. Hal ini tercermin dalam Pasal 49, 50, dan 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dapatkah prajurit TNI menangkap atau menertibkan penjahat atau perbuatan jahat seseorang baik di dalam maupun di luar jam kerja padahal militer itu bukan aparat kepolisian negara?


        Asas hukum yang tercermin dalam Pasal 49 KUHP. Pasal ini memberikan pengecualian atas sesuatu yang dianggap sebagai tindakan yang melawan hukum. Seseorang tidak akan dijatuhi hukuman jika perbuatannya itu adalah dalam rangka melakukan pembelaan diri, yang mana pembelaan dilakukan karena terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda milik sendiri maupun orang lain, dikarenakan ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Sehingga dalam hal ini setiap orang dapat mencegah, menghentikan, dan melakukan penanganan pertama pada tindak pidana baik yang menyangkut diri sendiri maupun orang lain yang berada relatif dekat dengannya. Setelah itu segera diserahkan kepada pihak yang berwajib.


        Asas hukum yang tercermin dalam Pasal 50 KUHP. Pasal ini juga memberikan pengecualian atas sesuatu yang dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum. Seseorang tidak dipidana jika perbuatan itu dilakukan karena bertujuan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat tercermin dalam penerapan di lapangan yang sudah tentu harus berdasarkan payung hukum yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan pula. Berdasarkan Pasal 111 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981), ditentukan bahwa dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Sedangkan untuk setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum adalah diharuskan untuk melakukan tindakan penangkapan tersebut.


        Asas hukum yang tercermin dalam Pasal 51 KUHP. Pasal ini juga memberikan pengecualian atas sesuatu yang dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum. Seseorang tidak dipidana jika perbuatan itu dilakukan karena untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang dan sesuai dengan atau termasuk dalam lingkup jabatannya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan tugas-tugas kepolisian yang memang tugasnya menjaga ketertiban masyarakat dan penegakan hukum. Sementara untuk prajurit TNI pun ada petugas-petugas dalam hal pemeliharaan ketertiban militer dan penegakan hukum di lingkungan militer yaitu petugas polisi militer dan oditur militer. Satuan Polisi Militer dan Oditurat Militer melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum yang meliputi pula kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap pihak-pihak baik militer maupun sipil yang berkaitan dengan adanya dugaan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI. Bagi prajurit TNI secara umum tidak hanya dilindungi oleh Pasal 111 KUHAP namun juga dilindungi oleh ketentuan Pasal 102 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (KUHAP Militer) terutama ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak menangkap.


        Dari ketiga dasar hukum tersebut di atas, jika diimplementasikan dengan situasi dugaan adanya tindak pidana baik yang berupa kejahatan ataupun pelanggaran, maka seseorang boleh melakukan tindakan yang dianggap terbaik dan memang terpaksa dilakukan pada saat itu untuk meniadakan atau mencegah terjadinya dan/atau timbulnya hasil perbuatan pidana. Khususnya bagi prajurit TNI, sebagai salah satu pegawai yang digaji oleh negara maka tindakan yang dilakukan TNI juga dilindungi oleh undang-undang karena TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional (seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia).


        Hal-hal berikut ini yang harus diperhatikan dalam melakukan amanat menurut Pasal 111 KUHAP dan Pasal 102 KUHAP Militer:


1.    Prajurit TNI tidak boleh melakukan penahanan.


        Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik militer atas perintah Ankum (atasan yang berhak menghukum), Papera (perwira penyerah perkara), atau hakim ketua atau ketua pengadilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP Militer.


        Yang diatur dalam Pasal 122 KUHAP dan Pasal 112 KUHAP Militer adalah bahwa dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan dijalankan ia harus mulai diperiksa oleh penyidik. Ketentuan tersebut mengatur tentang penahanan yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh penyidik setelah 1 X 24 (satu kali duapuluh empat) jam ditahan, namun bukan sebagai dasar hukum bagi seseorang selain penyidik untuk melakukan penahanan.


        Pengaturan mengenai penahanan dijelaskan mulai Pasal 24 hingga Pasal 29 KUHAP dan Pasal 78 hingga Pasal 81 KUHAP Militer. Hitungan penahanan adalah hari atau paling sedikit 1 X 24 (satu kali duapuluh empat) jam sesuai ketentuan Pasal 1 angka 31 KUHAP dan Penjelasan Pasal 76 ayat (3) KUHAP Militer. Sehingga jika militer melakukan penangkapan terhadap tersangka dalam hal tertangkap tangan, hanya bisa dilakukan dalam tenggang waktu kurang dari 24 jam atau belum mencapai satu hari. Selama waktu sedemikian dapat dimanfaatkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap tersangka agar ketika diserahkan kepada penyidik sudah didapatkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini juga berguna sebagai pengamanan bagi pihak yang melakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan agar tidak terkesan sembarangan melakukan penangkapan terhadap tersangka. Jika selama pemeriksaan tersebut tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menyerahkan tersangka kepada penyidik maka sebelum mencapai waktu 24 jam tersangka sebaiknya segera dilepaskan.


2.    Bila tersangkanya orang sipil.


        Bila militer yang melakukan penangkapan terhadap tersangka yang merupakan orang sipil dalam hal tertangkap tangan, maka dalam tenggang waktu 24 jam agar segera diserahkan kepada penyidik Polri. Dalam hal ini memperhatikan juga ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 20, dan angka 21 KUHAP. Namun bila tersangkanya orang sipil yang akan/sedang/telah melakukan kejahatan terhadap perlengkapan/peralatan atau berkaitan dengan kepentingan militer maka dapat diperiksa oleh penyidik Polisi Militer, sebagaimana ketentuan Pasal 9 angka 1 huruf d KUHAP Militer yang mengatur bahwa pengadilan dalam lingkup peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah seseorang yang tidak termasuk golongan prajurit, atau bukan anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang, namun atas persetujuan panglima TNI dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah orang sipil yang dalam kenyataannya bekerja pada organisasi TNI yang diberi kewajiban untuk memegang rahasia militer, melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan kewajibannya, termasuk juga yang dilakukan terhadap barang-barang militer keperluan perang. 


3.    Bila tersangkanya militer.


        Bila tersangkanya militer maka diserahkan kepada satuannya untuk diperiksa lebih lanjut. Bila tersangkanya militer dan ditangkap oleh petugas Polisi Militer maka petugas Polisi Militer dapat menyerahkan kepada satuannya atau menindaklanjuti pemeriksaan terhadap tersangka atas seizin atau penyerahan dari komandan satuan tersangka. Berdasarkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, perwira atau atasan yang mendapat bukti yang cukup untuk menyangka bahwa bawahan telah melakukan pelanggaran hukum disiplin militer yang dapat menimbulkan keonaran dan mengganggu tata tertib di tempat kejadian, berwenang melakukan atau memerintahkan penahanan sementara dan harus segera melaporkan kepada Ankum yang membawahkan langsung tersangka.

Berdasarkan ayat (2)-nya dibatasi bahwa penahanan tersebut adalah paling lama 2 X 24 (dua kali duapuluh empat) jam. Ketentuan mengenai proses tindak lanjut terhadap tersangka militer diatur dalam KUHAP Militer yang saat ini adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


        Selain yang dijelaskan di atas, dapat saja militer melakukan suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan tanpa adanya suatu kewenangan. Namun dalam hal yang sangat mendesak, maka tindakan tersebut diperbolehkan untuk dilakukan dalam rangka pencegahan sempurnanya suatu tindak pidana.

Contoh:

Jika diduga keras ada orang yang telah membawa dan hendak meledakkan bom, maka boleh saja seorang militer melakukan tindakan apapun yang bermaksud untuk mencegah perbuatan tersebut (meskipun dengan cara melakukan penembakan terhadap tersangka, tentunya dengan syarat pertimbangan "keadaan sangat terpaksa") dan memang tidak ada alternatif lain selain melakukan hal tersebut karena memerlukan tindakan yang seketika.


Kesimpulannya, dengan berdasarkan Pasal 111 KUHAP dan Pasal 102 KUHAP Militer, setiap prajurit TNI boleh melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana namun tidak boleh melakukannya melebihi waktu 24 jam.

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...