Translate

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD APLIKASI AMPUH
Referensi Hukum dan Filsafat

Thursday, September 30, 2021

BAGAIMANA MERUMUSKAN MAKSUD DAN TUJUAN DENGAN BAIK AGAR PENYELENGGARA LATIHAN TIDAK MENIMBULKAN KERANCUAN DAN INKONSISTENSI DALAM BERBAGAI PRODUK LATIHAN MILITER

        Militer itu kegiatan sehari-harinya tidak lepas dari kegiatan latihan, karena bagi militer, kesejahteraan yang paling hakiki adalah latihan. Mengapa demikian? Karena militer itu sejatinya disiapkan untuk bertempur, dan salah satu jalan agar bisa mencapai kemenangan dalam pertempuran itu adalah dengan cara melatihkan prajuritnya agar mampu bertempur dengan baik di medan tugas. Jika militer sudah melaksanakan latihan dengan baik, diharapkan dapat mengurangi jumlah korban atau resiko kematian dalam pertempuran atau bahkan dapat menghindari kegagalan tugas. Jadi, kesejahteraan yang paling tinggi nilainya adalah berkaitan langsung dengan nyawa, kehidupan, bukan harta benda. Oleh karena itu, setiap latihan militer harus direncanakan, disiapkan, dan dilaksanakan dengan baik dengan cara menyiapkan penyelenggaraan latihan tersebut dengan matang. Dua bagian yang sangat penting dalam penyelenggaraan latihan militer adalah dengan merumuskan maksud dan tujuan.


        Bagi sebagian orang, maksud dan tujuan akan terkesan sama saja. Namun sebenarnya kedua hal itu sangatlah berbeda. Keduanya memiliki sektor atau cakupannya masing-masing. Bagian MAKSUD berada pada sektor awal, sedangkan bagian TUJUAN berada pada sektor akhir. Kelalaian dalam memilah-milah bagian-bagian tersebut akan dapat menimbulkan kerancuan dan inkonsistensi dalam merumuskan produk latihan militer, yang dapat berdampak pada penyelenggaraan latihan militer menjadi tidak jelas arahnya. Bagaimana merumuskan maksud dan tujuan dengan baik agar penyelenggara latihan tidak menimbulkan kerancuan dan inkonsistensi dalam berbagai produk latihan militer?
        

    Bagian MAKSUD berisikan keinginan yang bersifat subyektif. Ini berarti apa yang dirumuskan dalam bagian ini haruslah merupakan keinginan dari pembuat produk maupun penyelenggara latihan. Jika kita berbicara tentang maksud dibuatnya produk tersebut, berarti kita harus lebih fokus pada niat dari si pelaku pembuat produk. Misalnya: penyelenggara latihan membuat suatu produk latihan adalah untuk memberikan gambaran kepada para pembaca atau peserta latihan tentang bagaimana latihan tersebut akan dilaksanakan. Atau memang penyelenggara latihan ingin memberikan laporan awal kepada komando atas (jika itu berupa produk perencanaan latihan) atau menyampaikan laporan akhir pelaksanaan latihan kepada komando atas (jika itu merupakan produk laporan).
        

        Bagian TUJUAN berisikan keinginan yang bersifat obyektif. Ini berarti bahwa apa yang dirumuskan dalam bagian ini haruslah merupakan suatu keadaan yang seharusnya dapat dicapai oleh para peserta latihan sesuai harapan dari penyelenggara latihan. Terkadang pada bagian tujuan dapat berisi satu atau dua hal. Jika tujuan yang ingin dicapai terdiri dari beberapa hal, biasanya akan dirumuskan atau diuraikan dalam bentuk penentuan sasaran-sasaran.

Contoh sebagai perumpamaan:

1.    Maksud.
Memberikan gambaran tentang bagaimana cara meningkatkan kemampuan lari.

2.    Tujuan.
Agar Prajurit TNI mampu berlari sesuai standar yang ditentukan menurut kategori usia.

3.    Sasaran.

a.    tercipta kemampuan berlari dengan jarak 2.000 meter dalam waktu 12 menit untuk usia 45-50 tahun;


b.    tercipta kemampuan berlari dengan jarak 2.500 meter dalam waktu 12 menit untuk usia 35-45 tahun;


c.    tercipta kemampuan berlari dengan jarak 3.000 meter dalam waktu 12 menit untuk 18-35 tahun;


d.    dan sebagainya.


      Terkadang suatu produk latihan tidak merumuskan sasaran-sasaran dikarenakan tujuan yang ingin dicapai tidak bisa diuraikan secara terperinci sehingga tetap dibiarkan tetap dalam bentuk rumusan yang masih umum.

Contoh tujuan:
Latihan menembak ini ditujukan agar prajurit memiliki tingkat penguasaan keterampilan pada tingkat "dapat".
        

        Kekeliruan yang biasanya dilakukan adalah merumuskan bagian maksud dengan kata-kata "untuk dijadikan pedoman bagi ......". Sehingga nantinya akan rancu dengan pernyataan atau rumusan pada bagian tujuan, sementara tujuan dibuatnya produk itu adalah "agar dapat dijadikan pedoman bagi ......". Oleh sebab itu perlu ditentukan dulu mengenai bagian maksud dan tujuan tersebut, apakah sebenarnya sebagai "maksud dan tujuan" pembuatan produk itu sendiri atau "maksud dan tujuan" diselenggarakannya kegiatan.

Bagaimana cara menentukan tentang hal demikian?
        

        Jika maksud dan tujuan itu adalah mengenai pembuatan produk ketentuan, petunjuk teknis, atau tata cara tentang sesuatu, maka hal itu berarti maksud dan tujuan pembuatan produk itu sendiri. Namun jika maksud dan tujuan itu mengenai pembuatan produk penyelenggaraan latihan, maka hal itu bisa berarti maksud dan tujuan pembuatan produk itu sendiri atau juga maksud dan tujuan dari latihan yang akan diselenggarakan itu.
        

    Jika sudah dapat dirumuskan maksud dan tujuan dari latihan tersebut dengan jelas, maka diharapkan pelaksanaannya juga akan terarah dan berhasil baik bagi peserta latihan.
Kenapa pembuatan produk latihan militer harus dibuat sebaik mungkin?
Produk latihan militer harus dibuat sebaik mungkin karena pada dasarnya penyelenggaraan latihan tidak semata-mata melatihkan para peserta latihan, namun juga melatihkan para penyelenggara latihan itu sendiri.

Wednesday, September 22, 2021

BEGINI SANGGAHAN DARI PENDAPAT "PERKARA PRAJURIT TNI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN OLEH PENYIDIK POLISI MILITER KEPADA ATASAN YANG BERHAK MENGHUKUM MESKIPUN TIDAK TERDAPAT BUKTI-BUKTI YANG CUKUP SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

       Seorang komandan satuan (Dansat) memiliki kewenangan yang unik. Dansat adalah seorang Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum). Ia berwenang memproses Prajurit TNI yang menjadi anggotanya bila anggotanya melakukan pelanggaran baik secara hukum pidana ataupun hukum disiplin. Ankum adalah termasuk salah satu penyidik sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun untuk proses hukum pidana, Dansat/Ankum tidak melaksanakan sendiri penyidikan perkara namun diserahkan/dilimpahkan kepada penyidik polisi militer ataupun oditur militer untuk memproses perkara yang dimaksud meskipun terpaksa melakukan penyelidikan dan penyidikan sekaligus dalam waktu bersamaan. Sedangkan jika anggotanya melakukan pelanggaran disiplin, maka Dansat dapat menyelesaikannya dengan menerapkan hukum disiplin militer dan/atau peraturan disiplin prajurit.


        Dalam hal proses penyidikan dilaksanakan oleh penyidik polisi militer, Dansat melimpahkan perkara anggotanya kepada penyidik polisi militer dengan mengirimkan surat pelimpahan/penyerahan untuk melakukan penyidikan atas dugaan suatu perkara tindak pidana.

Ketika perkara tersebut diproses oleh penyidik polisi militer dan telah memiliki cukup bukti, perkara tersebut lalu diberkas kemudian diserahkan kepada oditur militer setempat sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (lihat Pasal 101).


        Sedangkan ketika perkara tersebut diproses oleh penyidik polisi militer namun tidak terdapat cukup bukti, maka Dansat/Ankum berhak meminta kepada penyidik polisi militer untuk mengembalikan perkara anggotanya kepada Dansat/Ankum. Adapun setelah perkara anggota tersebut dikembalikan oleh penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum, maka sudah menjadi kewenangan Dansat untuk melaksanakan pembinaan lanjutan terhadap anggotanya tersebut. Pembinaan lanjutan yang dimaksud adalah tergantung pertimbangan Dansat itu sendiri, apakah akan melakukan pembinaan personel seperti biasa atau dengan cara menjatuhkan hukuman disiplin atau dapat juga hanya berupa tindakan disiplin kepada anggotanya tersebut sesuai pertimbangan Dansat berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan telah dianalisis oleh Dansat beserta staf.


Loh, kenapa demikian?


        Jika ada yang berpendapat bahwa ketika suatu perkara telah diproses oleh penyidik polisi militer maka perkara tersebut tidak bisa dikembalikan kepada Dansat/Ankum meskipun nyata-nyata tidak terdapat cukup bukti untuk mengajukan perkara tersangka dan tindak lanjut perkara tersebut harus berdasarkan petunjuk oditur militer, tidak bisa dikembalikan begitu saja, pendapat seperti ini keliru. Mereka berpendapat bahwa di dalam sistem peradilan militer tidak mengenal istilah penghentian penyidikan sebagaimana yang telah diterapkan di lingkungan peradilan umum oleh penyidik Polri. Di lingkungan penyidik Polri, ketika perkara sudah dilaksanakan penyidikan namun ternyata tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan, mereka akan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).  Sedangkan di lingkungan peradilan militer, untuk pengembalian tersangka harus atas pertimbangan dari oditur militer dan/atau atas petunjuk dari Oditur Jenderal (Orjen) TNI.


Pendapat yang demikian tidaklah mendasar, karena bunyi pengaturannya di dalam undang-undang tentang Peradilan Militer adalah bahwa jika penyidikan telah selesai maka berkasnya segera dilimpahkan kepada oditur militer dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) jika ingin menutup perkara terhadap perkara yang proses penyidikannya telah selesai tersebut harus berdasarkan pendapat hukum dari oditur militer dan atas seizin dari Orjen TNI.

Penulis ulangi "bahwa jika penyidikan telah selesai".


Bagaimana jika penyidikan belum selesai atau tidak bisa diselesaikan?


        Terkadang masih terdapat perkara-perkara yang seolah-olah berkepanjangan tanpa ada penyelesaian dikarenakan kurangnya alat bukti dalam proses penyidikan. Namun ketika keadaan mengharuskan perkara tersebut diselesaikan, terkadang menjadi cenderung dipaksakan untuk diajukan ke persidangan militer agar ada kepastian hukum atas perkara tersebut, dengan maksud untuk kebaikan dan keberlangsungan karir dari tersangka sendiri, yang akhirnya tetap saja Prajurit TNI tersebut sudah dianggap cacat administrasi personel atau dianggap sudah pernah melakukan pelanggaran, padahal belum tentu ia bersalah (bukti-bukti tidak cukup). 


        Prinsip dalam menyelesaikan masalah, hampir sama dengan prinsip dari badan hukum yang bergerak di bidang pegadaian, yaitu "Menyelesaikan masalah tanpa masalah". Oleh karenanya kita seyogyanya dapat lebih mengerti apa yang sesungguhnya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, perlu dianggap sudah disusun dan dirumuskan dengan sangat baik oleh para pembentuk undang-undang. Sejatinya undang-undang tersebut telah mengatur juga bagaimana proses perkara yang tidak dapat ditindaklanjuti hingga ke persidangan militer.


Kenapa undang-undang tidak mengatur secara konkrit tentang hal ini?


        Keputusan dalam hal pengembalian perkara dari penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum merupakan kebijakan yang harus melalui pertimbangan yang matang, mempertimbangkan berbagai aspek, yang tidak bisa dirumuskan dalam suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan. Penarikan kesimpulan dengan cara mengaitkan berbagai ketentuan merupakan cara yang dipandang sudah cukup bijak untuk dijadikan dasar bertindak, sehingga keputusan penyerahan kembali perkara oleh penyidik polisi militer kepada Dansat/Ankum tidak akan dilaksanakan secara gegabah atau sembarangan. Hal-hal seperti ini tidak berlaku untuk setiap perkara pada segala keadaan, sehingga tidak bisa begitu saja dirumuskan dalam suatu pasal. Hal ini sungguh-sungguh untuk menghindari penyalahgunaan wewenang baik oleh Ankum maupun oleh penyidik polisi militer.


Apa penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut?


        Perhatikan definisi penyidikan menurut undang-undang Peradilan Militer yang berbunyi sebagai berikut (lihat Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam Bab I Ketentuan Umum, Bagian Pertama, Pengertian, Pasal 1 angka 16):

"Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".


        Jika bukti-bukti tidak mendukung, atau tidak cukup bukti, maka penyidikan dapat dianggap tidak selesai. Dengan tidak selesainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik polisi militer maka keadaan seperti ini tidak dilingkupi oleh ketentuan Pasal 101 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dan dengan demikian penyidik polisi militer tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan berkas perkara tersebut kepada oditur militer, dikarenakan pemberkasan belum selesai.


Lalu bagaimana pengaturan yang sebenarnya?


        Perkara tersangka yang diproses oleh penyidik polisi militer dan tidak terdapat cukup bukti untuk melanjutkan perkaranya, maka penyidik polisi militer harus mengembalikan perkara tersangka kepada Dansat/Ankum untuk dilaksanakan pembinaan lebih lanjut di satuan oleh Ankum.

Hal ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


Mari kita perhatikan pula penjelasan berikut ini:


        Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ankum juga berwenang untuk memerintahkan penahanan sementara terhadap Prajurit TNI yang berada di bawah komandonya yang menjadi tersangka dalam suatu perkara. Bahkan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) huruf b dan Pasal 74 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bahwa penyidik polisi militer berwenang melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Ankum dan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada Ankum sesuai ketentuan Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 74 huruf c undang-undang tersebut.


        Ketika suatu perkara mulai diproses oleh penyidik polisi militer, tentunya oditur militer belum bisa langsung mendata perkara tersebut dalam register perkara di pembukuan oditurat militer dikarenakan belum ada kepastian serta agar tidak merusak kegiatan administrasi perkara dan tata naskah di oditurat militer. Dan ketika belum selesai diberkas oleh penyidik polisi militer, pihak oditur militer belum bisa menganggap ada perkara yang masuk, sehingga belum diregister sebagai suatu perkara baru.


        Perhatikan ketentuan Pasal 101 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa penyidik polisi militer sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Ankum, Papera, dan berkas aslinya kepada oditur militer. Jadi kewajiban untuk menyerahkan berkas perkara tersebut kepada oditur militer hanya bila penyidikan sudah dianggap selesai. Sedangkan kewajiban untuk mengembalikan suatu perkara yang tidak cukup bukti kepada Dansat/Ankum adalah dikarenakan Dansat/Ankum lah yang pada awalnya menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik polisi militer untuk dilakukan penyidikan dalam hal adanya dugaan perkara pidana. Ankum juga sebagai penyidik, memeriksa perkara disipliner dan pidana, namun untuk perkara pidana tugas penyidikan dilimpahkan kepada penyidik polisi militer sesuai undang-undang. Oleh karena itu pengembalian perkara seperti ini harus didasarkan kembali pada asasnya, yaitu dikembalikan kepada siapa yang meminta untuk melakukan "penyidikan", yang mana penyelesaian perkara Prajurit TNI pada dasarnya adalah wewenang dan tanggung jawab Ankum sebagai bagian dari komponen pembinaan personel Prajurit TNI.


        Perhatikan ketentuan Pasal 101 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa Papera dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan pendapat hukum dari oditur militer. Coba kita perhatikan sekali lagi, bahwa apa yang diatur di dalam pasal tersebut adalah apabila sudah mengenai tataran kewenangan Papera.


Lalu bagaimana jika masih dalam tataran kewenangan Ankum?


        Tataran kewenangan dalam penyelesaian perkara di dalam kehidupan militer terdapat 2 (dua) tingkatan, yaitu tataran kewenangan Ankum dan tataran kewenangan Papera.

1.    Tataran Kewenangan Ankum.

a.    para pihak yang berada pada tingkat tataran kewenangan Ankum adalah pelanggar/tersangka, Ankum, dan penyidik polisi militer;

b.    Ankum memeriksa dan mengadili perkara anggotanya yang merupakan pelanggaran disiplin;

c.    Ankum menyerahkan anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran pidana untuk diperiksa oleh penyidik polisi militer.

 

2.    Tataran Kewenangan Papera.

a.    para pihak yang berada pada tingkat tataran kewenangan Papera adalah tersangka/terdakwa, Papera, dan oditur militer;

b.    Papera sebagai Ankum Atasan memeriksa dan mengadili perkara anggotanya yang melakukan pelanggaran disiplin militer yang dimintakan pengajuan keberatan atas keputusan Ankum Bawahan;

c.    Papera menyerahkan perkara anggotanya kepada oditur militer berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan hasil pengolahan perkara dari oditur militer untuk dapat disidangkan di peradilan militer.


        Berdasarkan penjelasan mengenai tataran kewenangan di atas, terlihat jelas bahwa kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) di atas dilaksanakan jika sudah berada pada tataran kewenangan Papera.


        Pelaksanaan penyidikan oleh polisi militer adalah berdasarkan surat penyerahan atau pelimpahan dari Dansat/Ankum yang bersangkutan. Mengenai dasar pengembalian perkaranya ketika masih berada pada tingkat tataran kewenangan Ankum, selain berdasarkan asas dari siapa kewenangan pelaksanaan penyidikan oleh penyidik polisi militer itu berasal, kita dapat membandingkannya juga dengan ketentuan yang lain yang masih berkaitan dengan kriteria perihal pengembalian sesuatu hal.


        Perhatikan ketentuan Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal tersebut berada dalam Bab IV Hukum Acara Pidana Militer, Bagian Pertama, Penyidikan, Paragraf 3, Penggeledahan dan Penyitaan.

Agar digarisbawahi, Pasal 95 tersebut masih berada dalam Bagian Pertama tentang Penyidikan.

Pasal 95 tersebut berbicara tentang keadaan pada saat suatu perkara mulai diproses, mulai dituntut, dan mulai disidangkan.


        Di dalam Pasal 95 ayat (1)nya ditentukan bahwa jika benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a.    kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b.    perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; atau

c.    perkara tersebut ditutup demi kepentingan umum, kepentingan militer, atau kepentingan hukum, kecuali apabila benda itu diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.


        Dari keterangan di atas, dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan tentang dapatnya mengembalikan perkara kepada Dansat/Ankum, dapat kita ambil 3 (tiga) hal yang memperjelas penyelesaian salah penafsiran atas ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:

1.    Penyidik polisi militer memang tidak berhak menghentikan penyidikan dikarenakan sejatinya yang berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara anggotanya adalah Ankum, sedangkan penyidik polisi militer adalah sebagai bentuk pelimpahan wewenang dari Ankum. Itulah sebabnya ada surat pelimpahan perkara dari Ankum kepada penyidik polisi militer. Sehingga tindakan pengembalian perkara dikarenakan tidak cukup bukti oleh penyidik polisi militer kepada Ankum bukanlah sebagai bentuk tindakan penghentian penyidikan, melainkan sebagai bentuk penyerahan kembali perkara kepada Ankum dikarenakan tidak dapat diselesaikan pelaksanaan penyidikannya oleh penyidik polisi militer sehingga perlu ditindaklanjuti oleh Ankum sebagai yang berwenang dalam hal pembinaan anggotanya. Oleh karena itu bahasa yang digunakan dalam hal pengembalian tersebut seyogyanya berbunyi: "...... dikembalikan kepada Dansat/Ankum untuk dilakukan pembinaan lebih lanjut di satuan".


2.    Tidak ada satu ketentuanpun baik secara tegas maupun secara eksplisit yang menyatakan bahwa penyidik polisi militer sama sekali tidak boleh mengembalikan perkara militer, yang tidak terdapat cukup bukti, kepada Dansat/Ankum atau harus seizin dari oditur militer apalagi Orjen TNI.


3.    Pasal 95 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah menunjukkan dan mempertegas tentang adanya tataran kewenangan penyelesaian perkara.


        Ingatlah ketika kita hendak mengartikan suatu perintah atau pengaturan atau peraturan perundang-undangan, seyogyanya kita selalu mendasarkan pada suatu dalil yang jika perlu juga berupaya menghubungkan antara dalil yang satu dengan yang lainnya, bukan berdasarkan penafsiran sendiri yang tidak ada hubungannya dengan dalil tersebut atau mengondisikan penafsiran itu seolah-olah menjadi dalil dan berhubungan dengan suatu dalil.

Berupayalah berpikir bukan dengan keinginan apalagi yang bersifat kepentingan pribadi semata, melainkan dengan keikhlasan karena melaksanakan kewajiban dan keadilan.

Tuesday, September 21, 2021

BAGAIMANA ATURAN SCHORSING YANG IDEAL DI DALAM TATA USAHA MILITER, UNTUK MENGELIMINIR TIMBULNYA PENYIMPANGAN DAN KERAGUAN, SERTA KERANCUAN DALAM PENERAPANNYA

         Schorsing atau pemberhentian sementara dari jabatan yang diterapkan kepada seorang Prajurit TNI, pada hakekatnya merupakan pengurangan terhadap sebagian hak-hak Prajurit TNI tersebut, yang ketika ia sudah berkeluarga tentunya akan berdampak pula bagi keluarganya (istri dan anak). Oleh karenanya diharapkan pengaturan mengenai schorsing senantiasa memperhatikan asas-asas yang berlaku di antaranya yaitu asas kepentingan militer, asas kepastian hukum, dan asas keadilan.


        Penerapan schorsing tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mekanisme schorsing diterapkan secara sistematis sesuai jenjang pentahapannya. Penerapan schorsing ini juga memerlukan sinergitas dari para pejabat yang membidangi urusan personalia.

Bagaimana aturan schorsing yang ideal di dalam tata usaha militer, untuk mengeliminir timbulnya penyimpangan dan keraguan, serta kerancuan dalam penerapannya?


        Berikut ini adalah rambu-rambu yang seyogyanya dirumuskan di dalam suatu pengaturan tentang schorsing:


1.    Berisi latar belakang tentang asal-usul atau alasan-alasan penerapan schorsing yang disampaikan secara garis besar;


2.    Merumuskan maksud pembuatan pengaturan yaitu memberikan gambaran dan penjelasan kepada para komandan satuan dan staf yang membidangi urusan personalia ataupun tata usaha terutama yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


3.    Merumuskan tujuan pembuatan pengaturan yaitu agar dapat dijadikan pedoman dalam penerapan schorsing;


4.    Mencantumkan dasar-dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan pengaturan dan penerapan schorsing;


5.    Merumuskan tujuan penerapan schorsing yang terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

a.    mengatur penetapan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang diduga telah melakukan pelanggaran dan memasuki tahap-tahap keadaan sesuai persyaratan schorsing;

b.    mengatur pembatalan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang ternyata tidak bersalah atas suatu tuduhan pelanggaran;

c.    mengatur pencabutan schorsing terhadap seorang Prajurit TNI yang sudah menjalani masa penjatuhan schorsing dan telah memenuhi persyaratan untuk pencabutan schorsing;

d.    mengatur pengangkatan kembali seorang Prajurit TNI dalam suatu jabatan setelah menjalani masa schorsing.


6.    Merumuskan sasaran secara terperinci sesuai tujuan-tujuan penerapan administrasi schorsing;


7.    Menggunakan rumusan asas-asas bukan sifat;


8.    Tidak perlu merumuskan peranan melainkan tugas dan tanggung jawab para pejabat terkait mulai di tingkat pusat hingga tingkat satuan;


9.    Menentukan struktur dan susunan organisasi pelaksana mulai di tingkat pusat hingga tingkat satuan;


10.    Merumuskan persyaratan pejabat-pejabat yang ditunjuk yang terlibat dalam kegiatan penerapan schorsing;


11.    Merumuskan teknis kegiatan penerapan schorsing, yang berisi hal-hal sebagai berikut:

a.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi schorsing;

b.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi pembatalan schorsing;

c.    saat dan syarat berlakunya serta persyaratan administrasi pencabutan schorsing;

d.    pengaturan khusus tentang pengangkatan kembali dalam jabatan yang dituangkan langsung dalam pengaturan schorsing tersebut secara teknis, tidak melimpahkan kembali pada mekanisme pengangkatan dalam jabatan pada kondisi standar.


12.    Saat mulai berlakunya schorsing sebaiknya ditentukan berdasarkan tanggal penetapan schorsing sesuai keadaan dalam persyaratan schorsing;


13.    Persyaratan schorsing sebaiknya tidak termasuk sesuatu keadaan yang mana si pelanggar telah dijatuhi penahanan sementara disipliner baik yang ringan ataupun yang berat, dikarenakan jika sudah diputuskan bersalah di dalam penyelesaian menurut saluran hukum disiplin militer tidak mungkin lagi ada putusan kedua kali yang menyatakan bahwa si pelanggar tidak bersalah;


14.    Tidak perlu ada pengaturan perpanjangan schorsing, dikarenakan sudah ditentukan di awal tentang alasan-alasan penjatuhan schorsing itu hingga timbul penyebab pembatalan ataupun pencabutan, sehingga selama penetapan schorsing masih berlaku tidak perlu ada perpanjangan schorsing, kecuali jika terjadi perubahan penjatuhan schorsing karena perubahan dugaan pelanggarannya maka perlu dirumuskan pengaturan yang menentukan bilamana akan diadakan perubahan penetapan schorsing. Perpanjangan masa schorsing hanya mungkin terjadi jika di dalam produk schorsing ditentukan batas masa berlakunya secara pasti, dan dalam hal yang demikian tidak perlu ada istilah pencabutan schorsing karena dengan sendirinya sudah tergantikan dengan batas konkrit masa schorsing tadi;


15.       Antara pembatalan dan penentuan schorsing harus sinkron, jangan sampai saling mengabaikan lalu menimbulkan kerancuan. Maka perlu dirumuskan keadaan-keadaan sebagai berikut yang dapat menjadi penyebab pembatalan schorsing:

a.    Ankum Atasan atau Papera memutuskan bahwa Prajurit TNI yang bersangkutan tidak bersalah (tidak melakukan pelanggaran disiplin militer); atau

b.    Pengadilan militer memutuskan bahwa Prajurit TNI yang bersangkutan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum. 


16.    Merumuskan siapa saja pejabat-pejabat yang berwenang menerapkan schorsing sesuai tingkat kewenangannya;


17.    Menentukan persyaratan administrasi berupa produk pendapat hukum dan saran dari perwira hukum wajib dibuat oleh perwira hukum yang ada di tingkat satuan terbawah;


18.    Mengatur hak-hak Prajurit TNI yang sedang menjalani proses hukum berkaitan dengan pemberian penghasilan rutin bulanan dan lain-lain;


19.    Merumuskan pengaturan atau perlakuan terhadap Prajurit TNI yang melakukan THTI dan desersi (atau terkadang dieja "disersi") berkaitan dengan penghasilannya;


20.    Tidak perlu mencantumkan bagian faktor-faktor yang mempengaruhi jika tidak merumuskan teknis pengaturannya;


21.    Merumuskan secara detail pelaksanaan kegiatan berdasarkan tahapannya tentang penetapan schorsing, perubahan, pembatalan, dan pencabutan schorsing, serta pengangkatan kembali dalam jabatan, mulai di tingkat pusat hingga satuan;


22.    Merumuskan tentang teknis pengangkatan kembali dalam jabatan secara tegas dan tidak mengandung kalimat atau pengaturan yang menggantung sehingga tidak tuntas;


23.    Merumuskan tindakan pengamanan terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


24.    Merumuskan tindakan pengawasan dan pengendalian terhadap setiap kegiatan yang berkaitan dengan penerapan schorsing;


25.    Pengaturan lain yang belum termasuk pada bagian-bagian sebelumnya namun perlu dicantumkan, contoh:

a.    pengaturan bagaimana jika Prajurit TNI yang bersangkutan tidak ditahan, apakah dijatuhi schorsing atau tidak;

b.    pengaturan bagaimana jika proses sedang berjalan kemudian terdapat perubahan peraturan perundang-undangan;

c.    dan lain-lain.


        Dalam pembentukan pengaturan mengenai schorsing ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kecuali jika membuat atau menentukan suatu pengaturan khusus untuk suatu keadaan khusus. Namun hal ini pun harus berdasarkan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Thursday, September 16, 2021

BAGAIMANA CARA MENGATUR PENJATUHAN SCHORSING DAN PENCABUTAN SCHORSING SECARA BENAR SUPAYA TIDAK MERUGIKAN PRAJURIT TNI ATAUPUN KELUARGANYA SEKALIPUN IA TELAH MELAKUKAN KESALAHAN?

        Seorang Prajurit TNI juga manusia. Ia berasal dari rakyat, diangkat oleh pejabat tertentu yang juga sebenarnya mewakili rakyat, dan seyogyanya bisa bekerja dengan penuh perjuangan untuk rakyat di negara Indonesia tercinta ini.

Ketika seorang Prajurit TNI bermasalah karena telah melakukan pelanggaran hukum, maka terutama bagi yang sudah berkeluarga akan berdampak pada keluarganya, khususnya mengenai penerimaan penghasilan. Prajurit TNI yang bermasalah hukum dan dijatuhi schorsing akan menerima pengurangan penghasilan berdasarkan ketentuan yang ada di lingkungan TNI. Oleh karena itu, perlu diterapkan bagaimana cara mengatur penjatuhan schorsing dan pencabutan schorsing secara benar supaya tidak merugikan Prajurit TNI ataupun keluarganya sekalipun ia telah melakukan kesalahan.


Kenapa Prajurit TNI dijatuhi schorsing?


        Berikut ini adalah hal-hal yang seyogyanya bisa menjadi pertimbangan dan alasan untuk menjatuhkan schorsing:


1.    Diduga telah melakukan pelanggaran disiplin/pidana;

2.    Proses penyelesaian perkara si pelanggar memerlukan konsentrasi sehingga yang bersangkutan dibebaskan sementara dari atau dilarang menduduki jabatannya semula;

3.    Berada dalam penahanan yustisial, baik yang sementara (berupa penahanan sementara oleh Ankum paling lama 20 hari atau disertai perpanjangan penahanan oleh Papera paling lama 6 X 30 hari) maupun penahanan yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) yang masanya lebih dari atau sama dengan 1 (satu) bulan;

4.    Dalam rangka mengurangi sebagian hak-hak Prajurit TNI yang sedang alam proses hukum;

5.    Untuk memberikan efek jera baik bagi yang melanggar maupun bagi yang belum melanggar.


Kenapa mengenai schorsing ini perlu mendapatkan perhatian lebih?


         Berikut ini adalah beberapa hal yang seyogyanya bisa dijadikan sebagai alasan perlunya memperhatikan schorsing: 


1.    Komandan Satuan (Dansat) bisa saja terlambat mengusulkan schorsing terhadap anggotanya.

    

    Ketika seorang Prajurit TNI bermasalah, melakukan pelanggaran hukum baik disiplin ataupun pidana, bisa saja seorang Dansat lupa menjatuhkan schorsing terhadap anggotanya tersebut. Jika seorang prajurit yang sedang diproses secara hukum masih menduduki suatu suatu jabatan, maka secara tata usaha militer terjadi duplikasi kegiatan di dalam satu waktu. Yaitu di satu sisi ia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas jabatan, sementara di sisi lain ia memiliki kewajiban untuk menjalani proses hukumnya, mulai dari mengikuti jalannya pemeriksaan (dalam rangka penyelesaian saluran disiplin ataupun pidana) hingga menjalani penahanan. Hal tersebut sungguh-sungguh merupakan duplikasi pekerjaan, yang mana untuk melakukan kedua kewajiban tersebut dalam satu waktu, secara bersamaan, adalah tidak mungkin, sehingga keadaan yang terakhir itulah yang akan diutamakan untuk dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan tugas jabatan harus dihentikan dengan cara menerapkan pemberhentian sementara dari jabatan ataupun pelarangan melakukan tugas jabatannya (schorsing).


2.    Dansat bisa saja lupa mengusulkan pencabutan schorsing terhadap anggotanya.

        

        Ketika si pelanggar telah menjalani proses hukum hingga penjatuhan hukuman bahkan telah selesai menjalani masa penahanannya, Dansat mengupayakan pencabutan schorsing. Namun mengenai hal ini cenderung terjadi permasalahan tentang kapan saat pencabutan schorsing itu berlaku. Saat dicabutnya schorsing terkadang jauh melampaui masa seharusnya ia diberi sanksi schorsing itu sendiri.


Misalnya:

Pada contoh pertama:

Prajurit A melakukan pelanggaran disiplin militer, mulai diperiksa tanggal 1 Januari 20xx, dijatuhi hukuman disiplin penahanan berat selama 21 hari (berakhir pada tanggal 31 Januari 20xx, dan ia telah dijatuhi schorsing). Kemudian setelah selesai masa penahanan disiplinernya yang bersangkutan diupayakan pencabutan schorsingnya oleh Dansat. Namun dari komando atas yang berwenang, baru diterbitkan keputusan pencabutan schorsing yang keluar tertanggal 21 April 20xx.

Oleh karenanya terdapat kelebihan masa schorsing selama sekira 3 (tiga) bulan, sejak tanggal 1 Februari hingga tanggal 21 April 20xx.


Pada contoh kedua:

Prajurit B melakukan pelanggaran pidana baik pidana militer ataupun pidana umum, mulai diproses sejak tanggal 1 Januari 20xx, diputus oleh pengadilan pada tanggal 21 Januari 20xx dan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) bulan, sudah berkekuatan hukum tetap (masa penahanan berakhir pada tanggal 21 Maret 20xx, dan ia telah dijatuhi schorsing). Kemudian setelah selesai masa penahanannya, yang bersangkutan diupayakan pencabutan schorsingnya oleh Dansat. Namun dari komando atas yang berwenang, kemudian baru diterbitkan keputusan pencabutan schorsing yang keluar tertanggal 21 April 20xx.

Oleh karenanya terdapat kelebihan masa schorsing selama sekira 1 (satu) bulan, sejak tanggal 22 Maret hingga tanggal 21 April 20xx.


        Ketika di dalam suatu aturan mengenai schorsing sudah ditentukan bahwa saat berlakunya pencabutan schorsing adalah terhitung mulai tanggal selesai menjalani penahanan disipliner, penahanan sementara yustisial, atau pidana penjara atau kurungan paling singkat 1 (satu) bulan (berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap), penentuan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing seyogyanya disesuaikan dengan masa-masa itu. Jika penentuan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing tidak disesuaikan dengan masa-masa di atas, tentunya hal ini yang akan dapat menimbulkan kelengahan dalam hal penghitungan masa schorsing, yang berdampak pada pengurangan hak-hak Prajurit TNI yang berlebihan. Jika petugas di bidangnya tidak mengetahui atau lalai dikarenakan banyaknya pekerjaan atau kurangnya kepedulian, bisa saja hak-hak yang sudah terlanjur dipotong tidak diklaimkan oleh petugas di bidang keuangan (misalnya, juru bayar).

Satu hal yang juga dapat mendukung kelalaian adalah tentang adanya klausul dalam produk pencabutan schorsing yang berbunyi:

"Bahwa semua kekurangan penghasilan yang tidak diterimanya selama dalam pemberhentian sementara dari jabatan tidak dibayar kembali".


Meskipun pada sebagian produk administrasi yang berupa produk tata usaha negara ataupun tata usaha militer terdapat klausul yang menyatakan bahwa jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya, namun dalam prakteknya sangat jarang diterapkan.


        Jika pejabat di bidangnya salah mengartikan ini, tentunya bisa timbul kerancuan dalam pelaksanaan administrasi prajurit tentang schorsing yang berdampak pada terdapatnya hak-hak Prajurit TNI pelanggar yang tidak diberikan, dikarenakan memperkirakan atau menyangka bahwa masa berakhirnya schorsing sama dengan tanggal penandatanganan pencabutan schorsing.


        Meskipun di dalam keputusan pencabutan schorsing oleh pemangku delegasi wewenang (PDW) maupun surat perintah pencabutan schorsing oleh Dansat/Ankum disebutkan terhitung mulai tanggal (TMT) pencabutannya, namun tetap saja hal ini memiliki kerawanan terjadinya kelalaian ketika lupa mengartikan suatu produk, sehingga masa-masa yang sudah berlalu yang telah melewati masa schorsing tidak diklaimkan pengembalian hak-haknya yang sudah terlanjur terpotong akibat belum diterbitkannya keputusan pencabutan schorsing dan surat perintah pencabutan schorsing. Dan karena seyogyanya suatu produk hukum tidak boleh berlaku surut, hal ini bertentangan dengan asas nonretroaktif, yang artinya bahwa suatu aturan tidak boleh diberlakukan terhadap keadaan yang telah lampau. Segala bentuk pengaturan termasuk produk hukum sejatinya ditetapkan dan berlaku sejak saat dibuat atau setelahnya, bukan sebaliknya (berlaku mundur).


3.    Anggota (Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komando dari Dansat) yang sudah selesai perkaranya belum diusulkan jabatan.


        Salah satu kewajiban Dansat adalah memberikan jabatan kepada anggotanya, jika memungkinkan akan ditempatkan kembali pada jabatan di satuan tersebut, atau dengan cara memindahkannya ke tempat lain jika di satuan tersebut sudah tidak ada lagi jabatan yang sesuai dengan anggota yang bersangkutan. Ketika anggota telah dicabut schorsingnya, maka ia dapat segera kembali ditempatkan pada jabatan yang lama atau ditempatkan pada jabatan lain yang setingkat.


4.    Anggota yang sudah selesai perkaranya belum diusulkan untuk mendapatkan tunjangan kinerja penuh.


        Pada masa sekarang, selain gaji dan tunjangan jabatan, negara telah memberikan lagi tambahan penghasilan yang berupa tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja diberikan oleh negara melalui kewenangan Dansat kepada militer yang dianggap sudah layak mendapatkan tunjangan kinerja berdasarkan kriteria tertentu sesuai peraturan perundang-undangan. Jika pejabat yang berwenang kurang teliti, militer yang sudah memenuhi syarat lagi mendapatkan jabatan tetapi tidak segera dicarikan atau ditempatkan pada jabatan, hal inilah yang kemudian bisa berdampak terhadap berkurangnya hak-hak Prajurit TNI dan keluarganya, yang semestinya bisa mendapatkan tunjangan kinerja penuh namun berkurang karena belum menempati jabatan yang sesuai.


Bagaimana cara menghitung atau memperkirakan suatu perkara selesai?


        Dalam rangka menentukan saat penerapan schorsing dapat dilaksanakan maka dapat dilakukan dengan cara memperkirakan waktunya berdasarkan proses hukum apa yang sedang diterapkan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:


1.    Proses saluran hukum disiplin militer.


        Ketika seorang Prajurit TNI sudah mulai diproses melalui saluran ini, tentunya berdasarkan hasil pemeriksaan sementara kita akan bisa memperkirakan dan menilai hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar. Yang jelas, masa penahanan terhadap proses hukum disiplin militer tidak akan lebih dari 1 (satu) bulan. Oleh karenanya kita sudah dapat memperkirakan kapan penjatuhan schorsing sudah bisa dimulai dan kapan saat dicabut kembali schorsing tersebut, dalam hal ini berlakunya schorsing hanya selama 1 (satu) bulan.


2.    Proses saluran hukum pidana.


        Untuk perkara yang masuk dalam kategori ini, penjatuhan schorsing sebaiknya sudah dimulai sejak si pelanggar berada dalam penahanan sementara yustisial. Dan kapan berakhirnya juga sudah dapat dihitung apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). Oleh karena itu, seyogyanya pejabat personel di satuan sudah dapat mengoordinasikan lebih awal mengenai kapan penjatuhan schorsing dan kapan pencabutan schorsing terhadap anggotanya yang berproses hukum.


        Berdasarkan uraian di atas, ketika seorang Dansat sudah dapat menentukan proses hukum apa yang akan diterapkan terhadap anggotanya yang telah melanggar, maka pada saat itu juga Dansat sudah dapat memperkirakan kapan bisa dimulai penjatuhan schorsing. Dan seorang Dansat dapat segera menentukan kapan waktunya pencabutan schorsing. Sehingga melalui pejabat staf yang berkaitan bisa mengoordinasikan dengan pejabat pada komando atasnya agar masa penjatuhan maupun pencabutan schorsing dapat sesuai dengan perkara anggota yang bersangkutan. Mungkin salah satu contoh yang bisa dipraktekkan adalah dengan mengoordinasikan "bon nomor" atau tanggal dari permasalahan schorsing tersebut ketika sudah betul-betul ada petunjuk tentang hal itu yang sudah bisa dihitung atau diperkirakan waktunya, bisa sebulan atau dua pekan sebelum masa penahanan terhadap si pelanggar habis.

Friday, September 10, 2021

BAGAIMANA MAKNA PASAL 103 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER TERHADAP PERBUATAN LGBT (LESBIAN, GAY/HOMOSEKSUAL, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER) DALAM RANGKA PENERAPAN HUKUM ACARA PERADILAN MILITER?

        Di dalam kehidupan militer, hukum yang paling menonjol adalah yang mengatur tentang hubungan antara atasan dan bawahan. Hal ini tertuang dengan jelas dalam Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Bagaimana makna Pasal 103 KUHPM terhadap perbuatan LGBT (lesbian, gay/homoseksual, biseksual, dan transgender) dalam rangka penerapan hukum acara peradilan militer?


PERUMUSAN TINDAKAN YANG DILARANG


        Sebelum kita mengaitkan hubungan antara Pasal 103 KUHPM dengan perbuatan LGBT yang dilakukan oleh seorang Prajurit TNI, kita perlu terlebih dahulu menentukan apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam golongan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Berdasarkan asas Hoograad tanggal 31 Desember 1919 tentang Pasal 1365 Burgelijk Wetboek mengenai Pengertian Tindakan yang tidak sesuai dengan hukum berintikan sebagai berikut:

a.    merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang;

b.    melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum/si pelaku/petindak) menurut undang-undang; dan/atau

c.    melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.


    Dalam hal ini perbuatan asusila terhadap sesama jenis kelamin adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (yaitu kewajiban sebagai anggota TNI) dan yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Baik dari segi agama maupun etika sosial, perbuatan asusila dengan yang berlainan jenis kelamin saja juga dilarang, apalagi perbuatan asusila yang dilakukan dengan sesama jenis kelamin, sangatlah tercela dan dilaknat. (Lihat QS. Al-A'rāf: 80-84).


        Seorang komandan satuan terhadap bawahannya, dapat bertindak sebagai atasan, guru, orang tua, pemimpin, komandan, atau bahkan rekan seperjuangan. Baik atas nama institusi maupun pribadi-pribadi tadi tentunya cenderung menerapkan apa yang terbaik bagi satuan dan para prajurit yang berada di bawah komandonya. Sangatlah wajar dan merupakan suatu kewajiban jika seorang komandan satuan memerintahkan para prajuritnya untuk senantiasa berbuat kebajikan.


PENENTUAN MAKNA PERINTAH


        Perintah dalam kehidupan militer adalah penyampaian informasi dari seorang Prajurit TNI atasan kepada seorang Prajurit TNI lainnya yang berada di bawah wewenang komandonya, yang berisi hal-hal yang harus dikerjakan oleh bawahannya tersebut, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis, yang jika tidak dilaksanakan akan berakibat penjatuhan sanksi atau hukuman dari atasan tersebut terhadap bawahannya itu. Perintah yang berbentuk lisan yang berisi pokok-pokok keinginan pimpinan biasa dikenal dengan istilah "petunjuk" atau "petunjuk atasan".


        Perintah dari komandan satuan (Dansat) atau atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang tertulis dapat dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan, di antaranya adalah surat perintah, surat telegram (ST), surat edaran (SE), surat keputusan (Skep), keputusan (Kep), dan peraturan.

Surat telegram, surat edaran, dan surat keputusan atau keputusan, isinya tidak selalu merupakan perintah, bisa saja hanya sebagai pengumuman, perubahan status, suatu perumusan tindakan atau kegiatan, ataupun penekanan yang jika tidak dilaksanakan tidak secara langsung dapat berakibat timbulnya penjatuhan sanksi ataupun hukuman.


        Pada surat yang berbentuk ST, dapat kita bedakan apakah isinya sebagai perintah atau bukan, yaitu dengan melihat pada bagian akhirnya. Jika merupakan perintah, biasanya akan tertulis "ST ini merupakan perintah untuk dilaksanakan" atau dalam bentuk kalimat lain yang seperti itu. Terdapat surat telegram yang seperti ini maka diperlakukan sama sebagai perintah kedinasan, hanya bedanya untuk surat perintah ditulis lebih terperinci terhadap siapa saja perintah itu ditujukan.


PERUMUSAN PASAL 103 KUHPM


        Untuk Pasal 103 KUHPM, terdiri dari 5 (lima) ayat, namun pada pembahasan kali ini kita akan fokus khusus pada formulasi Pasal 103 ayat (1) KUHPM. Oleh karenanya kita uraikan rumusan aturan pada ayat (1) tersebut agar lebih jelas, sebagai berikut:

1.    Komponen kesatu:

"Militer",

2.    Komponen kedua:

"yang menolak",

3.    Komponen ketiga:

"atau dengan sengaja tidak menaati suatu perintah dinas",

4.    Komponen keempat:

"atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu",

5.    Komponen kelima:

"diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan".


        Pada komponen kesatu "militer", artinya yang diberi perintah dalam hal ini adalah setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan diperlakukan sebagai militer.


Pada komponen kedua "yang menolak", artinya bahwa seorang Prajurit TNI telah nyata-nyata menolak perintah dinas, bisa juga ditunjukkan dengan perkataan tidak mau melaksanakan dengan atau tanpa memberitahukan alasannya.


Pada komponen ketiga "dengan sengaja tidak menaati perintah dinas", artinya bahwa seorang Prajurit TNI dengan sengaja tidak menaati perintah tersebut dengan cara mengabaikannya sehingga tugas tersebut tetap saja menjadi tidak dilaksanakan oleh Prajurit TNI yang menerima perintah meskipun pada awalnya telah menyanggupi hal itu.


Pada komponen keempat "dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu", artinya perintah itu dilaksanakan namun tidak sesuai dengan arahan atau petunjuk dari pemberi perintah bahkan melampaui perintah kedinasan itu sehingga menimbulkan pelaksanaan tugas menjadi terganggu atau gagal.


Pada komponen kelima "diancam dengan ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan", artinya ketiga macam sikap ataupun tindakan yang dirumuskan pada komponen kedua, ketiga, dan keempat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja dan diancam dengan pidana.


        Komponen kedua hingga keempat dari Pasal 103 ayat (1) KUHPM merupakan rumusan yang bersifat alternatif, artinya salah satu saja dari ketiga komponen tersebut terpenuhi maka dapat dikualifikasikan sebagai ketidaktaatan yang disengaja.


        Larangan terhadap Prajurit TNI tentang perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama sudah diatur di dalam surat-surat telegram yang dibuat oleh para pejabat di lingkungan TNI yang dibuat secara berjenjang, yang pada intinya adalah sebagai berikut:

a.    Memproses secara tegas, terukur, dan proporsional pelanggaran asusila oknum Prajurit TNI dan PNS di lingkungannya yang melakukan perbuatan asusila dengan orang yang memiliki jenis kelamin yang sama;

b.    Menyerahkan perkara tersebut kepada penyidik;

c.    Memproses pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) dari dinas militer berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


        Ketika perkaranya dilaporkan kepada penyidik polisi militer kemudian akhirnya dilimpahkan ke pengadilan militer melalui oditur militer, maka oditur militer sudah harus terlebih dahulu mengolah perkara tersebut sebaik mungkin, agar dapat diselesaikan secara optimal, yaitu hingga penjatuhan pidana tambahan pemecatan (PDTH) oleh majelis hakim yang menyidangkan perkaranya.


PERTIMBANGAN MENJATUHKAN PIDANA TAMBAHAN PDTH DALAM PERSIDANGAN


        Ancaman pidana maksimum atas pelanggaran terhadap Pasal 103 KUHPM adalah mulai dari dua tahun empat bulan hingga dua puluh tahun disesuaikan dengan bentuk perbuatannya. Ancaman pidana seperti itu sudah memenuhi syarat untuk disertai penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap oknum pelanggar selain pidana pokok berupa pidana penjara selama waktu tertentu.


        Berdasarkan uraian di atas, meskipun perbuatan asusila antara seseorang dengan sesama jenis kelamin tidak diatur secara langsung di dalam KUHPM maupun KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya namun perbuatan tersebut di lingkungan TNI merupakan sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan yang tidak layak dipelihara di dalam kehidupan militer karena dapat merusak disiplin militer dan sendi-sendi kehidupan yang sudah ada dan mengakar dalam jiwa Prajurit TNI sejak TNI berdiri hingga kini. Dan oleh karenanya para pelanggarnya harus dipisahkan dari komunitas militer tersebut.

HATI-HATI MEMINJAMKAN TANAH DAN RUMAH HARUS BERSIAP KARENA BISA SAJA ORANG YANG DITOLONG BERKHIANAT TIDAK MAU PERGI MENINGGALKAN TANAH DAN RUMAH TERSEBUT

Ysh. Sahabat Diskusihidup yang berhati mulia ,   Mungkin Sahabat berhati mulia meminjamkan tanah dan rumah untuk ditempati oleh orang la...