Seorang komandan satuan (Dansat) memiliki kewenangan yang unik. Dansat adalah seorang Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum). Ia berwenang memproses Prajurit TNI yang menjadi anggotanya bila anggotanya melakukan pelanggaran baik secara hukum pidana ataupun hukum disiplin. Ankum adalah termasuk salah satu penyidik sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun untuk proses hukum pidana, Dansat/Ankum tidak melaksanakan sendiri penyidikan perkara namun diserahkan/dilimpahkan kepada penyidik polisi militer ataupun oditur militer untuk memproses perkara yang dimaksud meskipun terpaksa melakukan penyelidikan dan penyidikan sekaligus dalam waktu bersamaan. Sedangkan jika anggotanya melakukan pelanggaran disiplin, maka Dansat dapat menyelesaikannya dengan menerapkan hukum disiplin militer dan/atau peraturan disiplin prajurit.
Dalam hal proses penyidikan dilaksanakan oleh penyidik polisi militer, Dansat melimpahkan perkara anggotanya kepada penyidik polisi militer dengan mengirimkan surat pelimpahan/penyerahan untuk melakukan penyidikan atas dugaan suatu perkara tindak pidana.
Ketika perkara tersebut diproses oleh penyidik polisi militer dan telah memiliki cukup bukti, perkara tersebut lalu diberkas kemudian diserahkan kepada oditur militer setempat sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (lihat Pasal 101).
Sedangkan ketika perkara tersebut diproses oleh penyidik polisi militer namun tidak terdapat cukup bukti, maka Dansat/Ankum berhak meminta kepada penyidik polisi militer untuk mengembalikan perkara anggotanya kepada Dansat/Ankum. Adapun setelah perkara anggota tersebut dikembalikan oleh penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum, maka sudah menjadi kewenangan Dansat untuk melaksanakan pembinaan lanjutan terhadap anggotanya tersebut. Pembinaan lanjutan yang dimaksud adalah tergantung pertimbangan Dansat itu sendiri, apakah akan melakukan pembinaan personel seperti biasa atau dengan cara menjatuhkan hukuman disiplin atau dapat juga hanya berupa tindakan disiplin kepada anggotanya tersebut sesuai pertimbangan Dansat berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan telah dianalisis oleh Dansat beserta staf.
Loh, kenapa demikian?
Jika ada yang berpendapat bahwa ketika suatu perkara telah diproses oleh penyidik polisi militer maka perkara tersebut tidak bisa dikembalikan kepada Dansat/Ankum meskipun nyata-nyata tidak terdapat cukup bukti untuk mengajukan perkara tersangka dan tindak lanjut perkara tersebut harus berdasarkan petunjuk oditur militer, tidak bisa dikembalikan begitu saja, pendapat seperti ini keliru. Mereka berpendapat bahwa di dalam sistem peradilan militer tidak mengenal istilah penghentian penyidikan sebagaimana yang telah diterapkan di lingkungan peradilan umum oleh penyidik Polri. Di lingkungan penyidik Polri, ketika perkara sudah dilaksanakan penyidikan namun ternyata tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan, mereka akan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sedangkan di lingkungan peradilan militer, untuk pengembalian tersangka harus atas pertimbangan dari oditur militer dan/atau atas petunjuk dari Oditur Jenderal (Orjen) TNI.
Pendapat yang demikian tidaklah mendasar, karena bunyi pengaturannya di dalam undang-undang tentang Peradilan Militer adalah bahwa jika penyidikan telah selesai maka berkasnya segera dilimpahkan kepada oditur militer dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) jika ingin menutup perkara terhadap perkara yang proses penyidikannya telah selesai tersebut harus berdasarkan pendapat hukum dari oditur militer dan atas seizin dari Orjen TNI.
Penulis ulangi "bahwa jika penyidikan telah selesai".
Bagaimana jika penyidikan belum selesai atau tidak bisa diselesaikan?
Terkadang masih terdapat perkara-perkara yang seolah-olah berkepanjangan tanpa ada penyelesaian dikarenakan kurangnya alat bukti dalam proses penyidikan. Namun ketika keadaan mengharuskan perkara tersebut diselesaikan, terkadang menjadi cenderung dipaksakan untuk diajukan ke persidangan militer agar ada kepastian hukum atas perkara tersebut, dengan maksud untuk kebaikan dan keberlangsungan karir dari tersangka sendiri, yang akhirnya tetap saja Prajurit TNI tersebut sudah dianggap cacat administrasi personel atau dianggap sudah pernah melakukan pelanggaran, padahal belum tentu ia bersalah (bukti-bukti tidak cukup).
Prinsip dalam menyelesaikan masalah, hampir sama dengan prinsip dari badan hukum yang bergerak di bidang pegadaian, yaitu "Menyelesaikan masalah tanpa masalah". Oleh karenanya kita seyogyanya dapat lebih mengerti apa yang sesungguhnya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, perlu dianggap sudah disusun dan dirumuskan dengan sangat baik oleh para pembentuk undang-undang. Sejatinya undang-undang tersebut telah mengatur juga bagaimana proses perkara yang tidak dapat ditindaklanjuti hingga ke persidangan militer.
Kenapa undang-undang tidak mengatur secara konkrit tentang hal ini?
Keputusan dalam hal pengembalian perkara dari penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum merupakan kebijakan yang harus melalui pertimbangan yang matang, mempertimbangkan berbagai aspek, yang tidak bisa dirumuskan dalam suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan. Penarikan kesimpulan dengan cara mengaitkan berbagai ketentuan merupakan cara yang dipandang sudah cukup bijak untuk dijadikan dasar bertindak, sehingga keputusan penyerahan kembali perkara oleh penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum tidak akan dilaksanakan secara gegabah atau sembarangan. Hal-hal seperti ini tidak berlaku untuk setiap perkara pada segala keadaan, sehingga tidak bisa begitu saja dirumuskan dalam suatu pasal. Hal ini sungguh-sungguh untuk menghindari penyalahgunaan wewenang baik oleh Ankum maupun oleh penyidik polisi militer.
Apa penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut?
Perhatikan definisi penyidikan menurut undang-undang Peradilan Militer yang berbunyi sebagai berikut (lihat Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam Bab I Ketentuan Umum, Bagian Pertama, Pengertian, Pasal 1 angka 16):
"Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".
Jika bukti-bukti tidak mendukung, atau tidak cukup bukti, maka penyidikan dapat dianggap tidak selesai. Dengan tidak selesainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik polisi militer maka keadaan seperti ini tidak dilingkupi oleh ketentuan Pasal 101 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dan dengan demikian penyidik polisi militer tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan berkas perkara tersebut kepada oditur militer, dikarenakan pemberkasan belum selesai.
Lalu bagaimana pengaturan yang sebenarnya?
Perkara tersangka yang diproses oleh penyidik polisi militer dan tidak terdapat cukup bukti untuk melanjutkan perkaranya, maka penyidik polisi militer harus mengembalikan perkara tersangka kepada Dansat/Ankum untuk dilaksanakan pembinaan lebih lanjut di satuan oleh Ankum.
Hal ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Mari kita perhatikan pula penjelasan berikut ini:
Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ankum juga berwenang untuk memerintahkan penahanan sementara terhadap Prajurit TNI yang berada di bawah komandonya yang menjadi tersangka dalam suatu perkara. Bahkan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) huruf b dan Pasal 74 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bahwa penyidik polisi militer berwenang melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Ankum dan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada Ankum sesuai ketentuan Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 74 huruf c undang-undang tersebut.
Ketika suatu perkara mulai diproses oleh penyidik polisi militer, tentunya oditur militer belum bisa langsung mendata perkara tersebut dalam register perkara di pembukuan oditurat militer dikarenakan belum ada kepastian serta agar tidak merusak kegiatan administrasi perkara dan tata naskah di oditurat militer. Dan ketika belum selesai diberkas oleh penyidik polisi militer, pihak oditur militer belum bisa menganggap ada perkara yang masuk, sehingga belum diregister sebagai suatu perkara baru.
Perhatikan ketentuan Pasal 101 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa penyidik polisi militer sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Ankum, Papera, dan berkas aslinya kepada oditur militer. Jadi kewajiban untuk menyerahkan berkas perkara tersebut kepada oditur militer hanya bila penyidikan sudah dianggap selesai. Sedangkan kewajiban untuk mengembalikan suatu perkara yang tidak cukup bukti kepada Dansat/Ankum adalah dikarenakan Dansat/Ankum lah yang pada awalnya menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik polisi militer untuk dilakukan penyidikan dalam hal adanya dugaan perkara pidana. Ankum juga sebagai penyidik, memeriksa perkara disipliner dan pidana, namun untuk perkara pidana tugas penyidikan dilimpahkan kepada penyidik polisi militer sesuai undang-undang. Oleh karena itu pengembalian perkara seperti ini harus didasarkan kembali pada asasnya, yaitu dikembalikan kepada siapa yang meminta untuk melakukan "penyidikan", yang mana penyelesaian perkara Prajurit TNI pada dasarnya adalah wewenang dan tanggung jawab Ankum sebagai bagian dari komponen pembinaan personel Prajurit TNI.
Perhatikan ketentuan Pasal 101 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa Papera dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan pendapat hukum dari oditur militer. Coba kita perhatikan sekali lagi, bahwa apa yang diatur di dalam pasal tersebut adalah apabila sudah mengenai tataran kewenangan Papera.
Lalu bagaimana jika masih dalam tataran kewenangan Ankum?
Tataran kewenangan dalam penyelesaian perkara di dalam kehidupan militer terdapat 2 (dua) tingkatan, yaitu tataran kewenangan Ankum dan tataran kewenangan Papera.
1. Tataran Kewenangan Ankum.
a. para pihak yang berada pada tingkat tataran kewenangan Ankum adalah pelanggar/tersangka, Ankum, dan penyidik polisi militer;
b. Ankum memeriksa dan mengadili perkara anggotanya yang merupakan pelanggaran disiplin;
c. Ankum menyerahkan anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran pidana untuk diperiksa oleh penyidik polisi militer.
2. Tataran Kewenangan Papera.
a. para pihak yang berada pada tingkat tataran kewenangan Papera adalah tersangka/terdakwa, Papera, dan oditur militer;
b. Papera sebagai Ankum Atasan memeriksa dan mengadili perkara anggotanya yang melakukan pelanggaran disiplin militer yang dimintakan pengajuan keberatan atas keputusan Ankum Bawahan;
c. Papera menyerahkan perkara anggotanya kepada oditur militer berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan hasil pengolahan perkara dari oditur militer untuk dapat disidangkan di peradilan militer.
Berdasarkan penjelasan mengenai tataran kewenangan di atas, terlihat jelas bahwa kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) di atas dilaksanakan jika sudah berada pada tataran kewenangan Papera.
Pelaksanaan penyidikan oleh polisi militer adalah berdasarkan surat penyerahan atau pelimpahan dari Dansat/Ankum yang bersangkutan. Mengenai dasar pengembalian perkaranya ketika masih berada pada tingkat tataran kewenangan Ankum, selain berdasarkan asas dari siapa kewenangan pelaksanaan penyidikan oleh penyidik polisi militer itu berasal, kita dapat membandingkannya juga dengan ketentuan yang lain yang masih berkaitan dengan kriteria perihal pengembalian sesuatu hal.
Perhatikan ketentuan Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal tersebut berada dalam Bab IV Hukum Acara Pidana Militer, Bagian Pertama, Penyidikan, Paragraf 3, Penggeledahan dan Penyitaan.
Agar digarisbawahi, Pasal 95 tersebut masih berada dalam Bagian Pertama tentang Penyidikan.
Pasal 95 tersebut berbicara tentang keadaan pada saat suatu perkara mulai diproses, mulai dituntut, dan mulai disidangkan.
Di dalam Pasal 95 ayat (1)nya ditentukan bahwa jika benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; atau
c. perkara tersebut ditutup demi kepentingan umum, kepentingan militer, atau kepentingan hukum, kecuali apabila benda itu diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dari keterangan di atas, dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan tentang dapatnya mengembalikan perkara kepada Dansat/Ankum, dapat kita ambil 3 (tiga) hal yang memperjelas penyelesaian salah penafsiran atas ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
1. Penyidik polisi militer memang tidak berhak menghentikan penyidikan dikarenakan sejatinya yang berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara anggotanya adalah Ankum, sedangkan penyidik polisi militer adalah sebagai bentuk pelimpahan wewenang dari Ankum. Itulah sebabnya ada surat pelimpahan perkara dari Ankum kepada penyidik polisi militer. Sehingga tindakan pengembalian perkara dikarenakan tidak cukup bukti oleh penyidik polisi militer kepada Ankum bukanlah sebagai bentuk tindakan penghentian penyidikan, melainkan sebagai bentuk penyerahan kembali perkara kepada Ankum dikarenakan tidak dapat diselesaikan pelaksanaan penyidikannya oleh penyidik polisi militer sehingga perlu ditindaklanjuti oleh Ankum sebagai yang berwenang dalam hal pembinaan anggotanya. Oleh karena itu bahasa yang digunakan dalam hal pengembalian tersebut seyogyanya berbunyi: "...... dikembalikan kepada Dansat/Ankum untuk dilakukan pembinaan lebih lanjut di satuan".
2. Tidak ada satu ketentuanpun baik secara tegas maupun secara eksplisit yang menyatakan bahwa penyidik polisi militer sama sekali tidak boleh mengembalikan perkara militer, yang tidak terdapat cukup bukti, kepada Dansat/Ankum atau harus seizin dari oditur militer apalagi Orjen TNI.
3. Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah menunjukkan dan mempertegas tentang adanya tataran kewenangan penyelesaian perkara.
Ingatlah ketika kita hendak mengartikan suatu perintah atau pengaturan atau peraturan perundang-undangan, seyogyanya kita selalu mendasarkan pada suatu dalil yang jika perlu juga berupaya menghubungkan antara dalil yang satu dengan yang lainnya, bukan berdasarkan penafsiran sendiri yang tidak ada hubungannya dengan dalil tersebut atau mengondisikan penafsiran itu seolah-olah menjadi dalil dan berhubungan dengan suatu dalil.
Berupayalah berpikir bukan dengan keinginan apalagi yang bersifat kepentingan pribadi semata, melainkan dengan keikhlasan karena melaksanakan kewajiban dan keadilan.